BANK Bumi Daya berdusta? Masa iya? Tapi itulah yang dituduhkan Ismed Machland Munir, 35, mewakili almarhum ayahnya, Munir Hamid, Direktur PT Putri Kayangan Medan. Ia lantas menggugat. Namun, Hakim Hartomo yang mengadili perkara itu di Pengadilan Negeri Medan, pekan lalu, membersihkan nama BBD: menganggap bukti yang diajukan Ismed berupa fotokopi -- tidak cukup kuat untuk mendakwa bank pemerintah itu merugikan na sabahnya. Sebab itu Hartomo, yang dalam waktu dekat akan pindah ke Palembang, menolak gugatan pengusaha itu dan memenangkan BBD. Kisahnya, menurut versi Ismed, di tahur 1970-an, Putri Kayangan, penghasil kelapa sawit terbesar di Medan meminjam dana Rp 38 juta dari BBD. Empat tahun kemudian, posisi kreditnya membengkak Rp 561 juta, setelah ditambah bunga segala. Nah, menurut Ismed ketika itu pihak Putri Kayangan melunasi utangnya. "Malah kelebihan Rp 126 juta," tutur Ismed. Tapi, awal tahun 1976, ketika produksi Putri Kayangan bertambah, permohonan kredit diajukan lagi. Jumlah yang diminta Rp 228 juta. Perjanjian ditandatangani dengan jumlah Rp 920 juta. "Saya anggap jumlah itu merupakan besar utang lama ditambah pinjaman baru. Walaupun jumlahnya kelebihan, saya percaya itikad baik BBD," katanya. Untuk pinjamannya itu diagunkan 9 jenis harta, termasuk pabrik berikut 1.000 hektar perkebunan kelapa sawit di Aceh Timur, beberapa bidang tanah, rumah, dan tujuh mobilnya, yang jumlahnya ditaksir Rp 1,4 milyar. Belakangan, pinjaman Rp 228 juta itu ditolak. "Ini dia surat BBD yang menolak kredit itu," katanya, sambil memperlihatkan surat pembatalan itu. Dengan penolakan ini, Ismed menganggap perjanjian yang Rp 920 juta batal. Namun, nyatanya, pihak BBD memiliki grosse akte -- yang kekuatannya sama dengan keputusan hakim -- yang berbunyi antara lain: utang Putri Kayangan Rp 485 juta lebih ditambah dengan jumlah utang lain yang diperhitungkan hingga 1980 menjadi Rp 920 juta. Tentu saja, Ismed, bekas suami Artis Ricca Rachim itu, lantas mencak-mencak: dia merasa tidak punya utang lagi. Lalu ia menggugat BBD. Di persidangan yang diketuai Hartomo, pihak BBD mengakui bahwa Putri Kayangan pada 1979 telah melunasi utang Rp 500 juta dengan menjual pabrik dan tanah yang diagunkan. Tetapi tetap saja utangnya Rp 653 lebih. Perhitungannya, utangnya yang Rp 920 juta sudah membengkak plus tunggakan bunga, dikurangi 500 juta itu tadi. Jadilah angka 653 juta . "Tak ditemukan suatu kelainan," kata pihak BBD pada Bersihar Lubis dari TEMPO. Juga, katanya, grosse akte terlepas dari perjanjian kredit di awal Januari 1976 itu. "Jadi, walaupun BBD menolak permintaan kredit Rp 228 juta bukan berarti akta utang itu menjadi batal. Pokoknya, akta itu tak ada hubungan dengan permohonan kredit Putri Kayangan," katanya. Dan Hakim Hartomo, pekan lalu, memutuskan menolak gugatan Ismed. Bukti-bukti yang diajukan Ismed tak kuat, begitu alasannya. "Karena bukan bukti asli, hanya fotokopi saja," kata Hartomo. Sebaliknya, pengacara Ismed, H. Syarief Siregar dan Egawaty Siregar, menganggap pihak BBD berdusta. "Di persidangan, BBD mengaku setoran Putri Kayangan hampir Rp 756 juta. Apa itu bukan bukti?" tanya Syarief. Artinya, justru lebih dari bukti yang dikumpulkan Ismed bahwa ia cuma berutang Rp 628 juta. Malah Dihak Ismed berani memakai jasa akuntan publik untuk mengorek bukti di BBD. Tapi ditolak. "Karena bukti-bukti telah cukup," kata Hartomo. Ismed dan pengacaranya tidak puas, dan kontan naik banding. Jawab Hartomo, "Jika ada yang tak puas, boleh saja banding." Begitulah lazimnya. Bunga Surawijaya Laporan Bersihar Lubis (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini