MENDUNG yang menggelantung di langit Jakarta seolah menembus dinding sebuah ruang Pengadilan Jakarta Selatan. Bayangan gelapnya membekap wajah-wajah pengunjung (sebagian besar wartawan) yang menghadiri sidang gugatan Marimutu Sinivasan terhadap Koran Tempo, Selasa pekan lalu. Diketuai oleh I Dewa Gde Putra Jadnya, majelis hakim tiba-tiba mengayunkan putusan yang cukup mengejutkan. Mereka mengabulkan salah satu gugatan, yakni meminta pihak Koran Tempo menyampaikan permintaan maaf lewat sejumlah media elektronik dan cetak.
Dinyatakan oleh majelis hakim, Koran Tempo terbukti melanggar Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Di situ tertulis, pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. "Pemberitaan itu tidak sesuai dengan kenyataan dan telah melanggar norma agama dan kepatutan," begitu putusan yang dibacakan anggota majelis hakim secara bergiliran.
Gugatan Sinivasan dilayangkan oleh Sinivasan enam bulan silam lewat kantor pengacara Otto Cornelis Kaligis. Gugatan itu ditujukan pada Pemimpin Redaksi Koran Tempo, Bambang Harymurti, dan PT Tempo Inti Media Harian. Bersama 18 perusahaan di bawah bendera Grup Texmaco yang dipimpinnya, Sinivasan menuding Koran Tempo, melalui berita-berita yang pernah dimuatnya, me- lakukan kampanye sistematis untuk menghancurkan, mencemarkan nama baik, dan membunuh karakternya. Akibatnya, perusahaan yang dikelolanya mandek dan dijauhi investor.
Dalam berkas gugatan, Sinivasan menyodorkan bukti 64 tulisan Koran Tempo sejak Januari hingga April 2003. Sebagian besar tulisan itu menyoroti penyelesaian utang Texmaco kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Pada waktu bersamaan dan dengan alasan serupa, bos Texmaco juga menggugat pihak Majalah TEMPO. Beberapa waktu lalu, gugatan ini telah diputus oleh majelis hakim Pengadilan Jakarta Pusat. Gugatan tersebut ditolak karena dinilai kabur.
Hanya, kali ini majelis hakim Peng- adilan Jakarta Selatan mengeluarkan putusan yang berbeda terhadap kasus Koran Tempo. Mereka menilai pemberitaan harian ini telah menempatkan penggugat pada posisi yang sangat terpuruk. Padahal Texmaco, menurut hakim, me-rupakan pionir pabrik tekstil dan baja yang memiliki berbagai penghargaan dan prestasi yang sudah dikenal baik di kalangan nasional maupun internasional.
Akhirnya, hakim memutuskan agar tergugat meminta maaf dan memulihkan nama baik Sinivasan. Permintaan maaf itu harus dimuat satu halaman penuh pada 20 surat kabar, 12 majalah, dan 9 stasiun televisi yang redaksionalnya ditentukan penggugat. Gugatan lainnya, berupa ganti rugi sebesar US$ 51 juta dan permintaan sita jaminan aset Koran Tempo, tidak dikabulkan oleh majelis hakim.
Uniknya, majelis hakim juga membuat putusan tambahan. Mereka menjerat pihak Koran Tempo dengan uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 10 juta per hari jika lalai menyampaikan permintaan maaf. Hal ini membuat pihak Koran Tempo semakin kecewa. "Semestinya hakim bersikap pasif dalam perkara perdata. Kalau tidak ada dalam gugatan, tidak bisa ditambahkan dalam putusan," ujar Atmajaya Salim, pengacara Koran Tempo.
Kejanggalan lain, hakim tidak teliti dalam memutus perkara. Menurut Atmajaya, dalam persidangan sulit dibuktikan bahwa tergugat telah mengalami ke- rugian akibat pemberitaan Koran Tempo. Selain itu, pemberitaan Koran Tempo tersebut sebenarnya telah memenuhi unsur-unsur jurnalistik yang baku, termasuk adanya cover both sides. Lagi pula, tulisan-tulisan itu dimuat demi membela kepentingan umum, salah satu dari fungsi pers. "Utang yang diambil Texmaco itu berasal dari bank milik negara, artinya itu uang rakyat. Pers berkewajiban untuk memberitakannya," kata Atmajaya.
Dengan sejumlah alasan itu, akhirnya pihak Koran Tempo memutuskan me-ngajukan banding.
Pihak Texmaco juga mengajukan upaya hukum yang sama dengan alasan berbeda. Menurut seorang pengacaranya, Andhika Yudistira, putusan hakim masih belum memuaskan kliennya. Soalnya, jika pemberitaan Koran Tempo dinilai melanggar hukum, seharusnya hakim menyetujui tuntutan ganti rugi yang diajukan Sinivasan. "Bukan kami tak puas dengan hanya permohonan maaf, tapi pemberian ganti kerugian seharusnya satu paket dengan perbuatan melawan hukum yang diputuskan hakim," katanya.
Hanya, di mata ahli komunikasi Andi Muis, kekeliruan justru terletak pada penilaian bahwa Koran Tempo telah melakukan perbuatan melawan hukum. Dia melihat adanya kekurang-tepatan hakim dalam menggunakan Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Pers buat memutuskan perkara tersebut. Soalnya, "Beleid itu hanya bisa menjerat pers jika ada pelanggaran dalam hal kesusilaan yang ber-sangkut-paut dengan pornografi," ujar guru besar Universitas Hasanuddin tersebut.
"Menghormati asas praduga tak bersalah" yang terkandung dalam ayat itu, menurut Andi Muis, juga lebih ditujukan pada orang yang dalam proses pengadilan. Sementara itu, saat diberitakan Koran Tempo, Sinivasan tidak dalam posisi seperti itu.
Adanya sejumlah kejanggalan tersebut juga membuat Lembaga Bantuan Hukum Pers ikut bersuara. Menurut direktur lembaga itu, Misbahudin Gasma, hakim sama sekali tidak mempertimbangkan fungsi pers sebagai kontrol sosial. Itu sebabnya ia meminta agar Mahkamah Agung menyelidiki putusan tersebut.
Apa reaksi sang hakim sendiri? Ketika ditemui TEMPO seusai membacakan putusan, Hakim Putra Jadnya tidak mau berkomentar. "Tidak ada wawancara," ujarnya setengah berteriak sambil melangkahkan kakinya menuju kantornya. Di luar ruang pengadilan, langit masih tampak mendung.
Juli Hantoro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini