PRO-kontra mengenai pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Semenanjung Muria, Jawa Tengah, mencapai antiklimaks. Seusai bertemu Presiden Soeharto di Istana Negara Kamis pekan lalu, Dirjen Batan (Badan Tenaga Atom Nasional) Djali Ahimsa mengakui, Pemerintah belum mengambil keputusan soal pembangunan reaktor nuklir di sana. "Saya tak bisa mengatakan jadi dibangun atau tidak. Kami hanya mempersiapkannya," ujarnya kepada pers. Pernyataan Djali Ahimsa itu seperti mengakhiri spekulasi bahwa Pemerintah sudah bertekad hati membangun PLTN. Padahal, Djali sendirilah yang selama ini disebut-sebut menggebu-gebu melansir kemungkinan reaktor nuklir itu mulai dibangun 1997, untuk dioperasikan pada 2005. Persiapannya, termasuk studi kelayakan yang dilakukan oleh konsultan Jepang Newjec Inc., menurut rencana, rampung 1996. Sebagian studi, terutama yang menyangkut soal pemilihan teknologi dan aspek ekonomi, telah selesai. Sebagian lain, yang berkaitan dengan soal-soal detail lokasinya, masih berlangsung. Hasil sementara observasi Newjec itu telah diserahkan ke Djali Ahimsa, 30 Desember lalu. Kesimpulannya, PLTN berkapasitas 7.000 MW, sekitar 12 reaktor, layak dibangun di pantai Jepara itu. Kabar tersebut membangkitkan reaksi dari pelbagai kalangan. Ketua Umum NU Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur, termasuk yang gigih menentang gagasan reaktor di kaki Gunung Muria ini. Ia "mengancam" akan melakukan puasa di sana bila PLTN jadi dibangun. Dan Dr. George Y. Adicondro, pakar lingkungan Universitas Satya Wacana, Salatiga, mengecam: membangun PLTN itu seperti meninggalkan bom waktu. Melihat gelagat "arus bawah" yang menentang PLTN itu, Menteri B.J. Habibie memilih berhati-hati. Pekan lalu ia mengatakan bahwa tenaga nuklir itu merupakan prioritas terakhir. Sehari kemudian Menteri Negara Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja mengemukakan hal yang senada. "Pemerintah cenderung lebih suka memanfaatkan energi panas bumi yang sekarang belum banyak terpakai," ujar Sarwono, seusai bertemu dengan Presiden. Tapi Djali masih mencoba optimistis, kehadiran reaktor nuklir kelak akan diterima publik. Kekhawatiran atas PLTN, kata Djali, akan dijawab oleh kemajuan teknologi. "Risiko PLTN itu bisa ditekan seminim mungkin. Dan prospeknya sungguh menjanjikan," ujarnya bersemangat. Kecemasan akan PLTN memang terjadi di mana-mana. Majalah bergengsi The Economist, setelah melakukan observasi mendalam, membuat kesimpulan sederhana. "PLTN ditakuti karena namanya mirip bom nuklir," begitu majalah Inggris ini menulis, pertengahan 1992. The Economist melansir pula hasil riset Paul Slovic, guru besar psikologi Amerika Serikat. Dalam penelitiannya di Amerika, Slovic mencatat bahwa aktivis gerakan wanita serta para mahasiswa menempatkan PLTN sebagai ancaman nomor satu bagi kehidupannya. Tapi para eksekutif bisnis menganggap reaktor nuklir itu sebagai bahaya nomor delapan. Mereka lebih ngeri terhadap pelaku kriminal bersenjata api atau virus AIDS. Di kalangan ilmuwan (tak dibedakan disiplinnya), ancaman PLTN bahkan tak dianggap serius. Mereka lebih ketakutan mendengar kata meja operasi, penyakit jantung, kecelakaan udara, bahkan kolesterol. Di Korea Selatan, yang punya 9 unit PLTN yang menyumbang 43% listrik nasional, reaktor nuklir juga bukan barang yang ditakuti. Dalam sebuah pol tahun silam, terungkap 85% responden mengaku negerinya memerlukan PLTN untuk penghasil setrum. Dari 2.000 responden yang dijaring Gallup Poll Institute Korea itu, 75% tak merasa cemas tinggal dekat reaktor. Instansi ini melakukan pengumpulan pendapat setiap dua tahun sekali. Hasil observasi 1993 itu juga menunjukkan, PLTN makin diterima di sana. Penentang PLTN turun dari 8,4% pada 1991 menjadi 4,4% pada 1993. Tapi lain Korea, mungkin lain pula Indonesia. Toh Pemerintah belum lepas tangan betul. Sekitar 600 ha kebun karet milik negara di Ujung Lemahabang, di kaki Muria, kabarnya terus dicadangkan bila sewaktu-waktu diperlukan bagi PLTN. Daerah itu tak boleh diutak-utik.Putut Trihusodo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini