Tulisan "Berdemo tapi bukan Kerbau" dan "LSM Pilihan Hidup Saya" (TEMPO, 15 Januari, Laporan Utama) besar artinya bagi segenap anggota dan pengurus Yayasan Pijar untuk memelihara semangat dan keteguhan sikap dalam menghadapi situasi sosial politik mutakhir di Tanah Air. Pemberitaan TEMPO itu jauh dari pretensi "menghakimi". Sungguhpun begitu, kritik tetap harus kami berikan atas pemberitaan itu. Pertama, kami merasa TEMPO terlalu berlebihan dalam memberitakan tentang Yayasan Pijar, misalnya menyebut Yayasan Pijar sebagai sebuah "biro demo". Pijar adalah bagian dari arus resistensi yang sekarang sedang merebak. Dalam arus itu, ada banyak orang muda sebaya dengan kami yang juga berhimpun dalam pelbagai organisasi serupa dengan komitmen yang tak kalah, bahkan lebih, menyalanya pada perwujudan hari depan bangsa yang demokratis dan ramah pada hak asasi manusia. Kedua, karena itu, harus dengan jujur kami kemukakan di sini bahwa sinyalemen TEMPO tentang Yayasan Pijar "memegang peran utama" dalam berbagai unjuk rasa tahun 1993 lalu terlalu berlebihan. Mustahil jika dikatakan sebuah demonstrasi, apalagi melibatkan aktivis dari sekian kota, adalah "buah karya" sebuah "biro demo" belaka. Bagi kami, realisasi sebuah unjuk sikap lebih dihasilkan oleh interaksi dan tingginya frekuensi kontak di antara sejumlah "kantong gerakan" yang ada saat ini. Itu semua terus kami pelihara. Karena sebuah gerakan tak bisa dikerjakan sendirian. Dia menuntut simpati dan percaya antara sesama aktivisnya. Laporan Utama TEMPO, "Demo Sama, Hukuman yang Berbeda" seharusnya bisa lebih mengungkapkan fakta di balik fenomena pasangnya gerakan protes kaum muda. Mengapa TEMPO, misalnya, tidak meliput maraton demo di Surabaya, Malang, dan Jember? Semuanya menentang penangkapan dan penahanan 21 aktivis Front Aksi Mahasiswa Indonesia. Dengan begitu, pembaca TEMPO akan mendapatkan hasil liputan yang lebih luas dan transparan.RACLAND S. NASHIDIKPenjabat Ketua Yayasan Pijar Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini