Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dua peneliti asal Indonesia ikut terlibat dalam riset vaksin Covid-19 yang digarap University of Oxford.
Para ilmuwan University of Oxford yang memegang hak paten vaksin, termasuk peneliti asal Indonesia, Carina Citra Dewi Joe, sepakat tidak mengambil royalti dari produksi vaksin mereka selama pandemi.
Indonesia mendapatkan pasokan vaksin AstraZeneca lewat kesepakatan bilateral.
CARINA Citra Dewi Joe tengah menggarap proyek pengembangan vaksin rabies ketika pandemi Covid-19 melanda tahun lalu. Prioritas riset peneliti Indonesia di program pascadoktoral lembaga riset vaksin Jenner Institute, University of Oxford, Inggris, itu pun mendadak sontak berubah. "Pembuatan vaksin Covid-19 lebih penting," katanya kepada Tempo, Kamis, 5 Agustus lalu. "Kami berkolaborasi dengan grup-grup peneliti lain di Jenner."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Situasi genting pandemi membuat Jenner Institute menunda semua riset di luar pembuatan vaksin Covid-19. Bersama tim beranggotakan tiga peneliti, Carina menggodok metode produksi vaksin untuk keperluan uji klinis dan komersial. Banyaknya pekerjaan dan tenggat riset yang mepet membuat tim Carina kewalahan. Mereka meminta tambahan tenaga dari grup peneliti lain yang lingkup proyeknya mirip. "Saya tidak mungkin bekerja di tiga-empat tempat sekaligus," tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Atasan Carina di Jenner Institute, Alexander Douglas, juga menyarankan para peneliti berfokus menggarap vaksin Covid-19 karena tingkat kegawatan penyakit itu. Hal ini direspons cepat oleh koleganya, ahli vaksinologi University of Oxford, Sarah Gilbert, dan Direktur Jenner Institute Adrian Hill. Douglas juga mengontak sejumlah kenalannya untuk mendapatkan pasokan bahan dan mesin pembuat vaksin dalam skala besar. "Vaksin ini dibutuhkan dan kita harus bekerja cepat mendesain vaksin, melakukan uji klinis, dan mengumpulkan datanya," ujar Carina.
Kebutuhan mendesak saat pandemi merebak juga membuat fokus riset Indra Rudiansyah, mahasiswa program doktoral di kampus yang sama, berubah. Awalnya, dia meneliti desain dan pengembangan vaksin malaria, yang sejauh ini belum ada di dunia. Begitu pandemi merebak, Indra dan timnya pun ikut hijrah ke grup pengembangan vaksin Covid-19 di Jenner. "Dalam riset vaksin-vaksin ini kami menggunakan analisis yang mirip," ucap Indra dalam wawancara dengan Tempo dan Net TV pada Sabtu, 31 Juli lalu.
Menurut Indra, kolaborasi diperlukan karena Jenner kekurangan sumber daya dan tenaga. Grup-grup peneliti di Jenner tak mungkin merekrut orang baru dari luar institusi di tengah kondisi pembatasan ketat alias lockdown yang diberlakukan pemerintah Inggris. Walhasil, mereka memberdayakan para mahasiswa, staf, dan peneliti pascadoktoral di Jenner yang sebetulnya mengerjakan beragam proyek riset. "Saya terlibat dalam studi uji klinis dan pengecekan respons antibodi para relawan sampai Maret lalu," kata Indra.
Riset vaksin Covid-19 ini dimotori grup riset penyakit patogen baru yang dipimpin Sarah Gilbert. Mereka mengembangkan vaksin memanfaatkan adenovirus dari simpanse. Teknologi vektor virus yang dikembangkan Jenner dalam satu dekade terakhir itu sebelumnya dipakai untuk membuat vaksin penyakit akibat virus zika dan sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS) yang juga dipicu virus corona. "Kami sudah tahu profil dan data vaksin ini, jadi bisa dimodifikasi dengan cepat," tutur Carina. "Kalau mengembangkan teknologi dari awal, butuh waktu bertahun-tahun lagi."
Pembuatan vaksin baru dari nol biasanya membutuhkan waktu panjang. Salah satu rekor tercepat adalah pengembangan vaksin penyakit gondongan pada 1960-an. Para peneliti menghabiskan empat tahun untuk mengembangkan vaksin itu di laboratorium hingga siap disuntikkan ke manusia. Namun, dengan memperhitungkan masalah pendanaan dan tetek-bengek regulasi, penerbitan lisensi produksi vaksin itu malah memakan waktu satu dekade.
Para peneliti jelas tak punya waktu sebanyak itu di tengah pandemi Covid-19. Peneliti Jenner bergerak cepat dengan memanfaatkan teknologi mereka. Apalagi Sarah Gilbert dan koleganya, Catherine Green, sudah mendesain vaksin untuk patogen baru dua pekan setelah mereka mengetahui kabar kasus pneumonia janggal di Cina pada awal 2020. Dalam tempo setahun, para peneliti berhasil membuat vaksin baru yang kemudian diproduksi massal oleh perusahaan farmasi AstraZeneca.
indra rudiansyah./dok pribadi
Dalam buku Vaxxers: The Inside Story of the Oxford AstraZeneca and the Race Against the Virus yang terbit Juli lalu, penulisnya, Gilbert dan Green, menceritakan hambatan pembuatan vaksin ini, seperti masalah infrastruktur riset dan politisasi vaksin. Dalam situasi normal, menurut Gilbert, diperlukan waktu sepuluh tahun untuk memproduksi vaksin baru. "Bisa melakukannya dalam sepuluh bulan adalah hal fenomenal," ucap Gilbert seperti dilaporkan The Guardian.
Carina dan timnya menyumbangkan metode produksi vaksin skala besar. Dalam tempo satu setengah bulan, mereka bisa membuat produksi vaksin meningkat, dari puluhan mililiter menjadi 200 liter. Dengan cara itu, kapasitas vaksin di laboratorium bisa dipakai untuk penggunaan massal. "Banyak bantuan dari lembaga-lembaga riset yang meminjamkan fasilitas secara gratis kepada kami untuk membuat vaksin," kata Carina.
Kolaborasi dan berbagi data di komunitas peneliti dunia juga menjadi faktor penting dalam menambah kecepatan riset vaksin Covid-19. Sejak pertama kali terdeteksi di Wuhan, Cina, para ilmuwan bergerak cepat meneliti virusnya. Pada 11 Januari 2020, mereka mempublikasikan hasil studi sekuens genom virus corona. "Tanpa data sekuens genom dari peneliti Cina itu, kita tidak bisa mengembangkan vaksin, kecuali sampai virusnya masuk ke negara masing-masing," ujar Indra Rudiansyah.
AstraZeneca akan mendistribusikan hingga 3 miliar dosis vaksin ke seluruh dunia sampai akhir tahun ini. Perusahaan itu juga akan menyuplai 400 juta dosis ke Uni Eropa. Program vaksinasi di Inggris pun mengandalkan vaksin AstraZeneca, selain Pfizer-BioNtech, Moderna, dan Janssen. Hampir 47 juta warga Inggris sudah mendapat setidaknya satu dosis vaksin Covid-19. "Vaksin AstraZeneca yang terbesar karena produksinya juga di sini," tutur Carina.
Indonesia memanfaatkan kerja sama bilateral untuk mendapatkan vaksin AstraZeneca. Pada Jumat, 6 Agustus lalu, paket berisi 594 ribu dosis vaksin AstraZeneca tiba di Tanah Air. Pengiriman ini merupakan bagian kedua dari kesepakatan antara pemerintah Indonesia melalui Bio Farma dan AstraZeneca. Bio Farma telah menerima 1,04 juta dosis vaksin AstraZeneca pada 16 Juli lalu. Total vaksin yang menjadi jatah Indonesia dalam skema kerja sama ini 50 juta dosis.
Indonesia menerima 3,4 juta dosis vaksin AstraZeneca melalui program Covid-19 Vaccines Global Access (Covax) yang berada dalam pengawasan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Juga 1,5 juta dosis vaksin Moderna buatan perusahaan Amerika Serikat. Di luar Covax, Indonesia mendapat bantuan 1,5 juta vaksin AstraZeneca dari Jepang.
Kedatangan paket-paket vaksin itu menambah amunisi program vaksinasi Covid-19 massal yang selama ini banyak menggunakan produk buatan perusahaan Cina, Sinovac, dan Sinopharm. Dalam keterangan pers pada Jumat, 6 Agustus lalu, juru bicara program vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan Indonesia telah menerima sekitar 180 juta dosis vaksin. Sebanyak 144,7 juta dosis di antaranya masih berbentuk bahan baku atau bulk. Bahan baku vaksin dari Sinovac ini dapat diolah menjadi sekitar 117,3 juta dosis vaksin jadi.
Hingga kini, pemerintah telah mendistribusikan 90,8 juta dosis vaksin. Paket tambahan sebanyak 10 juta dosis vaksin juga akan digelontorkan. Dua peneliti Indonesia di Oxford, terutama Carina, mendorong masyarakat mendapatkan vaksin Covid-19 agar kekebalan massal tercapai.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo