DI kawasan yang kesohor dengan jagojago silatnya,.Marunda,
Jakarta Utara, sedang ada keresahan. Bukan lantaran amukan
seorang jago silat jahat. Tapl karena adanya Surat Keputusan
Walikota Jakarta Utara (No.021/SKPTS /AII/WK/JU/1976 tanggal 30
April 1976) yang menyetop kegiatan usaha penggalian dan
pengumpulan pasir di sana. Hingga tentu saja 96 pemilik
pangkalan pasir laut yang sejak 3 tahun lalu berhiruk-pikuk di
sana, jadi terhenti mata pencahariannya.
Jika mereka mengeluh, tentulah wjar. Sebab liku-liku kegiatan
mereka sampai akhirnya mesti stop dan memubazirkan 10.000 M3
pasir di Marunda, memang tak singkat. Dengan mulai membeli tanah
rawa-rawa dari beberapa orang oknum veteran dan lalumenimbunnya,
mereka membuka pangkalan-pangkalan berukuran 15 x 15 M sebagai
tempat berjual-beli pasir. Dengan mengupah bida-bida (istilah
mereka buat pengambil pasir) sebesar Rp 500 tiap M3, bida-bida
ini mengangkuti pasir dengan perahu dan tongkang dari Bekasi,
Tangerang dan Karawang. Dan dari Marunda itulah setiap hari
mengalir berton-ton pasir untuk mengokohkan bangunanbangunan di
Jakarta. Atas usaha ini mereka mendapat izin dari DKI. Sebab ada
SK Gubernur DKI Jakarta tahun 1973 yang menyebutkan bahwa pantai
Cilincing sepanjang 3 Km mulai Kali Baru sampai Jaun sebagai
tempat pengambilan pasir. Surat ini diperkuat SK Walikota
Jakarta Utara No.05 dan setenlsnya tahun 1974.
Tapi ada yang dirasa aneh oleh para pemilik pangkalan pasir itu
sebelum keluar SK Walikota yang menyetop usaha mereka. Menurut
Hafid dan peinilik pangkalan pasir lainnya, bulan September
(kira-kira 7 bulan sebelum SK Walikota keluar), ia pernah
didatangi petugas Walikota. Orang tersebut membujuk agar menjual
pangkalannya dengan harga Rp 160 per M2. Bujukan ini kontan
ditampik.
Rp 2,9 Milyar & BPO
Beberapa bulan kemudian muncul lagi petugas Walikota
menyampaikan perintah agar kegiatan penjualan pasir dihentikan.
Katanya bersifat sementara karena akan ada perbaikan jalan. Tapi
begitu perbaikan selesai, tutur Hafid, truk-truk yang biasa
mengangkut pasir buat Jakarta. dilarang masuk. Malahan jalan
masuk ke Marunda dihalangi protal (palang besi). Para pemilik
pangkalan mencoba menolak dan membongkarnya kembali, tapi tak
berhasil Bahkan mereka dibawa ke Komando Wilayah Kepolisian dan
disekap selama semalam di sana.
Tapi sementara tumpukan 10.000 M3 pasir tak boleh keluar,
perahu-perahu (rata-rata mereka memiliki 20-30 perahu) nongkrong
dan rusak (harga belinya Rp 75 - 100 ribu), bida-bida bubar.
Tapi kegiatan di tetangganya Kali Baru terus berlangsung.
Tongkang-tongkang dari Tanjung Priok tetap bebas mengeruki pasir
di sana. Dengan alat mesin pula. "Mengherankan. Kami yang
mengambil pasir dari luar DKI malah dituduh merusak pantai DKI,"
begitu gerutu mereka.
Namun yang lebih mengejutkan mereka ialah rahasia yang dipergoki
mereka melalui sebundel surat yang tercecer dari map seorang
petugas Badan Penglola Otorita (BPO) Marunda. Ini terjadi waktu
ribut-ribut pemasangan portal. Di antara surat tersebut
menyebutkan sebuah persetujuan antara Walikota Jakarta Utara dan
BPO Marunda bertanggal 2 Mei 1976. Isinya, walikota setuju
rencana Land reclamation (pengurugan tanah) dan penjualan pasir
laut selama 5 tahun oleh badan otorita yang konon dibentuk Pemda
DKI buat pengembangan daerah Marunda itu. Berdasarkan fisibility
study lengkap badan itu, keuntungan bersih Rp 2,9 milyar bisa
dikeruk oleh BPO bila Marunda bisa dikuasainya. Tapi tatkala mau
dicek dan para pemilik pangkalan mohon kebijaksanaan Walikota,
mereka ditolak. Juga surat mereka pada bulan anuari 1977 kepada
Gubernur DKI, mendapat jawaban: "tetap dilarang."
"Persoalannya sudah selesai," tukas Walikota Dwinanto
Prodjosupatmo kepada Linda Djalil dari TEMPO dengan marah.
"Mereka merusak pantai DKI. Meski ambil dari luar DKI, mereka
memakai jalan saya. jadi saya larang. Soal keuntungan Rp 2,9
milyar? Itu bukan urusan mereka. Tak ada sangkut paut dengan
soal pasir." Itu kata Walikota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini