Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kehormatan untuk syuman

Lima film syumanjaya ditampilkan dalam acara pekan film kine klub dewan kesenian jakarta. goenawan mo- hamad menulis tentang syumanjaya serta film-film yang disutradarainya.

6 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SJUMAN Djaja sedang dapat kesempatan. Lima film sutradara ini selama 5 hari sampai dengan 22 Juli yang lalu jadi acara pekan film Kine Klub Dewan Keseniall Jakarta. Dengan begitu ia agaknya dianggap istimewa pcnting. Sebelum dia, pekan film Kine Klub menampilkan karya-karya Usmar Ismail almarhum, Kurosawa dari Jepang, Bergman dari Swedia dan Satiajit Ray dari India. Kesempatan buat Sjuman ditambah: Rabu minggu ini ia diundang berceramah tentang "pengertian baik dan tidak baik sebuah film." Apa kelebihan Sjuman sebenarnya'? Ia belum membuktikan diri sebagai "seniman besar" seperti yang dikatakan oleh bekas teman sekelasnya, penulis Soekanto S.A., dalam diskusi di akhir pekan film. Rata-rata karyanya belum setangguh karya Usmar. la bahkan masih perlu diukur dengan memperhitungkan tokoh yang lebih baru - tapi tak berarti lebih lembek - Teguh Karya, misalnya. Bahwa orang cukup hormat kepadanya - termasuk yang mengecamnya-mungkin karena ia bisa memberi kesan tidak sebagai sekedar jongos para produser. Pada Sjuman tampak ada niat dan kesempatan untuk bicara dengan gaya sutradara gede: "Ini film gua." Petai Kosong Sikap itu bisa terlanjur ditawarkan sebagai petai kosong - bila tak didukun oleh kecakapan. Dalam film macam Flamboyan (tidak diputar untuk pekan ini) itulah yang nampak, meskipun dipajang secara parlente. Dalam Atheis (dipertunjukan dalam pekan ini) ketidakcakapan yang masih ada pada Sjuman nyaris tertutup oleh nama besar novel Achdiat K. Mihardja itu - meskipun kenyataan tetap: kesusastraan tak bisa menolong sinematografi. Seorang sutradara pada dasarnya adalah seorang organisator, bagi awak produksinya maupun bagi kekencsan-kekenesannya serdiri. Dalam Atheis, Sjuman adalah organisator yang payah. Film ini centang perenang. Yang agak bagus ialah si Mamat. Film ini mendapat gelar film terbaik dalam Festival Film 1974 di Surabaya, meskipun harus diakui bahwa yang terbaik dari sana adalah pilihan themanya. Sjuman berbicara tentang kejujuran pegawai kecil di tengah zaman korupsi seperti sekarang. Di dalamnya ada nada kritik sosial. satu hal yang menyebabkan teater Rendra dapat tepuk-tangan dan yang menyebabkan Sjuman lain dari sutradara film lain dewasa ini. Tapi pekan film Sjuman membuktikan bahwa Si Mamat bukanlah karyanya yang terbaik. Bagi saya puncak dari karya Sjuman selama ini adalah Si Dul Anak Moderen. Ada terasa pertumbuhan Sjuman jadi sutradara yang cekatan dengan kerjanya dan lebih sederhana dalam ambisinya. Kritik sosialnya terus, tapi kali ini tanpa pesimisme seperti dalam Si Mamat. Dengan dialog yang tangkas, kocak dan sering tak terduga, si Dul adalah ejekan bagi sesuatu hal yang sebenarnya sudah biasa dicemooh: keinginan jadi "modern" dengan cara salah tingkah, seperti waktu kita salah makan pakai pisau gaya Barat. Sjuman memang menampilkan kritik yang dasarnya adalah sikap romantik yang tak baru: bahwa yang "kuta" dan "modern" adalah palsu (seperti buah plastik dalam sebuah rumah super-mewah di film ini), dan bahwa yang udik adalah polos, naif tapi bersih. Tapi si Dul lebih kaya dari hanya sebuah pengulangan ia sebenarnya bercerita tentang para undersdogs dalam proses modernisasi yang mentereng kini. Si Dul (dimainkan oleh Benyamin). Sapi'i (Farouk Afero dengan pengisian suara yang baik oleh Rahmat Kartolo) dan Sinyo Algadrie (Wahab Abdi) adalah para underdogs itu. Mereka adalah sahabat dari jaman kecil ketika Jakarta belum mengusir mereka ke "bawah". Mereka terpaksa main tipu - dengar cara amatir. Tapi mereka mengharukan. Mereka terpesona oleh kecemerlangan Jakarta kini, seperti si Dul terpesona oleh Christine (Christine Hakim). Mereka ikut palsu untuk itu (seperti juga rambut kribo si Dul). Tapi toh mereka tetap berada di luar, tak kunjung menjangkau. Keunggulan Sjuman di sini ialah dalam menyentuh keharuan itulah. Asrul Sani (dalam Jembatan Merah) juga mengejek imitasi terhadap si kaya dan si modern, tapi kekonyolan itu disana hanya bisa menimbulkan senyum kecut. Dalam Si Dul, dengan luwes suasana mengejek berpindah atau bersilang dengan situasi yang menimbulkan simpati. Film ini mengandung compassion yang tak diteriakkan, dan juga tak diakhiri dengan petuah. Si Dul tuh akhirnya tak nampak kapok dengan si Christine. Tanpa petuah, ia bisa jadi semacam pengakuan kita semua. Jika orang mencari "wajah Indonesia", seperti dalam pengertian dewan juri FFI 1977, seharusnya ia bisa menemukannya di dalam Si Dul Anak Modern. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus