TEPIAN Bengawan Solo masih kaya akan peninggalan purbakala. Ketika Muhdaud, bersama Sudjoko dan Jono, berjalan di pinggiran sungai tak jauh dari rumah mereka di Ngale, Ngawi, Jawa Timur, Sabtu awal bulan ini, kakinya terantuk "batu" putih yang mencuat dari tanah. Karena penasaran, mereka mengoreknya. Jono yakin benda itu gading gajah. Mereka segera mengambil cangkul dan linggis, dan terus menggali ditonton puluhan penduduk. Galian baru sedalam 25 cm, sosok gading sudah kelihatan: patah menjadi tiga bagian. "Tim" Muhdaud meneruskan penggalian di sekitarnya berdasar info penduduk di situ. Hasilnya, selain gading sepanjang 246 cm dan berdiameter 13 cm, ada pula dua fosil tulang belakang gajah. Temuan itu mereka angkut ke rumah Muhdaud, 50 meter dari lokasi penemuan. Selama empat hari fosil itu menjadi tontonan gratis masyarakat. "Kami puyeng, harus menjaganya tanpa sempat istirahat," ujar lulusan SD ini. Nyatanya, bagian ujung gading, panjangnya 8 cm, lenyap. Petugas Museum Trinil menjemput temuan itu 5 Januari lalu. "Gading itu patah mungkin akibat air, bukan karena penggalian yang ceroboh," kata I Gusti Lanang Bagus Arnawa, penanggung jawab Museum Trinil. Fosil-fosil yang ditemukan di pinggir aliran sungai, ujar lulusan Universitas Udayana itu, cenderung patah-patah. Rupanya, berbeda dengan fosil dari daratan, yang relatif lebih utuh. Melihat lokasi penemuan, Bagus memperkirakan fosil ini merupakan sisa-sisa gajah purba yang hidup sekitar 700 ribu tahun silam. Sebab, kata Bagus, lapisan tanah Trinil dan sekitarnya tergolong tanah yang terbentuk sejuta hingga 200.000 tahun lalu (Zaman Plestosin Tengah). Mohammad Romli, Kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Trowulan, Mojokerto, menduga temuan gading gajah di desa Ngale itu lebih muda dari umur Pithecanthropus erectus, yang tengkoraknya ditemukan Eugene Dubois di kawasan Trinil, 1891. Alasan Romli, meski berasal dari zaman yang sama, Pithecanthropus erectus ditemukan di lapisan tanah yang lebih dalam, 7-8 meter, sedangkan temuan gading gajah itu tak sampai semeter. Kini Museum Trinil mengoleksi empat fosil gading gajah. Fosil itu temuan 1986, 1991, 1993, dan temuan terbaru itu. Dan fosil Muhdaud itu paling mirip dengan fosil temuan 1986, yang diduga berasal dari gajah Stegodon trigonocephalus (tergolong fauna Trinil). Memang ada yang lebih tua, yakni fauna Jetis, di Pegunungan Kendeng, Jawa Timur, dari zaman Plestosin bawah. Jenisnya misalnya Stegodon trigonocephalus praecursor. "Meski sudah ditemukan fosil sejenis, tetap saja setiap fosil memiliki tipologi masing-masing," kata Agus Suprijo, ahli antropologi fisik dari UGM Yogya, kepada Faried Cahyono dari TEMPO. Tentu dugaan-dugaan ini masih harus dibuktikan melalui penelitian para ahli purbakala. Saat ini baru tim dari Dinas Purbakala Jawa Timur dan utusan Direktorat Purbakala yang datang untuk memastikan benar tidaknya fosil dari zaman purbakala. Daerah aliran Bengawan Solo, seperti Trinil dan Sangiran, memang banyak menyimpan fosil manusia, binatang, dan lain-lain. Kala itu, era Pliosin dan Plestosin, hewan-hewan yang berasal dari daratan Asia, Sino-Malaya, itu hijrah ke Kepulauan Indonesia, lalu antara lain sampailah ke kawasan kali tua Bengawan Solo yang konon subur ekosistemnya. Kaum Pithecanthropus ikut pula menyeberang ke sana. Ardian Taufik Gesuri (Jakarta), K. Candra Negara, Zed Abidien (Surabaya).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini