UWEL-UWELAN
Koreografi: Bagong Kussudiardjo
Produksi: PLT Bagong Kussudiardjo
BERTOLAK dari kearifan dalam senirupa dan tari, sagong menggarap
Uwel-uwelan. Kata itu sendiri berarti penuh sesak atau
berdesak-desak, ruwet atau kusut-masai. Di Teater Arena Taman
Ismail Marzuki, 26 & 27 Oktober lalu, kesan itu memang
tersajikan. Terutama karena penggunaan kainkain warna-warni
panjang-pendek, yang dimanfaatkan sagong sebagai sarana
ekspresi.
Penggunaan kain-kain untuk membantu mencapai wujud baru dalam
kreasi tari, agaknya masih sering dilakukan. Di Indonesia,
Sardono W. Kusumo mencoba membuat Arus (1971 dengan selembar
kain hitam yang bergolak dan seorang penari bertarung di
tengahnya. Kemudian ia menggunakan kain putih dan obor dalam
Dirab (1974). Setelah itu banyak penata tari muda yang mencoba
ikut mengembangkannya.
Bagong nun telah sejak lama mencoba bergumul dengan materi
serupa. Dan Uwel-uwelan merupakan perkembangan terakhir dari
sederetan percobaannya tersebut. Ada penggunaan kain hitam
sebagai kerudung mirip potret-potret karya lama Martha Graham,
guru Bagong. Ada perubahan-perubahan wujud visual seperti pada
karya-karya Alwin Nikolais.
Kemiripan-kemiripan itu tentunya bukan kebetulan. Ketika belajar
di New York, 1958, kecuali mempelajari teknik Graham, Bagong
juga pernah mengikuti kelas komposisi Alwin Nikolais yang
terkenal dengan penjelajahannya terhadap benda-benda (termasuk
kain-kain) untuk mendapatkan ekspresi gerak baru. Tetapi karya
sagong tentu bukan sekedar memadukan keduanya. Karyanya adalah
cermin dari dirinya.
Garis, warna dan bidang, itulah yang digunakan sagong untuk
mengungkapkan keruwetan yang dirasakannya. Tetapi jika Graham
menggunakan kain-kain dengan berpegang teguh pada aspek dramatik
gerak, dan Nikolais menggarap bentuk-bentuk visual secara
ekstrim sehingga acap dituduh "mendehumanisasikan" para penari,
sagong agaknya ingin berada di tengah-tengah.
Ini tampak dari keinginannya untuk di satu saat tetap
menampilkan wajah dan figur tubuh penari secara utuh, tetapi di
saat lain ada pula adegan-adegan yang mencoba menyembunyikan
figur dan raut mereka di balik selubung-selubung kain.Sebagai
ide, hal ini tentu menarik. Realisasinya yang masih menemukan
hambatan.
Wujud-wujud visual yang menarik kadang-kadang memang terwujud.
Sepertl kam warna-warni yang teronggok di tengah pentas pada
mula acara. Atau ketika penari-penari pria yang mencoba mencari
bentuk di dalam sarung putih.
Sayang perubahan wujud tak didukung ketrampilan gerak penari.
Harapan melihat gerak tubuh penari yang resik, sia-sia saja.
Baik pada Graham maupun Nik, kain-kain secara sadar digunakan
sebagai sarana pembantu ekspresi gerak. Jika kain-kain selubung
ditanggalkan, teknik gcrak penari tetap dapat dinikmati.
TEKNIK gerak semacam itulah yang luput dari perhatian Bagong
dalam uwel-uwelan. Idiom-idiom gerak kelompok ini sering mudah
diduga, teknik atau ketrampilan gerak di dalam tari memang tak
harus didewa-dewakan, tetapi tak juga bisa dibuang begitu saja.
Isi dan bentuk, penghayatan dan ketrampilan, memang halus
dipadukan secara luluh.
Dan tentang penggunaan kain warnawarni sebagai sarana pembentuk
garis warna dan disain gerak belum disadari benar oleh para
penari. Bak seorang tukang, sesungguhnya seorang penari dituntut
benar-benar menguasai lekuk-liku 'perkakas', ekspresi yang
dipilihnya, agar dapat dicapai hasil yang dikehendaki. Di
sana-sini penari sering terlihat "direpotkan" oleh kain-kain
nng digelutinya. Ketika ke-7 orang penari pria mencoba
merangkai disain dengan kain panjang warna-warni yang
ditarik-tegangkan, tarik-menarik terlalu bersemangat, sehingga
banyak yang lupa mempertimbangkan disain garis tubuh dan kain
panjang itu.
Akibatnya mirip improvisasi, kadang-kadang tercipta momen-momen
yang bagus, tetapi sering juga tak terkendali. Onggokan-onggokan
kain yang semula membantu disain gerak misalnya, setelah tak
digunakan teronggok di pentas tak terurus.
Ada satu hal lagi, warna-warna Bagong kali ini ternyata banyak
yang kusam dengan dominasi hitam dan putih. Ini memang
disengaja. sagong menciptakan Uwel-uwelan bertolak dari tari
Derita yang diciptakannya pada akhir tahun 50-an. Dan sesuai
dengan temanya, kekusaman itu memang dikehendakinya.
Adapun tentang musik pengiring, sagong berhemat hanya dengan
enam orang penabuh dan sedikit instrumen bonang, siter, beduk,
kempul dan kadang-kadang juga rebab. Pola lagunya memang masih
khas sagong, tetapi perubahan irama dan warna bunyi digarap
cukup baik dengan melibatkan vokal dan suara-suara penari.
Lepas dari catatan-catatan di atas kenyataan bahwa kelompok
Pusat Latihan Tari Bagong ini mampu bertahan hampir seperempat
abad dan produktif, tentu merupakan prestasi tersendiri.
Mempertahankan bobot memang tak mudah.
Sal Murgiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini