Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Tidak Ada Untungnya Ketenaran Bagi Saya

Peneliti Indonesia, Carina Citra Dewi Joe, terlibat dalam tim riset pembuatan vaksin AstraZeneca, vaksin Covid-19 Universitas Oxford Inggris. Namanya tercatat dalam daftar pemegang paten karena ikut mengembangkan metode produksi vaksin dalam jumlah besar.

7 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Carina mengembangkan metode produksi vaksin Covid-19 buatan Oxford-AstraZeneca dalam skala besar.

  • Dia pemegang salah satu paten vaksin tersebut,

  • Jenner Institute bekerja sama dengan sejumlah lembaga untuk memproduksi dalam skala besar.

DI sela kesibukan bekerja di lembaga riset vaksin Jenner Institute, University of Oxford, Inggris, Carina Citra Dewi Joe terus memantau kondisi pandemi Covid-19 di Indonesia. Melalui percakapan WhatsApp, mahasiswa program pascadoktoral riset itu juga bertukar kabar dengan orang tuanya. Dia sering mengingatkan mereka agar tidak lupa menjalankan protokol kesehatan, seperti mengenakan masker dan menjauhi kerumunan. "Ikuti aturan pemerintah saja," begitu pesan Carina kepada keluarganya.

Carina berperan dalam pengembangan metode produksi vaksin Covid-19 buatan Oxford-AstraZeneca dalam skala besar. Namanya masuk daftar ilmuwan pemegang paten vaksin ini. Dalam dua kesempatan wawancara daring dengan Mahardika Satria Hadi, Gabriel Wahyu Titiyoga, dan Dian Yuliastuti dari Tempo pada Kamis, 5 Agustus lalu, dan bersama Net TV pada Sabtu, 31 Juli lalu, Carina berbagi pengalaman.

Bagaimana peneliti Jenner Institute beradaptasi membuat vaksin Covid-19 dalam jumlah besar dalam waktu hanya setahun?
Jenner Institute ini lembaga riset kecil. Kami memang berfokus di riset vaksin. Di Oxford ada laboratorium untuk produksi vaksin, tapi skalanya kecil, mungkin 3-10 liter, dan difokuskan pada uji klinis tahap pertama. Untuk uji klinis dan komersial, kami membutuhkan laboratorium dengan skala yang lebih besar. Jenner lalu membentuk konsorsium dan sekarang ada 23 organisasi di 12 negara yang bekerja sama. Mereka mengadopsi proses pembuatan vaksin yang dikembangkan tim Jenner. Jadi transfer teknologinya ke mereka.

Apa tantangan membuat vaksin ini?
Waktu. Pada Februari, saya hanya punya data volume vaksin yang kecil, sekitar 30 mililiter. Dalam satu setengah bulan, saya harus mengembangkan skala produksinya hingga 200 liter. Jadi harus dibuat proses bertahap, andal, dan bisa beradaptasi hingga skala sebesar.

Tantangan lain adalah kontaminasi. Pembuatan vaksin ini tidak boleh tercampur zat antibiotik atau zat yang mengandung unsur hewani. Sel untuk pembuatan vaksin ini mudah sekali terkontaminasi sehingga kami bekerja dalam kondisi betul-betul steril.

Mengapa peneliti Oxford melepaskan hak paten vaksin ini?
Apa pun yang kami hasilkan selama bekerja di sini, kepemilikannya ada di universitas. Tapi patennya tergantung nama peneliti atau inventornya. Sebelum kami bekerja sama dengan perusahaan farmasi mana pun untuk memproduksi vaksin ini, universitas membuat kebijakan tidak mengambil royalti selama masa pandemi. Kami semua setuju.

Nama Anda tiba-tiba melesat karena menjadi salah satu pemegang paten...
Saya justru agak terganggu ketika yang banyak dibicarakan itu patennya. Ada juga yang bilang itu bohong. Saya bingung sendiri. Akhirnya saya bilang bahwa saya punya dokumennya. Data itu juga saya sampaikan kepada Pak Desra Percaya, Duta Besar RI di Inggris. Ada juga yang bilang saya mau cari ketenaran. Padahal buat saya itu juga tidak ada untungnya. Saya sebenarnya berbicara soal itu untuk membantu mengedukasi masyarakat, memberikan informasi yang benar. Tidak ada maksud lain.

Bagaimana Anda melihat hasil kerja tim Anda yang telah membantu banyak orang di dunia selama masa pandemi ini?
Perasaannya kompleks, ya. Bangga juga kerja keras kami selama setahun ini digunakan masyarakat di seluruh dunia. Bisa menyelamatkan banyak jiwa. Tapi capaian saya belum ada apa-apanya dibandingkan dengan ilmuwan hebat lain. Perjalanan saya masih panjang, perlu banyak belajar kepada peneliti lain.

Apakah pernah merasa terbebani dalam riset vaksin Covid-19 yang menyangkut banyak nyawa manusia ini?
Beban moral selalu ada dari awal proyek berjalan. Kami mengikuti standar dan spesifikasi supaya produk lolos tes. Proses yang dihasilkan harus andal, bisa menghasilkan banyak dosis dengan metode yang simpel agar bisa diadopsi banyak laboratorium. Jadi tanggung jawabnya di situ.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus