"NILAI penemuan kerangka manusia Zaman Batu di Kabupaten Limapuluh Koto, awal Oktober lalu, hanya untuk pengecekan ulang," ujar Arkeolog Haris Sukendar. Dengan rendah hati, pemimpin tim penggalian itu mengutarakan, penemuan kerangka manusia tersebut bukan hal luar biasa dan bukan pula yang pertama kali. Penggalian yang sejenis, menurut Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Prof. Dr. Soejono, sudah dimulai pada 1976. Dan, sejak 1985, sejumlah kerangka manusia telah ditemukan. Tapi bukan berarti hasil penggalian di Kabupaten Limapuluh Koto itu tak penting. Ia merupakan bukti langka dalam rangkaian usaha mengungkapkan tradisi Zaman Megalitik, zaman batu antara 1.000 tahun dan 50 tahun Sebelum Masehi, di Indonesia. Zaman yang disebut pula sebagai Zaman Batu Besar ini telah mengenal peradaban yang cukup canggih. Karena itu, kaya dengan nuansa dan corak yang tidak mudah ditelusuri. Salah satu tanda Zaman Megalitik ini adalah patung-patung batu yang dikenal dengan nama menhir, yang berfungsi sebagai obyek pemujaan, tanda tempat upacara, dan semacam nisan pekuburan. Menhir biasanya ditemukan di kawasan pegunungan, yang menandakan Zaman Megalitik sudah mengenal kultur agraris yang cukup lanjut. Berbeda dari Zaman Mesolitik dan Zaman Neolitik (2000-1000 SM) yang merupakan Zaman Batu yang sebenarnya, karena semua peralatannya terbuat dari batu. Keunikan Zaman Megalitik, yang membuat kedudukannya sering tersamar, tradisi yang diciptakannya menurun ke zaman-zaman lain. Kebiasaan membuat menhir, misalnya, dikenal pula sampai ke Zaman Hindu dan pra-Islam, atau masa awal masuknya agama Islam. Sumatera Barat, khususnya Kabupaten Limapuluh Koto, sudah lama menarik perhatian arkeolog karena kaya dengan peninggalan menhir. Arkeolog ahli Megalitik, Westenenk, tanpa penelitian rinci, menduganya sebagai peninggalan awal Zaman Megalitik. Benarkah menhir-menhir itu peninggalan masa Megalitik ? "Walau tradisi Megalitik tampak kuat di Sumatera Barat, kita baru sampai pada melihat sebuah dataran yang penuh dengan menhir," ujar Soejono. Maka, data yang lebih rinci memang diperlukan. Yang merangsang rasa ingin tahu, menhir di Kabupaten Limapuluh Koto beraneka ragam. "Ada yang tunggal, ada yang berderet seperti pekuburan," kata Sukendar pada Agus Sigit dari TEMPO. Ada pula yang berdiri monumental di sebuah bukit, dan tampaknya merupakan pusat menhir-menhir kecil di sekitar perbukitan. Di situs (daerah peninggalan) Bawah Parit, Ronah, Koto Gadang, dan Belubus, yang digali Oktober lalu, berbagai keunikan itu bisa ditemukan. "Di situs Bawah Parit, kami benar-benar terpesona," kata Sukendar, "di situ ada 380 menhir, semua mengarah ke tenggara-barat laut." Bila dibandingkan, menhir di kawasan lain hanya 20-30 buah. Menurut Wiyoso Yudoseputro, ahli seni rupa purba, salah satu patokan masa Megalitik yang paling tua di Indonesia adalah benda temuan yang terdapat di lembah Bada, Toraja, Sulawesi Selatan. "Struktur batu pada benda temuan itu masih kelihatan jelas, dan garis-garis pahatannya sangat sederhana dan kasar," katanya. Peninggalan Megalitik di Sumatera, menurut ahli itu, berasal dari masa yang lebih maju. Terlihat pemahatnya sudah mampu mengolah materi. "Pahatannya lebih halus, dan bentuknya lebih dinamis," ujar Wiyoso lagi. Maka, menhir, sebagai manifestasi tradisi pemujaan, yang merupakan ciri Megalitik awal, mungkin telah bergeser diSumatera. Inilah asumsi tim peneliti masa Megalitik Kabupaten Limapuluh Koto, yang antara lain terdiri dari tim Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan tim Paleoantropologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Sejak penemuan tahun 1985, fungsi menhir di Kabupaten Limapuluh Koto tampak semakin jelas. Pada penggalian tahun ltu, tlga menhir yang digali diketahui mengandung tiga kerangka manusia. Pada penelitian Oktober lalu, 8 kerangka ditemukan di 9 kotak penggalian. "Penemuan kerangka di bawah menhir ini, untuk sementara, menggugurkan teori yang menyatakan fungsi menhir di Kabupaten Limapuluh Koto adalah pemujaan," ujar Dr. Boedisampurno, ahli paleoantropologi yang ikut dalam penelitian itu. Langkah penelitian selanjutnya setelah fungsi menhir sudah diketahui adalah melakukan identifikasi kerangka yang ditemukan pada pekuburan itu. Inilah obyek pengamatan Boedisampurno sebagai ahli anatomikerangka purba. Dari data sejarah perpindahan ras bangsa-bangsa terdapat dua kemungkinan identitas: kerangka ras Mongoloid dan kerangka ras Austromelanosoid. Dari hasil penelitian dengan antropometer, Boedisampurno cenderung berpendapat, kerangka yang ditemukan di Bawah Parit, Ronah, Koto Gadang, dan Blubus adalah kerangka ras Mongoloid. Boedisampurno mengungkapkan, yang paling khas, tengkorak pada kerangka yang ditemukan pendek dan bulat -- ciri ras Mongoloid. Tengkorak Austromelanosoid memanjang dan sempit. Lagi pula, di bagian belakang tengkorak Austromelanosoid umumnya terdapat tonjolan yang memudahkan pengenalan cirinya. Gigi juga tak luput dari pengamatan Boedisampurno. Dan yang ditemukannya memang ciri gigi ras Mongoloid. "Bentuk gigi serinya seperti sekop," katanya. Identitas Mongoloid pada kerangka menguatkan dugaan bahwa tradisi Megalitik di Kabupaten Limapuluh Koto sudah terpengaruh kebudayaan Dongson. Kebudayaan yang terletak antara Zaman Megalitik dan Zaman Hindu itu dikenal berpangkal di kawasan Indocina (ras Mongoloid). Menurut Wiyoso, melalui kebudayaan Dongson, ciri batu Megalitik sedikit demi sedikit hilang, karena munculnya pengenalan materi logam, khususnya pengecoran logam perunggu. Bentuk menhir dengan sendirinya mengalami perubahan karena pengaruh itu. "Ciri menhir yang terkena pengaruh kebudayaan Dongson adalah bentuknya sudah lebih realistis," ujar Wiyoso. Ciri ini tampak jelas pada menhir yang ditemukan di daerah Pasemah, Sumatera Selatan. Dan menhir di Kabupaten Limapuluh Koto, menurut penilaian ahli seni rupa purba itu, kemungkinan besar berasal dari masa sekitar kebudayaan Dongson, mungkin lebih tua, mungkin juga lebih muda dari menhir di Pasemah. Melalui kebudayaan Dongson, tradisi Megalitik menembus ke Zaman Hindu dan masa pra-Islam. "Sebab, kebudayaan Dongson ini memang merupakan akar seluruh budaya di Indonesia," kata Wiyoso lagi. Penemuan lain yang menguatkan dugaan menhir di Kabupaten Limapuluh Koto bukan berasal dari tradisi awal Megalitik, pada kuburan yang digali tidak ditemukan benda-benda kuburan. "Pada makam Megalitik. benda-benda bekal kubur ini selalu ada," ujar Prof. Teuku Jacob, ahli paleontologi dan bekas Rektor Universitas Gadjah Mada "Ini menggambarkan kepercayaan mereka tentang perjalanan ke alam baka -- harus menggunakan perhiasan dan dikawal anjing atau binatang lainnya." Prof. Soejono tampaknya sepakat dengan pendapat bahwa usia kerangka yang ditemukan Oktober lalu tidak terlalu tua. Persisnya berapa, ia belum bisa memastikan, karena penentuan akurat umur kerangka Megalitik itu harus dilakukan dengan peralatan canggih, yang dikenal dengan nama pemeriksaan menggunakan Metode C-14, yang belum ada di Indonesia. Menurut rencana, seperti diungkapkan Sukendar, dalam waktu dekat Soejono akan membawa penemuan Kabupaten Limapuluh Koto itu ke Negeri Belanda untuk memastikan umur kerangka. "Dengan adanya penemuan ini, beberapa gap dalam rangkaian sejarah nenek moyang kita akan terisi," ujar Teuku Jacob, "dan kita jadi tahu perihal ras dan penyebaran nenek moyang kita." Jim Supangkat Laporan Didi Sunardi (Bandung) & Yuyuk Sugarman (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini