Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

96 orang di marunda

Wali kota jak-ut melarang penggalian & pengumpulan pasir di marunda dengan sk no. 021, 30 april 1976. pengolahan pasir akan dilakukan badan pengelola otorita (bpo) marunda atas persetujuan wali kota.

6 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI kawasan yang kesohor dengan jagojago silatnya,.Marunda, Jakarta Utara, sedang ada keresahan. Bukan lantaran amukan seorang jago silat jahat. Tapl karena adanya Surat Keputusan Walikota Jakarta Utara (No.021/SKPTS /AII/WK/JU/1976 tanggal 30 April 1976) yang menyetop kegiatan usaha penggalian dan pengumpulan pasir di sana. Hingga tentu saja 96 pemilik pangkalan pasir laut yang sejak 3 tahun lalu berhiruk-pikuk di sana, jadi terhenti mata pencahariannya. Jika mereka mengeluh, tentulah wjar. Sebab liku-liku kegiatan mereka sampai akhirnya mesti stop dan memubazirkan 10.000 M3 pasir di Marunda, memang tak singkat. Dengan mulai membeli tanah rawa-rawa dari beberapa orang oknum veteran dan lalumenimbunnya, mereka membuka pangkalan-pangkalan berukuran 15 x 15 M sebagai tempat berjual-beli pasir. Dengan mengupah bida-bida (istilah mereka buat pengambil pasir) sebesar Rp 500 tiap M3, bida-bida ini mengangkuti pasir dengan perahu dan tongkang dari Bekasi, Tangerang dan Karawang. Dan dari Marunda itulah setiap hari mengalir berton-ton pasir untuk mengokohkan bangunanbangunan di Jakarta. Atas usaha ini mereka mendapat izin dari DKI. Sebab ada SK Gubernur DKI Jakarta tahun 1973 yang menyebutkan bahwa pantai Cilincing sepanjang 3 Km mulai Kali Baru sampai Jaun sebagai tempat pengambilan pasir. Surat ini diperkuat SK Walikota Jakarta Utara No.05 dan setenlsnya tahun 1974. Tapi ada yang dirasa aneh oleh para pemilik pangkalan pasir itu sebelum keluar SK Walikota yang menyetop usaha mereka. Menurut Hafid dan peinilik pangkalan pasir lainnya, bulan September (kira-kira 7 bulan sebelum SK Walikota keluar), ia pernah didatangi petugas Walikota. Orang tersebut membujuk agar menjual pangkalannya dengan harga Rp 160 per M2. Bujukan ini kontan ditampik. Rp 2,9 Milyar & BPO Beberapa bulan kemudian muncul lagi petugas Walikota menyampaikan perintah agar kegiatan penjualan pasir dihentikan. Katanya bersifat sementara karena akan ada perbaikan jalan. Tapi begitu perbaikan selesai, tutur Hafid, truk-truk yang biasa mengangkut pasir buat Jakarta. dilarang masuk. Malahan jalan masuk ke Marunda dihalangi protal (palang besi). Para pemilik pangkalan mencoba menolak dan membongkarnya kembali, tapi tak berhasil Bahkan mereka dibawa ke Komando Wilayah Kepolisian dan disekap selama semalam di sana. Tapi sementara tumpukan 10.000 M3 pasir tak boleh keluar, perahu-perahu (rata-rata mereka memiliki 20-30 perahu) nongkrong dan rusak (harga belinya Rp 75 - 100 ribu), bida-bida bubar. Tapi kegiatan di tetangganya Kali Baru terus berlangsung. Tongkang-tongkang dari Tanjung Priok tetap bebas mengeruki pasir di sana. Dengan alat mesin pula. "Mengherankan. Kami yang mengambil pasir dari luar DKI malah dituduh merusak pantai DKI," begitu gerutu mereka. Namun yang lebih mengejutkan mereka ialah rahasia yang dipergoki mereka melalui sebundel surat yang tercecer dari map seorang petugas Badan Penglola Otorita (BPO) Marunda. Ini terjadi waktu ribut-ribut pemasangan portal. Di antara surat tersebut menyebutkan sebuah persetujuan antara Walikota Jakarta Utara dan BPO Marunda bertanggal 2 Mei 1976. Isinya, walikota setuju rencana Land reclamation (pengurugan tanah) dan penjualan pasir laut selama 5 tahun oleh badan otorita yang konon dibentuk Pemda DKI buat pengembangan daerah Marunda itu. Berdasarkan fisibility study lengkap badan itu, keuntungan bersih Rp 2,9 milyar bisa dikeruk oleh BPO bila Marunda bisa dikuasainya. Tapi tatkala mau dicek dan para pemilik pangkalan mohon kebijaksanaan Walikota, mereka ditolak. Juga surat mereka pada bulan anuari 1977 kepada Gubernur DKI, mendapat jawaban: "tetap dilarang." "Persoalannya sudah selesai," tukas Walikota Dwinanto Prodjosupatmo kepada Linda Djalil dari TEMPO dengan marah. "Mereka merusak pantai DKI. Meski ambil dari luar DKI, mereka memakai jalan saya. jadi saya larang. Soal keuntungan Rp 2,9 milyar? Itu bukan urusan mereka. Tak ada sangkut paut dengan soal pasir." Itu kata Walikota.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus