PAUL Rudolph muncul di Jakarta, bulan lalu, dan kira-kira akhir tahun depan ia akan menjadi bagian arsitektur kota Jakarta. Tak seperti umumnya kehadiran arsitek asing di Jakarta yang dikritik keras, Rudolph justru disambut hangat. Bekas ketua Jurusan Arsitektur Universitas Yale (1957-1965) ini memang diakui di dunia internasional. Di kapling 33 Jalan Sudirman itulah Rudoiph, 66, akan mendirikan karyanya. Sebuah gedung perkantoran berlantai 24 yang kini baru selesai pondasinya. Dilihat dari maket gedung itu, ciri khas Rudolph memang terasa. Arsitek ini senang menonjolkan ruang-ruang kecil menjadi unsur dominan pada arsltektur luar gedung. Tapi bukan itu yang penting. Tak seperti arsitek asing yang membuat gedung disini, Rudolph benar-benar ingin menyesuaikan kekhasannya dengan alam Jakarta. Menurut Yohannes Heru Gunawan, 40, arsitek lulusan ITB yang menjadi orang kedua dalam proyek ini, ada 20 maket alternatif yang dibikim Rudolph untuk mencari bentuk yang diinginkannya. Orang Amerika itu berpijak pada konsep bahwa arsitektur Indonesia tentunya harus memecahkan masalah kelembaban dan iklim panas. Ia melihat arsitektur tradisional kita sebenarnya telah dengan jitu memecahkan persoalan itu. Misalnya dengan membuat atap tinggi miring dan lebar hingga udara mengalir leluasa. Juga, dengan cara membuat lantai bangunan berjarak dengan tanah (rumah panggung, misalnya). Menurut Yohannes, Rudolph akhirnya mengambil unsur atap serta permukaan miring untuk merencanakan Wisma Dharmala. Satu lagi, memasukkan lorong-lorong terbuka untuk memungkimkan sirkulasi udara lancar. Maka, akan ada kemungkinan dengan terpadunya bentuk-bentuk miring dan penonjolan ruang kecil - dari luar gedung Rudolph akan terasa ramai. Akan banyak bentuk-bentuk runcing terlihat. Tapi, mungkin justru ini yang disebut pemegang hadiah American Academy of Arts and letters, 1980, itu sebagai "ciri lndonesia". Karena itu, Hario Sabrang, direktur Tata Bangunan Departemen PU, menerima kehadiran Rudolph dengan senang. "Kita dapat belajar banyak bila arsitek yang datang ke Indonesia itu sekaliber Rudolph," kata Hario yang biasanya punya komentar tajam. Soalnya, bila arsitek asing itu mutunya pas-pasan, apalagi yang di bawah mutu, Jakarta memang bisa tampak balau. Misalnya, tak ada yang memuji bangunan Bank Bumi Daya Plaza di Jalan Imam Bonjol itu, yang direncanakan arsitek Singapura. Bagi Hario Sabrang, bangunan berbentuk segi delapan itu, yang bagian bawahnya berbentuk trapesium dengan sebagian besar dinding dari kaca, sangat berbahaya. "Bagaimana bila kaca di bagian trapesium itu kejatuhan benda dari atas?" katanya. Satu lagi bangunan yang dikritik keras oleh Hario, yang juga ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) ini, adalah Wisma Kosgoro di Jalan Thamrin. "Itu bangunan yang benar-benar egosentris, tak ambil peduli dengan lingkungan," katanya. Mengapa? Gedung tinggi yang menggunakan dimding kaca reflektor memang melindungi bagian dalam gedung dari sengatan matahari. Tapi, akibatnya, cahaya matahari yang memantul lewat kaca bisa ke mana-mana mengganggu sekitarnya. Memang, belum ada catatan kecelakaan atau orang yang rusak matanya karena pantulan cahaya dari Wisma Kosgoro. Tapi, konon kedutaan besar Uni Soviet, bila siang merasa silau karena pantulan cahaya matahari dari salah satu sisi gedung itu. Tapi, untunglah, dari segi "bisnis", kehadiran arsitek asing tak mengganggu. Menurut Hindro Soemardjan, ketua IAI sebelum Hario porsi untuk kebanyakan arsitek kita tak berkurang. "Kita kebanyakan mengerjakan proyek pemerintah, mereka mengerjakan proyek modal asing," tutur Hindro. Untuk menenbus proyek modal asing, "sulit, karena merupakan satu paket dengan modalnya." Benar, di DKI Jakarta hanya arsitek yang punya Surat Izin Perencanaan Bangunan yang boleh berpraktek - dan surat itu hanya diberikan kepada orang Indonesia yang berdomisili di Jakarta. Tapi, itulah, jalan melingkar selalu ada. Akhirnya, "bukan soal asing atau bukan asing, melainkan bagaimana karya itu sendiri," kata Hario. Dan itu, sulitnya, tak bisa dijaga dengan peraturan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini