MALAM tanggal 13 Juli memang merupakan malam sial bagi 9 juta
penduduk New York. Sudah diketahui: selama 25 jam listrik mati
gara-gara kilat menyambar putus kabel transmisi PLTN Indian
Point, dan tiga jaringan transmisi listrik dari luar New York.
Akibatnya: sebagian penduduk New York pada merampok
beramai-ramai. Polisi patroli malam yang biasanya hanya 2500
orang diperkuat 4 x lipat. 3000 orang ditangkap, dan barisan
pemadam kebakaran kerja lembur memerangi api yang muncrat di
1037 tempat.
Semuanya ribut: Kepala Polisi, Walikota, Gubernur, sampai
Presiden Jimmy Carter yang menyuruh usut maskapai listrik
Consolidated Edison Co. (Con Ed), sebagai pihak yang
bertanggungjawab. Sebab semuanya tak menyangka bahwa pemadaman
listrik total di New York selama 11 jam tahun 1965 -- gara-gara
kemacetan PLTA Niagara - bisa terulang lagi, malah lebih
dahsyat. Sampai-sampai Joyce Tucker, juru bicara Con Ed hanya
angkat bahu dan bilang: "lt was an act of God".
Menghidupkan AC
Sepintas lalu, memang. Sebab siapa yang sangka bahwa empat
berkas kilat yang begitu dahsyat akan menyambar PLTN,
transformator dan jaringan kabel udara 80 km di utara pusat kota
dalam selang waktu yang begitu cepat? Tapi terang, di negeri
yang sudah mampu mengirim roket ke Mars dan menjinakkan enerji
nuklir itu, orang tak mungkin manggut-man,gut saja mendengar
penjelasan Con Ed. Majalah Time dalam laporan utamanya 25 Juli
misalnya, mencoba mengumpulkan faktor-faktor penyebab.
Pada malam mati-lampu itu, New York diselimuti lapisan udara
panas dan lembab. Itu menyebabkan orang di mana-mana
menghidupkan AC-nya. Sehingga beban listrik begitu tinggi yang
harus dipikul Con Ed mendorong perusahaan itu mengimpor sebanyak
mungkin tenaga dari pembangkit-pembangkit luar kota. Tapi udara
yang panas dan lembab itu pula merupakan penghantar yang menarik
loncatan listrik dari awan ke bumi. Dan betul saja.
Didahului badai musim panas di utara New York, pukul 20.37 kilat
dengan dahsyatnya menyambar reaktor nuklir Indian Point No. 3 di
tepi Sungai Hudson. Secara otomatis alat pengaman PLTN itu
kontan memutus aliran listrik berkekuatan 900 Mega Watt dari
PLTN itu. Pukul 20.56, sambaran kilat yang lain memutuskan
aliran listrik 1000 MegaWatt dari luar kota, juga di dekat
Indian Point. Dan 3 menit kemudian, jaringan transmisi tenaga
dari luar kota - juga tak jauh dari sasaran pertama dan kedua -
disambar putus. etika 1 jam kemudian sambaran kilat keempat
menggasak jaringan transmisi di utara Pleasant Valley, seluruh
tenaga yang diimpor dari utara New York terputus total.
Penting juga untuk dicatat: hampir seluruh jaringan transmisi
listrik dari luar kota, melewati satu 'pintu gerbang' yang
sempit. Dan berdekatan pula dengan sumber listrik utama New York
sendiri, yakni PLTN Indian Point. Lokasi pusat listrik dan
jaringan transmisi yang begitu terkonsentrir itu merupakan leher
botol yang begitu genting bagi kehidupan listrik kota
metropolitan itu. Juga bukan kebetulan bahwa' senjata Dewa Indra
itu menyambar PLTN itu lebih dahulu, kemudian baru jaringan
transmisi dari luar kota.
Kilat memang suka tertarik pada obyek-obyek magnetis,
bahan-bahan radio aktif (nuklir), gunung yang tinggi, gedung
jangkung, dan ujung menara gereja (dan mesjid) yang lancip.
Pohon-pohon yang tinggi juga mudah mengundang petir, apalagi
kalau kulit pohon itu kasar sepertipohon oak. Pohon begini,
kalau disambar petir, panasnya bisa mendidihkan getah cair dalam
batang pohon itu yang mengembang, sehingga pohon itu "meledak".
Jaringan listrik di atas tanah, seperti gardu, transformator,
menara dan kabel udaranya, juga mudah sekali memikat kilat.
Makanya di Amerika, sebagian kabel transmisi dan distribusi
sudah ditanam. Selain kelihatannya lebih rapi, juga lebih aman.
Terakhir, tak dapat dilupakan pula peranan sungai dan tanah yang
basah sebagai penghantar listrik yang tangguh. Makanya
permukaan air atau tanah yang basah juga lebih mudah memancing
jilatan petir, ketimbang tanah yang kering. Dan yag disambar
petir Rabu malam 13 Juli itu dalam PLTN 900 Mega Watt di tepi
Sungai Hudson.
Kombinasi bebagai faktor itu memang sepantasnya membuat Con Ed
lebih berjaga-jaga. Tapi mengapa perusahaan itu 'kecolongan'
juga?
Faktor-faktor geografis - yang menyebabkan PLTN dan jaringan
pengimpor tenaga semuanya berjubel di satu tempat - tentu saja
besar peranannya. Tapi juga "taksiran bahaya sambaran petir,
yang mungkin sudah terlalu rendah untuk daerah New York itu
dalam kondisi seperi sekarang," komentar ir Suryono, dosen FT
Usakti yang juga berpengalaman dalam pemasangan instalasi
penangkal petir.
Katanya kepada TEMPO: "Bagaimanapun juga, teknik penangkal
petir ini didasrkan pada pengalaman empiris. Jadi kalau
frekwensi sambaran petir di suatu tempat - yang diukur dalam
lightning days per year (hari kilat dalam setahun) - rendah,
orang biasanya memasang penangkal petir yang keampuhannya
rendah. Plus safety margin secukupnya."
Tapi ada satu pelajaran yang cukup berharga dari musibah matinya
listrik di New York itu. Katanya dengan bersemangat: "Kalau
Amerika yang begitu maju teknologinya bisa kecolongan, apalagi
kita. Sebab kita di sini khususnya di Pulau Jawa, punya risiko
disambar petir yang tertinggi di seluruh dunia!" Dia berani
berkata demikian, karena menurut pengamatan dan pengukuran para
ahli listrik di Amerika, Pulau Jawa setiap tahun rata-rata
disambar petir selama 220 hari. Berarti sisa 145 hari yang
relatif aman.
Bakat pulau terpadat penduduknya di Indonesia ini - yang juga
merupakan pusat ekonomi, dan nantinya basis reaktor-reaktor
nuklir pertarna kepunyaan BATAN - rupanya sudah disadari pula
oleh para teknisi Indonesia. Terutama yang bertanggungjawab atas
pengamanan gedung-gedung dan instalasi-instalasi penting.
Makanya sejak empat tahun berselang banyak gedwlg dan instalasi
penting sudah memasang penangkal petir radio aktif.
Penangkal petir jenis begitu prinsipnya tak banyak berbeda
dengan tiang penangkal petir yang pertama kalinya diciptakan
Benyamin Fraklin (1760) di AS. Yakni sebatang tiang logam yang
dipasang di atap rumah setinggi mungkin, yang 'menyedot' listrik
dari awan dan menyalurkannya lewat kawat logam pula ke dalam
tanah. Ujung tiang itu sekaligus merupakan puncak 'tenda' muatan
listrik yang melindungi gedung.
Dengan memasang isotop yang dapat menyemprotkan muatan listrik
positif di ujung tiang itu, daya jangkau tiang penangkal petir
itu tambah tinggi. Konsekwensinya, 'tenda' atau 'tabir'
pelindung gedung atau instalasi penting itu pun tambah tinggi
dan tambah luas.
Sampai sekarang baru dua jenis penangkal petir radio-aktif yang
dikenal di Indonesia. Yakni preventor buatan Inggeris, yang
menggunakan isotop radium. Dan helita buatan Perancis yang
menggunakan isotop americium. Gedung-gedung jangkung milik
DKI banyak menggunakan penangkap petir radio-aktif buatan
Inggeris itu. Sedang Bulog, Gedung Arsip Negara dan Glodok
Plaza, memakai yang Perancis. Kekuatannya kurang lebih sama.
Tapi menurut pihak BATAN, isotop radium dalam penangkal petir
buatan Inggeris itu kabarnya ada efek sampingannya: timbulnya
gas ralox yang bisa melahirkan bahaya radiasi terhadap manusia
di sekitar gedung - karena kecepatan 'berbiak' gas radio-aktif.
Namull sejaull nlana efek sampillgall gas radoh itu sudah
terasa. mungkin pihak DKI lebih mafhum. Atau mungkin lebih baik
lagi kalau BATAN yang memang bertanggungjawab atas segala
sesuatu yang berbau radio-aktif di Indonesia mengadakan
pengukuran gas radox di sekitar gedung Balai Kota DKI yang
bertingkat -24. Yah anggaplah misalnya sebagai "calon korban".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini