SJUMAN Djaja sedang dapat kesempatan. Lima film sutradara ini
selama 5 hari sampai dengan 22 Juli yang lalu jadi acara pekan
film Kine Klub Dewan Keseniall Jakarta. Dengan begitu ia agaknya
dianggap istimewa pcnting. Sebelum dia, pekan film Kine Klub
menampilkan karya-karya Usmar Ismail almarhum, Kurosawa dari
Jepang, Bergman dari Swedia dan Satiajit Ray dari India.
Kesempatan buat Sjuman ditambah: Rabu minggu ini ia diundang
berceramah tentang "pengertian baik dan tidak baik sebuah film."
Apa kelebihan Sjuman sebenarnya'? Ia belum membuktikan diri
sebagai "seniman besar" seperti yang dikatakan oleh bekas teman
sekelasnya, penulis Soekanto S.A., dalam diskusi di akhir pekan
film. Rata-rata karyanya belum setangguh karya Usmar. la bahkan
masih perlu diukur dengan memperhitungkan tokoh yang lebih baru
- tapi tak berarti lebih lembek - Teguh Karya, misalnya.
Bahwa orang cukup hormat kepadanya - termasuk yang
mengecamnya-mungkin karena ia bisa memberi kesan tidak sebagai
sekedar jongos para produser. Pada Sjuman tampak ada niat dan
kesempatan untuk bicara dengan gaya sutradara gede: "Ini film
gua."
Petai Kosong
Sikap itu bisa terlanjur ditawarkan sebagai petai kosong - bila
tak didukun oleh kecakapan. Dalam film macam Flamboyan (tidak
diputar untuk pekan ini) itulah yang nampak, meskipun dipajang
secara parlente. Dalam Atheis (dipertunjukan dalam pekan ini)
ketidakcakapan yang masih ada pada Sjuman nyaris tertutup oleh
nama besar novel Achdiat K. Mihardja itu - meskipun kenyataan
tetap: kesusastraan tak bisa menolong sinematografi. Seorang
sutradara pada dasarnya adalah seorang organisator, bagi awak
produksinya maupun bagi kekencsan-kekenesannya serdiri. Dalam
Atheis, Sjuman adalah organisator yang payah. Film ini centang
perenang.
Yang agak bagus ialah si Mamat. Film ini mendapat gelar film
terbaik dalam Festival Film 1974 di Surabaya, meskipun harus
diakui bahwa yang terbaik dari sana adalah pilihan themanya.
Sjuman berbicara tentang kejujuran pegawai kecil di tengah zaman
korupsi seperti sekarang. Di dalamnya ada nada kritik sosial.
satu hal yang menyebabkan teater Rendra dapat tepuk-tangan dan
yang menyebabkan Sjuman lain dari sutradara film lain dewasa
ini.
Tapi pekan film Sjuman membuktikan bahwa Si Mamat bukanlah
karyanya yang terbaik. Bagi saya puncak dari karya Sjuman
selama ini adalah Si Dul Anak Moderen. Ada terasa pertumbuhan
Sjuman jadi sutradara yang cekatan dengan kerjanya dan lebih
sederhana dalam ambisinya. Kritik sosialnya terus, tapi kali ini
tanpa pesimisme seperti dalam Si Mamat. Dengan dialog yang
tangkas, kocak dan sering tak terduga, si Dul adalah ejekan
bagi sesuatu hal yang sebenarnya sudah biasa dicemooh:
keinginan jadi "modern" dengan cara salah tingkah, seperti waktu
kita salah makan pakai pisau gaya Barat.
Sjuman memang menampilkan kritik yang dasarnya adalah sikap
romantik yang tak baru: bahwa yang "kuta" dan "modern" adalah
palsu (seperti buah plastik dalam sebuah rumah super-mewah di
film ini), dan bahwa yang udik adalah polos, naif tapi bersih.
Tapi si Dul lebih kaya dari hanya sebuah pengulangan ia
sebenarnya bercerita tentang para undersdogs dalam proses
modernisasi yang mentereng kini. Si Dul (dimainkan oleh
Benyamin). Sapi'i (Farouk Afero dengan pengisian suara yang baik
oleh Rahmat Kartolo) dan Sinyo Algadrie (Wahab Abdi) adalah
para underdogs itu. Mereka adalah sahabat dari jaman kecil
ketika Jakarta belum mengusir mereka ke "bawah". Mereka
terpaksa main tipu - dengar cara amatir. Tapi mereka
mengharukan. Mereka terpesona oleh kecemerlangan Jakarta kini,
seperti si Dul terpesona oleh Christine (Christine Hakim).
Mereka ikut palsu untuk itu (seperti juga rambut kribo si Dul).
Tapi toh mereka tetap berada di luar, tak kunjung menjangkau.
Keunggulan Sjuman di sini ialah dalam menyentuh keharuan itulah.
Asrul Sani (dalam Jembatan Merah) juga mengejek imitasi
terhadap si kaya dan si modern, tapi kekonyolan itu disana
hanya bisa menimbulkan senyum kecut. Dalam Si Dul, dengan luwes
suasana mengejek berpindah atau bersilang dengan situasi yang
menimbulkan simpati. Film ini mengandung compassion yang tak
diteriakkan, dan juga tak diakhiri dengan petuah. Si Dul tuh
akhirnya tak nampak kapok dengan si Christine.
Tanpa petuah, ia bisa jadi semacam pengakuan kita semua. Jika
orang mencari "wajah Indonesia", seperti dalam pengertian dewan
juri FFI 1977, seharusnya ia bisa menemukannya di dalam Si Dul
Anak Modern.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini