Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mengapa mereka yang sudah mendapatkan vaksin Covid-19 masih terinfeksi.
Penjelasan kemanjuran vaksin Covid-19 lengkap
JUMLAH tenaga kesehatan yang meninggal karena Covid-19 yang tercatat di situs Koalisi Warga untuk LaporCovid-19 terus bertambah. Hingga Jumat, 6 Agustus lalu, tercatat 1.689 orang meninggal, didominasi dokter sebanyak 640 orang, lalu perawat (503), bidan (306), apoteker (48), dan ahli laboratorium (47). Tenaga kesehatan diprioritaskan dalam program vaksinasi menggunakan vaksin Sinovac Biotech Ltd dengan merk CoronaVac. Sebanyak 95 persen tenaga kesehatan telah menerima dua dosis vaksin Covid-19, tapi ada yang tetap tertular. Bahkan tak sedikit yang sakit parah dan meninggal.
Manajer tim riset vaksin CoronaVac di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, Eddy Fadlyana, mengatakan diperlukan studi penyakit dalam untuk mengetahui mengapa orang yang sudah divaksin lengkap masih bisa terkena Covid-19. “Saya enggak punya data,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juru bicara program vaksinasi Covid-19, Siti Nadia Tarmizi, pun menampik anggapan bahwa penerima vaksin Sinovac lebih mudah tertular SARS-CoV-2. "Tidak ada data resmi (penerima CoronaVac lebih mudah tertular). Yang kami ketahui, banyak tenaga kesehatan terkena," tutur Nadia.
Menurut Nadia, tenaga kesehatan memiliki risiko tinggi terkena virus corona karena terus-menerus bertemu dengan pasien Covid-19. Apalagi saat in terjadi lonjakan angka kasus Covid-19. Selain itu, Nadia menambahkan, virus yang paling banyak menyebar saat ini adalah varian delta (B.1617.2) yang diketahui enam kali lebih menular dibanding varian alpha. "Saat terjadi lonjakan jumlah kasus, pasti faktor kelelahan juga ada sehingga menurunkan imunitas tenaga kesehatan," ucap Nadia.
Guru besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Chairul Anwar Nidom, mengatakan kematian tenaga kesehatan yang telah divaksin dosis penuh membuktikan adanya fenomena antibody-dependent enhancement (ADE). “Dari awal sudah saya sampaikan ada ADE, tapi tidak ada yang merespons,” kata Nidom pada Selasa, 3 Agustus lalu, mengenai penelitiannya yang dipublikasikan di jurnal Systematic Reviews in Pharmacy edisi Agustus-September 2020.
Menurut Nidom, munculnya varian baru (dalam studi kala itu merujuk pada varian D614G), tenaga kesehatan yang terinfeksi, dan menurunnya kadar antibodi menjadi bukti fenomena ADE. Kejadian ADE timbul jika antibodi tak efektif menetralkan virus yang ditargetkan sehingga virus leluasa masuk ke sel dan bersama antibodi membuat infeksi bertambah parah. “Virus ini masuk ke sel manusia tidak melalui reseptor ACE2 (angiotensin-converting enzyme 2), tapi lewat macrophage—satu dari dua jenis sel darah putih,” ujarnya.
Penurunan level antibodi pada penerima vaksin CoronaVac telah diteliti oleh tim yang dipimpin Zhu Fengcai dari Jiangsu Provincial Center for Disease Control and Prevention, Cina; dan Sinovac. Dalam makalah penelitian yang dipublikasikan di situs MedRxiv.org yang belum di-peer-review itu terungkap bahwa enam-delapan bulan seusai vaksinasi, titer antibodi netralisasi—salah satu indikator imunitas yang dibangkitkan oleh vaksin—penerima vaksin menurun hingga di bawah ambang batas yang ditetapkan peneliti yang tak disebutkan nilainya.
Penelitian itu juga menemukan kadar antibodi para relawan yang menerima suntikan dosis ketiga meningkat. Relawan yang disuntik enam atau delapan bulan setelah suntikan kedua memiliki titer antibodi netralisasi tiga-lima kali lipat daripada mereka yang disuntik 28 hari selepas suntikan kedua. Namun peneliti tak secara langsung mengusulkan waktu yang pas untuk pemberian suntikan penguat ini. Menurut mereka, harus ada pertimbangan situasi epidemi lokal, risiko infeksi, pasokan vaksin, serta faktor lain.
Berdasarkan penelitian Madhumita Shrotri dari Institute of Health Informatics University College London, total level antibodi penerima vaksin AstraZeneca dan Pfizer-BioNTech pun menurun enam pekan seusai suntikan dosis kedua dan dapat berkurang hingga lebih dari 50 persen setelah sepuluh pekan. “Tingkat antibodi setelah kedua dosis vaksin AstraZeneca atau Pfizer pada awalnya sangat tinggi. Inilah yang mungkin menjadi bagian penting mengapa mereka sangat protektif terhadap Covid-19 yang parah,” ucap Shrotri.
Penelitian Shrotri yang dipublikasikan sebagai surat riset di jurnal The Lancet pada 31 Juli lalu itu juga menampilkan angka penurunan titer antibodi. Untuk vaksin BNT162b2 dari Pfizer, level antibodi menurun dari median 7.506 unit per mililiter (U/mL) pada 21-41 hari seusai vaksinasi terakhir menjadi 3.320 U/mL setelah 70 hari atau lebih. Sedangkan untuk vaksin ChAdOx1 dari AstraZeneca, level antibodi berkurang dari median 1.201 U/mL pada 0–20 hari seusai suntikan kedua menjadi 190 U/mL (67–644 U/mL) setelah 70 hari atau lebih.
Penurunan titer antibodi pada orang yang telah divaksin, menurut Wakil Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, David Handojo Muljono, adalah hal yang biasa terjadi. Apalagi, David menambahkan, vaksin Covid-19 tidaklah sesempurna vaksin influenza atau vaksin hepatitis. “Vaksin influenza butuh lima tahun hingga menjadi vaksin yang stabil, sedangkan vaksin hepatitis B memakan waktu sepuluh tahun,” tutur doktor bidang imunologi dan virologi molekuler, Jichi Medical University, Jepang, ini.
Zhu Fengcai dan tim peneliti mengatakan tak ada kejelasan bagaimana penurunan kadar antibodi ini mempengaruhi efektivitas vaksin. Sebab, para ilmuwan di dunia belum mengetahui secara tepat ambang batas level antibodi untuk vaksin agar dapat mencegah Covid-19. Ihwal efektivitas vaksin, David mengatakan boleh jadi mutasi SARS-CoV-2 “berpotensi” menyebabkan vaksin kurang efisien, bukan tidak efisien. Menurut dia, vaksinasi penting walau muncul varian virus. “Makin banyak orang yang divaksin, makin sedikit penularan virus. (Karena) tak ada lagi tempat untuk virus,” ujarnya.
David menambahkan, vaksinasi tidak hanya dapat menciptakan antibodi, tapi juga membentuk sel memori. Karena itu, walaupun level antibodi turun atau tidak ada ketika terjadi infeksi atau mendapat vaksin lagi, sel memori akan membangkitkan sel limfosit B untuk memproduksi antibodi. “Tidak adanya antibodi spesifik dalam serum bukan berarti tidak ada memori imun,” ucap David menyitir penelitian Rebecca J. Cox dari University of Bergen, Norwegia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan bangkitnya sistem imun yang dirangsang sel memori, kata David, sebagian besar penderita yang terpapar infeksi baru, misalnya bagi yang sudah mendapatkan dua kali vaksin Covid-19, tidak akan berkembang menjadi gejala berat.
ANWAR SISWADI (BANDUNG), EGY ADYATAMA (UCL.AC.UK, SOUTH CHINA MORNING POST, REUTERS, THE LANCET, MEDRXIV.ORG, NATURE)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo