Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Bencana yang Tak Teraba

Segera setelah gempa selalu ada penjelasan. Tapi guncangan bumi ini masih tak teramalkan.

4 Januari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Malam hampir seluruhnya meninggalkan Kota Bam, Provinsi Kerman, Iran. Di ufuk timur, pancaran warna jingga mengawali siang. Tapi suhu musim dingin masih menyergap badan dan menusuk tulang. Tak aneh, seusai salat subuh, Jumat dua pekan lalu, sebagian warga Bam malah kembali terlelap. Jalanan kota pun masih lengang. Namun pagi sunyi yang dingin itu tak berlangsung lama. Sempat bergetar ringan, Kota Bam tiba-tiba berguncang. Permukaan tanahnya bergerak seperti gelombang. Pepohonan dan tiang lampu tidak hanya meliuk, tapi tampak meronta-ronta. Dalam hitungan detik, benteng dan gedung-gedung di pusat kota ambruk. Puing bertumpuk di mana-mana. Lebih dari 30 ribu warga Bam terkubur hidup-hidup. Ya, gempa bumi selalu datang mendadak. Dari masa ke masa, di berbagai belahan bumi, saat gempa tiba, jutaan manusia selalu terkaget-kaget, panik, dan bahkan meregang nyawa. Mereka yang selamat kerap hanya bisa meratapi sisa bencana yang memilukan. Manusia sepertinya belum bisa berbuat banyak untuk menghadapi misteri alam yang satu ini. Kini gempa memang tak lagi dianggap sebagai kemarahan dewa penguasa jagat raya. Ini berkat rangkaian penyelidikan para ahli gempa yang panjang dan melelahkan. Teori yang paling banyak diyakini para ahli adalah teori tektonik lempeng. Menurut teori ini, bumi terdiri atas lempeng-lempeng bebatuan (tektonik) yang selalu bergerak. Gerakan ini kerap bertubrukan, saling senggol, dan saling seruduk. Saat lempeng saling menekan, ada energi yang terakumulasi. Pelepasan akumulasi energi itu menimbulkan getaran yang terasa sampai ke permukaan bumi. Saat itulah gempa terjadi. Berkat penemuan seismograf, alat pendeteksi dan pengukur yang dipasang di stasiun-stasiun pemantau gempa, para ahli dengan cepat bisa menentukan waktu, titik pusat, radius, kekuatan, dan kerusakan akibat gempa. Dengan bantuan teknologi komunikasi berbasis satelit, potret kerusakan bumi akibat gempa pun bisa disebarkan seketika ke seluruh penjuru dunia. Hanya, semua kemajuan itu baru menyingkap sebagian kecil misteri gempa. Para ahli baru bisa menggambarkan dan menjelaskan gempa setelah bencana itu datang dan pergi meninggalkan reruntuhan kota dan kuburan massal manusia. Para ahli belum bisa meramalkan secara persis kapan dan di mana gempa bakal terjadi. Sehingga, setiap ada gempa, tak pernah ada upacara siaga atau evakuasi warga. Sebenarnya, sejak awal 1970-an, ahli asal Amerika, Rusia, Cina, dan Jepang seperti berlomba meneliti dan meramalkan gempa. Upaya itu dilakukan melalui dua jurusan. Para ahli meneliti frekuensi kejadian gempa besar di masa lalu untuk menemukan pola yang berguna buat membaca kemungkinan gempa di masa depan. Pada saat yang sama, mereka mengkaji kecepatan dan tingkat akumulasi energi pada bebatuan akibat gerakan lempeng bumi. Dari bilik laboratorium, para ahli menyimpulkan, batuan yang mendapat tekanan terus-menerus akan pecah. Namun, sebelum pecah, volume batuan akan meningkat dan tahanan listrik batuan menurun. Berbekal temuan ini, para ahli meneliti bebatuan di kawasan yang rawan gempa. Dari lapangan, para ahli juga berhasil membaca tanda-tanda yang biasa terjadi sebelum gempa. Misalnya fluktuasi kandungan gas radon di sumur-sumur dalam, penurunan aktivitas seismik (getaran bumi), serta terjadinya kemiringan daerah pantai—bisa berupa laut surut atau laut pasang yang tidak biasa. Berbekal semua temuan itu, secara teoretis, para ahli bisa mencoba membuat ramalan gempa untuk berbagai belahan dunia. Hanya, secara operasional, ramalan serupa belum banyak manfaatnya. Satu-satunya ramalan yang dinilai sukses terjadi pada 1975. Saat itu, berdasarkan tanda-tanda pendahuluan, pemerintah Cina berhasil memberikan peringatan kepada warganya. Hasilnya, ketika gempa berkekuatan 7,3 skala Richter mengguncang Kota Haicheng di wilayah Yingkow, jumlah kerugian dan korban bisa ditekan. Belakangan ramalan itu lebih bersifat kebetulan ketimbang hasil pengamatan yang terencana. Buktinya, setahun kemudian, gempa yang tak kalah dahsyat mengguncang Tangshan di Cina bagian utara. Sebelum kejadian, pemerintah dan ahli gempa Cina tak berhasil mendeteksi gejala apa pun. Evakuasi tak sempat dilakukan. Akibatnya, sekitar 240 ribu penduduk Tangshan terkubur reruntuhan. Lembaga Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) malah pernah membuat ramalan yang menggelikan. Pada 1983, lembaga itu menyatakan, gempa berkekuatan sedang bakal mengguncang wilayah Parkfield, California. Prediksi itu disusun berdasarkan enam kali gempa berkekuatan 6 skala Richter yang terjadi pada rentang waktu rata-rata 22 tahun di sana. Untuk mengurangi risiko salah ramal, USGS membuat waktu terjadinya gempa sedikit tidak pasti. Gempa, menurut pakar USGS, bakal terjadi antara tahun 1983 dan 1993. Seperti mau pamer kepada dunia, saat itu Amerika pun mengerahkan banyak ahli untuk meneliti dan memonitor kawasan tersebut. Alat pemantau paling maju serta alat peringatan dini dipasang di seluruh pelosok Parkfield. Namun, sampai tahun 1993, gempa ternyata tak kunjung datang. Kasus Parkfield sempat mengikis keyakinan para ahli dan penentu kebijakan di Amerika. Dua pakar gempa dari University of California, Los Angeles, David Jackson dan Yan Kagan, seperti mewakili puncak keraguan itu. Keduanya menolak ramalan-ramalan lama dengan menyodorkan fakta baru. Katanya, daerah-daerah di Amerika yang dinyatakan "aman" gempa malah mengalami guncangan lima kali lebih sering ketimbang daerah yang dinyatakan berbahaya. "Tak seperti badai dan letusan gunung api, gempa jauh lebih sulit diduga," ujar Jackson. Ahli-ahli yang telanjur meyakini ramalan gempa akhirnya lebih berhati-hati. Ketimbang menyebut titik masa yang pasti, seperti hari atau jam, mereka memilih bermain dengan teori kemungkinan. Rentang waktu dan kekuatan gempa dibuat mengambang. Rumusan ramalannya kira-kira menjadi, "Dalam periode 100 tahun, wilayah A kemungkinan besar akan diguncang gempa berkekuatan sekian sampai sekian." Tak berhasil memprediksi waktu dan lokasi gempa, para ahli mencoba menekan kerugian akibat gempa. Awal 2003, misalnya, ahli gempa dari University of Wisconsin, Richard Allen, dan ahli geofisika dari California Institute of Technology, Hiroo Kanamori, mencoba meluncurkan sistem alarm otomatis untuk detik-detik genting menjelang gempa. Sayangnya, sistem alarm otomatis ini baru berbunyi saat getaran pendahuluan terjadi, biasanya sekitar 40 detik menjelang guncangan utama—rentang waktu yang terlalu pendek untuk proses evakuasi. Namun, menurut perancang alarm, waktu sesingkat itu pun bermanfaat, setidaknya untuk menyiapkan pemadam kebakaran, mematikan aliran listrik, atau membantu petugas menara pengawas bandar udara memperingatkan pesawat yang mau mendarat. "Atau guru bisa menyuruh anak sekolah berlindung di bawah meja belajarnya," ujar Allen. Masalah lain, di samping harganya tergolong mahal—sekitar US$ 20 juta per unit—sistem alarm ini memerlukan jaringan seismograf yang sangat sensitif dan komputer berkecepatan tinggi. Di California saja, seismograf yang sepadan dengan sistem ini bisa dihitung dengan jari. Bisa ditebak bagaimana jadinya di kota-kota kecil di negara terbelakang. Kemungkinan besar sistem alarm ini akan sulit mencari pasangan kerja. Upaya menekan kerugian akibat gempa juga dilakukan para ahli perancang bangunan. Mereka ikut memutar otak untuk membuat dan menguji rancangan bangunan antigempa. Keyakinan para insinyur ini, kerugian dan korban jiwa bukan akibat langsung dari gempa. Ribuan korban meregang nyawa saat tertimpa reruntuhan bangunan tak tahan gempa. Untuk kekukuhan bangunan, ada tiga prinsip utama yang dikembangkan: memperkuat bangunan, terutama pada sambungan, memperingan bangunan, dan memasang peredam getar. Hasilnya antara lain berupa rancangan bangunan tinggi berbentuk melancip ke atas, berbahan ringan tapi kuat, dan berfondasi bantalan karet bertulang baja. Namun konsep para insinyur itu pun belum sepenuhnya teruji. Maklum, sejak bangunan serupa bermunculan di banyak kota modern dunia, belum ada gempa dahsyat—katakanlah berkekuatan 8,5 skala Richter—yang menghantam. Sampai saat ini, kota seperti Tokyo, Los Angeles, San Francisco, dan Seattle masih menanti ketangguhan rancangan para insinyurnya. Kebetulan, seperti haus korban, gempa besar pun memilih kota tua dan miskin seperti Bam. Jajang Jamaludin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus