JANGAN Jakarta sentris. Kota-kota lain juga harus mampu
melakukan operasi mata. Untuk itu selama 3 hari (21-23 Oktober)
30 orang dokter mata dari Yogyakarta, Semarang, Malang
Ujungpandang, Manado, Palembang, Padang dan Medan, berguru pada
ahli bedah mata yang bermukim di Jakarta.
Mereka berlatih agar dapat melakukan bedah mikro untuk menangani
penyakit mata seperti katarak, glukoma dan penggantian kornea
mata yang rusak karena penyakit ataupun karena kecelakaan.
Latihan itu sendiri berlangsung berbarengan lengan simposium
sedah Mikro Mata yang berlangsung di Hotel Horison, Ancol.
Bukan mata manusia, tetapi bola mata kambing yang dikorbankan
dalam latihan itu. Saban hari, latihan membedah yang menggunakan
mikroskop dengan kemampuan membesarkan 25 kali itu menghabiskan
60 bola mata kambing yang masih segar.
Mata hewan itu dibeli dari sebuah pejagalan di Tanah Abang.
"Tentu ada perbedaan antara mata kambing dan mata manusia. Tapi
yang paling penting peserta memperoleh prinsip-prinsip dasar
untuk menguasai peralatan," kata dr. S.M. Akmam, kepala bagian
penyakit mata RS Cipto Mangunkusumo yang bertindak sebagai
penasihat simposium.
Usaha untuk meningkatkan ketrampilan di kalangan dokter mata
kelihatannya akan mencapai klimaks dalam bulan ini. Orbis, rumah
sakit pendidikan mata yang berada dalam perut sebuah pesawat
terbang DC-8, 6 November ini direncanakan mendarat di Halim
Perdanakusumah.
Dokter-dokter mata Indonesia bisa menyaksikan ataupun turut
ambil bagian dalam operasi mata yangakan dilaksanakan di dalam
pesawat terbang itu. Selama lebih kurang sepekan ahli mata dari
Amerika Serikat yang datang bersama rumahsakit terbang itu akan
melakukan operasi terhadap 50 pasien Indonesia. Sambil
mengobati, mereka sekaligus akan mendemonstrasikan operasi
penghancuran katarak mata, pengikisan membran yang menghalangi
penglihatan dan pemasangan lensa mata tiruan.
Begitu rumah sakit mata terbang itu mendarat di Halim, segera
ditentukan bagian lapangan yang aman dan bebas dari getaran.
Tempat yang cocok untuk itu ialah di Pangkalan Udara TNI-AU,
Halim Perdanakusumah, tak jauh dari lapangan terbang komersial.
Di dalam rumah sakit itu ditemukan bukan hanya ruang operasi.
Tapi juga ruang kuliah kecil yang dapat menampung 18 peminat
sambil melihat jalannya operasi melalui televisi. Ruang operasi
itu sendiri dilengkapi dengan 10 kamera video. Di sebelah
ruangan operasi terdapat ruangan setengah steril dengan empat
tempat tidur yang dicadangkan sebagai tempat ruangan pemulihan
(recovery room) bagi pasien yang baru dioperasi.
Peminat yang tak kebagian tempat di dalam pesawat, dapat
mengikuti jalannya operasi melalui layar televisi yang dipasang
di bawah tenda, di luar pesawat.
Pencetus rumah sakit yang unik ini adalah Dr. David Paton. Guru
besar pada Baylor College Of Medicine di Houston. Dr. Yaton yang
pernah membantu pendidikan ahli bedah mata di Yordania, Meksiko
dan Aljazair itu, melihat banyak kelemahan jika bantuan
pendidikan diberikan secara konvensional.
"Pendidikan ahli bedah mata memerlukan banyak alat elektronik
yang harus digunakan secara efektif. Dengan hanya mengirim
alat-alat itu ke negara yang bersangkutan dan mengirim tenaga
ahli untuk mengajar di sana, banyak hal yang harus
dikompromikan," katanya.
Oleh karena itu ia memilih suatu fasilitas yang sesuai dengan
keinginannya dan di tempat yang dianggapnya cukup netral --
yaitu dalam sebuah pesawat terbang. Baru pada tahun 1982 ini
cita-citanya itu terlaksana. Setelah sepuluh tahun Paton
bersusah payah meyakinkan para dermawan Amerika tentang
pentingnya impiannya itu.
Dia sendiri sering tidak terbang bersama rumahsakit idamannya
itu. Karena sebagian besar dari waktunya dipergunakannya untuk
mengumpulkan dana melalui kantor pusat proyek Orbis di New York.
Untuk mencapai target melatih 900 dokter mata dalam setahun
diperlukan dana U8$ 2,6 juta. Ahli-ahli mata Indonesia sendiri
menyediakan sekitar Rp 15 juta untuk biaya penginapan dan
rupa-rupa kebutuhan para dokter, ahli teknik dan awak pesawar
selama mereka berada di sini.
Paton tidak hanya ingin bekerja sama dengan dokter ahli mata.
Terapi juga bersedia mendidik dokter-dokter lain yang berminat.
Terutama mereka yang bekerja di lapangan. Bahkan jika di negara
itu "dokter kaki telanjang" yang memegang peranan utama dalam
pelayanan kesehatan, ia pun siap bekerja sama dengan mereka.
ORBIS, katanya, juga tidak tertutup bagi tenaga paramedik atau
pekerja sosial yang tugasnya berkaitan dengan
penyakit-penyakit mata. Agaknya berbeda dengan banyak sejawatnya
di negara berkembang, ia tidak akan pelit untuk membagi ilmunya
kepada siapa pun yang dianggapnya berperanan dalam menghadapi
bahaya kebutaan satu penyakit yang menyerang 42 juta penduduk
dunia sekarang ini.
Kunjungan Orbis ke Indonesia merupakan satu mata rantai dari
jadwal kunjungan yang dimulai 15 Juli yang lalu. Sebelum ke
Jakarta dia hinggap di Istambul, Ankara dan Canton (RRC).
Sebelum mampir ke Jakarta, pesawat itu lebih dulu beroperasi di
Cebu Filipina).
Sekalipun impian mendidik dunia menangani penyakit mata sudah
dicapai David Paton, ia ternyata bukanlah orang yang lekas besar
kepala. Di Panama misalnya ia disodori pasien calon
transplantasi kornea sebagai pasien utama. Ia menyadari hal itu
memang disengaja dokter Panama, karena para dokter setempat
ingin menggolkan undang-undang yang membolehkan cangkok kornea.
Satu pekerjaan yang ditentang banyak politis.
Meskipun Paton mengetahui bahwa pasien tersebut belum perlu
menjalani operasi, ia tidak serta-merta menolaknya. Ia
mengadakan diskusi yang intensif dengan para dokter Panama
tersebut. Akhirnya disepakati untuk mencobanya dulu dengan lensa
kontak. Dokter Panama itu puas, karena para anggota parlemen
yang mengikuti kedatangan Orbis sadar akan perlunya pencangkokan
kornea.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini