Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menarikan kain kusut

Kareografi: bagong kussudiardjo produksi: plt bagong kussudiardjo mencoba mengungkapkan keruwetan dan kekusutan manusia dan sekitarnya.

6 November 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UWEL-UWELAN Koreografi: Bagong Kussudiardjo Produksi: PLT Bagong Kussudiardjo BERTOLAK dari kearifan dalam senirupa dan tari, sagong menggarap Uwel-uwelan. Kata itu sendiri berarti penuh sesak atau berdesak-desak, ruwet atau kusut-masai. Di Teater Arena Taman Ismail Marzuki, 26 & 27 Oktober lalu, kesan itu memang tersajikan. Terutama karena penggunaan kainkain warna-warni panjang-pendek, yang dimanfaatkan sagong sebagai sarana ekspresi. Penggunaan kain-kain untuk membantu mencapai wujud baru dalam kreasi tari, agaknya masih sering dilakukan. Di Indonesia, Sardono W. Kusumo mencoba membuat Arus (1971 dengan selembar kain hitam yang bergolak dan seorang penari bertarung di tengahnya. Kemudian ia menggunakan kain putih dan obor dalam Dirab (1974). Setelah itu banyak penata tari muda yang mencoba ikut mengembangkannya. Bagong nun telah sejak lama mencoba bergumul dengan materi serupa. Dan Uwel-uwelan merupakan perkembangan terakhir dari sederetan percobaannya tersebut. Ada penggunaan kain hitam sebagai kerudung mirip potret-potret karya lama Martha Graham, guru Bagong. Ada perubahan-perubahan wujud visual seperti pada karya-karya Alwin Nikolais. Kemiripan-kemiripan itu tentunya bukan kebetulan. Ketika belajar di New York, 1958, kecuali mempelajari teknik Graham, Bagong juga pernah mengikuti kelas komposisi Alwin Nikolais yang terkenal dengan penjelajahannya terhadap benda-benda (termasuk kain-kain) untuk mendapatkan ekspresi gerak baru. Tetapi karya sagong tentu bukan sekedar memadukan keduanya. Karyanya adalah cermin dari dirinya. Garis, warna dan bidang, itulah yang digunakan sagong untuk mengungkapkan keruwetan yang dirasakannya. Tetapi jika Graham menggunakan kain-kain dengan berpegang teguh pada aspek dramatik gerak, dan Nikolais menggarap bentuk-bentuk visual secara ekstrim sehingga acap dituduh "mendehumanisasikan" para penari, sagong agaknya ingin berada di tengah-tengah. Ini tampak dari keinginannya untuk di satu saat tetap menampilkan wajah dan figur tubuh penari secara utuh, tetapi di saat lain ada pula adegan-adegan yang mencoba menyembunyikan figur dan raut mereka di balik selubung-selubung kain.Sebagai ide, hal ini tentu menarik. Realisasinya yang masih menemukan hambatan. Wujud-wujud visual yang menarik kadang-kadang memang terwujud. Sepertl kam warna-warni yang teronggok di tengah pentas pada mula acara. Atau ketika penari-penari pria yang mencoba mencari bentuk di dalam sarung putih. Sayang perubahan wujud tak didukung ketrampilan gerak penari. Harapan melihat gerak tubuh penari yang resik, sia-sia saja. Baik pada Graham maupun Nik, kain-kain secara sadar digunakan sebagai sarana pembantu ekspresi gerak. Jika kain-kain selubung ditanggalkan, teknik gcrak penari tetap dapat dinikmati. TEKNIK gerak semacam itulah yang luput dari perhatian Bagong dalam uwel-uwelan. Idiom-idiom gerak kelompok ini sering mudah diduga, teknik atau ketrampilan gerak di dalam tari memang tak harus didewa-dewakan, tetapi tak juga bisa dibuang begitu saja. Isi dan bentuk, penghayatan dan ketrampilan, memang halus dipadukan secara luluh. Dan tentang penggunaan kain warnawarni sebagai sarana pembentuk garis warna dan disain gerak belum disadari benar oleh para penari. Bak seorang tukang, sesungguhnya seorang penari dituntut benar-benar menguasai lekuk-liku 'perkakas', ekspresi yang dipilihnya, agar dapat dicapai hasil yang dikehendaki. Di sana-sini penari sering terlihat "direpotkan" oleh kain-kain nng digelutinya. Ketika ke-7 orang penari pria mencoba merangkai disain dengan kain panjang warna-warni yang ditarik-tegangkan, tarik-menarik terlalu bersemangat, sehingga banyak yang lupa mempertimbangkan disain garis tubuh dan kain panjang itu. Akibatnya mirip improvisasi, kadang-kadang tercipta momen-momen yang bagus, tetapi sering juga tak terkendali. Onggokan-onggokan kain yang semula membantu disain gerak misalnya, setelah tak digunakan teronggok di pentas tak terurus. Ada satu hal lagi, warna-warna Bagong kali ini ternyata banyak yang kusam dengan dominasi hitam dan putih. Ini memang disengaja. sagong menciptakan Uwel-uwelan bertolak dari tari Derita yang diciptakannya pada akhir tahun 50-an. Dan sesuai dengan temanya, kekusaman itu memang dikehendakinya. Adapun tentang musik pengiring, sagong berhemat hanya dengan enam orang penabuh dan sedikit instrumen bonang, siter, beduk, kempul dan kadang-kadang juga rebab. Pola lagunya memang masih khas sagong, tetapi perubahan irama dan warna bunyi digarap cukup baik dengan melibatkan vokal dan suara-suara penari. Lepas dari catatan-catatan di atas kenyataan bahwa kelompok Pusat Latihan Tari Bagong ini mampu bertahan hampir seperempat abad dan produktif, tentu merupakan prestasi tersendiri. Mempertahankan bobot memang tak mudah. Sal Murgiyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus