Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Bila Komputer Sebagai Terdakwa

Kejahatan komputer meluas di berbagai negara. Hukum pidana terlambat merangkum kejahatan tersebut. Di Indonesia dikenakan pasal antikorupsi. Ada pro dan kontra tentang UU khusus kejahatan komputer.

24 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEJAHATAN, kini memasuki komputerisasi. Penangkalnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, misalnya, kini sekonyong-konyong bagai barang rongsokan. Para pembuat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu, di akhir abad ke-19, tentu tak membayangkan bahwa seratus tahun kemudian akan ada kejahatan yang dilakukan melalui komputer. Bahkan hukum pidana yang ada di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pun belum menyinggung kejahatan dengan "mesin ajaib" itu. Seperti dikatakan Direktur Pengawasan BNI 46 Pusat, Kukuh Basuki, yang perusahaannya baru saja jadi korban kejahatan modern itu, "Sudah terjadi gap antara kejahatan dengan teknologi canggih itu dan undang-undang pidana yang ada." Dan itu bukan hanya di Indonesia saja. Amerika Serikat, negara tempat komputerisasi tumbuh, juga sangat terlambat merevisi hukumnya untuk menanggulangi semua kemungkinan jelek dari komputer. Baru tiga tahun yang lalu, negara itu menelurkan undang-undang yang mengatur perkara di sekitar ini. Di sana dinyatakan bahwa setiap tindak yang secara tidak sah masuk ke komputer pemerintah untuk mengambil data, informasi keuangan, atau segala sesuatu yang yang dianggap berharga, adalah perbuatan kriminal. Pada perundang-undangan lain, juga diancam hukuman berat orang yang dengan maksud jahat masuk dengan password ke komputer milik orang lain. Semua kejahatan komputer itu di Amerika diancam dengan hukuman 1 tahun penjara sampai 10 tahun penjara, atau denda US$ 5.000 sampai US$ 10.000. Berbeda dengan Amerika, Inggris tidak memiliki perangkat hukum yang lengkap untuk menghadapi kejahatan komputer yang sudah mulai masuk ke Inggris pada tahun 1960-an. Di negara itu, baru ada sebuah undang-undang yang berhubungan dengan komputer, yaitu data protection act, yang melindungi data yang berada di komputer milik orang lain. Tampaknya, sebagai negara common law, Inggris memang lebih mengandalkan yurisprudensi ketimbang undang-undang, termasuk untuk kejahatan komputer. Di Jepang, ketertinggalan hukum pidana dibanding kecanggihan teknologinya juga tidak terhindarkan. Sampai kini belum satu pun lahir undang-undang yang secara khusus bisa menangkal kejahatan komputer. Tapi karena kejahatan komputer itu semakin hari semakin meningkat, baik jumlah maupun kecanggihannya, pihak pemerintah mulai merasa perlu melahirkan undang-undang khusus untuk itu. Bagaimana di Indonesia? Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, Teuku M. Radhie, mengatakan bahwa lembaganya sudah mengkaji undang-undang khusus untuk kejahatan komputer sejak tiga tahun lalu. Hanya saja, katanya, sampai saat ini belum ada ahli yang khusus mempersiapkan kejahatan komputer itu dalam tata hukum pidana baru nanti. Radhie memperkirakan, "Kejahatan komputer itu akan masuk pasal-pasal penggelapan, bukan korupsi." Kejaksaan, yang membawa kasus kejahatan komputer di BNI New York yang pekan ini mulai disidangkan memang tidak mempunyai pilihan lain dalam menuntut terdakwa kecuali dengan undang-undang konvensional, yaitu undang-undang antikorupsi undang-undang yang bisa menjerat siapa saja bila melakukan kejahatan yang merugikan keuangan negara. Pasal yang sama juga ditembakkan kejaksaan ketika kasus kejahatan komputer pertama kali, di BRI Yogya, dibawa ke sidang. Kebetulan memang di kedua kasus itu, korban kejahatan adalah bank-bank milik pemerintah. Alasannya cukup praktis. "Kami tak melihat dengan apa kejahatan itu dilakukan, kata Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus, Himawan. "Yang penting apa perbuatannya." Dengan hanya melihat bentuk kejahatan, tanpa mempersoalkan dengan alat yang dipakai dalam kejahatan itu, kejaksaan bersikap seperti menghadapi kasus pembunuhan: tidaklah penting apakah pembunuhan itu dilakukan dengan pisau atau dengan pistol. Begitu pula di dalam korupsi uang bank pemerintah: perbuatan kriminal itu pada dasarnya sama, baik dilakukan dengan menilap langsung dari brankas atau dengan menyulap instruksi lewat komputer. Sebab itu, dua petugas dari Operasi Intelijen Kejaksaan Agung, Chairuman Harahap dan Togar Hutabarat, yang menangani langsung kasus itu dari penyidikan sampai ke penuntutan, tidak dibekali ilmu khusus tentang komputer. "Tugas kami hanya membuktikan bahwa perbuatan terdakwa itu korupsi. Tentang teknis komputernya kami bisa meminta bantuan saksi ahli," kata Chairuman Harahap, tamatan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung. Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus Himawan bahkan tidak merasa perlu undang-undang khusus tentang komputer dilahirkan untuk menyambut era kejahatan komputer yang sudah di ambang pintu. Apa pun bentuk kejahatan yang dilakukan dengan komputer di masa depan, menurut Himawan, bisa ditangkal dengan undang-undang yang ada. Kalau tidak, dianggap bisa repot: "Kalau nanti ada kejahatan dengan sinar laser, kita 'kan akan terpaksa pula membuat undang-undang khusus sinar laser," tambah Himawan. Maka, kejaksaan siap menggunakan pasal penggelapan bila misalnya kasus yang terjadi di BNI 46 itu menimpa usaha swasta. Pendapat bahwa undang-undang yang ada -- dengan ilmu penafsiran dan yung prudensi -- bisa diterapkan terhadap kejahatan komputer juga muncul dalam diskusi tentang kejahatan komputer yang diselenggarakan oleh Universitas Diponegoro akhir September lalu. Banyak yang berpendapat, kejahatan komputer bisa diatasi dengan undang-undang hukum pidana yang ada -- di samping mereka yang menghendaki ada undang-undang baru. Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Dr. Muladi, misalnya, berada di pihak yang tidak setuju diciptakannya sebuah undang-undang baru untuk menangkal kejahatan komputer. Alasannya, kejahatan dengan komputer itu sangat rumit dan kompleks. Selain itu, teknologi komputer terus berkembang, dan akibatnya modus operandi kejahatan itu pun akan semakin maju. "Jika kita ciptakan undang-undang secara khusus tentang kejahatan komputer, dalam waktu singkat sudah akan ketinggalan zaman," ujar Muladi. Kecuali itu, kata Muladi, kejahatan komputer belum merupakan kejahatan yang sudah meluas, hingga perlu ditangkal dengan undang-undang khusus. "Kejahatan komputer itu baru sporadis sifatnya," tambah Muladi. Padahal, katanya, ciri sebuah undang-undang baru diperlukan bila persoalan itu sudah menjadi masalah masyarakat. Berdasarkan itu, Muladi berpendapat diperlukan keberanian hakim untuk mengadili perkara kejahatan komputer dengan undang-undang yang sudah ada. Keberanian, yang diharapkan dari hakim, dalam hal ini adalah keberanian memperluas penafsiran, hingga pencurian data komputer, misalnya, bisa dianggap sebagai pencurian dengan menafsirkan kata barang di pasal pencurian, termasuk juga data komputer. Atau memperluas penafsiran kata surat dalam pasal pemalsuan menjadi juga data komputer. Muladi mengakui, penafsiran semacam itu akan dikritik sebagai pelanggaran asas legalitas dan mengurangi kepastian hukum. Tapi hakim harus berani memutuskannya sampai ke tingkat Mahkamah Agung. "Sampai saat ini saya kira hukum untuk kejahatan komputer cukup diciptakan melalui yurisprudensi," tambahnya. Tapi tidak semua ahli hukum pidana sependapat dengan Muladi. "Tidak segampang itu menganggap kejahatan komputer berupa pencurian data sebagai pencurian. Kalau dikatakan pencurian, tentu harus ada barang hilang, padahal dalam kejahatan komputer, data si pemilik masih ada kendati sudah dicuri orang lain. Begitu juga dalam kasus-kasus lain, termasuk korupsi," kata guru besar Hukum Pidana Universitas Airlangga Prof.Dr. J.E. Sahetapy, yang tetap berpendapat hukum pidana yang ada tidak siap menghadapi kejahatan komputer. (Lihat Kolom: KUHP versus Komputer). Bekas Ketua Yayasan LBHI, Mulya Lubis, yang kini melanjutkan studinya di Amerika, juga berpendapat saatnya di Indonesia dilahirkan undang-undang khusus tentang komputer. Bahkan ia menganggap perlu di KUHP ada bab khusus tentang kejahatan komputer. Alasannya: kejahatan ini termasuk white collar crime, kejahatan yang dilakukan di kalangan "orang kantoran", dan menggunakan teknik yang canggih dan rumit untuk bisa dibuktikan hanya dengan pasal-pasal pidana konvensional. Kecuali itu, katanya, ancaman di pasal-pasal pidana itu tidaklah memadai dengan akibat kejahatan yang dilakukan dengan alat elektronik itu. Kelemahan lain dari undang-undang hukum pidana yang konvensional, menurut Mulya, adalah subyek hukum pasal-pasal pidana. Undang-undang yang ada hanya menyebutkan manusia sebagai pelaku kejahatan. Hal itu bisa dilihat dari setiap pasal pidana yang dimulai dengan kata barang siapa. Padahal, dalam perkembangan ilmu dan teknologi, subyek hukum itu tidak lagi hanya manusia, tapi juga perusahaan -- dan bahkan mungkin komputer. "Bisa saja seseorang melakukan kejahatan komputer untuk keuntungan perusahaan, bukan pribadi," ujar Mulya. Penasihat Hukum Bank Duta, Gunawan Wibisono, sependapat dengan Mulya. "Sebenarnya, pelaku kejahatan komputer itu adalah komputernya sendiri," kata Gunawan. Dalam kejahatan membobolkan rekening bank melalui komputer, menurut Gunawan, si manusia hanya membantu. "Bukankah yang melakukan transfer uang itu mesin komputer?" katanya. Padahal, dalam hukum pidana, kesalahan pembantu lebih ringan ketimbang pelaku utama. Tapi bisakah komputer bertindak sendiri? Mesin pintar ini memang bisa melakukan banyak hal, tapi tak pernah punya inisiatif sendiri: selalu digerakkan manusla untuk suatu tujuan. Namun, persoalannya tak hanya sekadar perdebatan tentang apakah komputer bisa melakukan kejahatan atau tidak, melainkan juga kesulitan untuk membuktikan siapa saja manusia yang terlibat kejahatan itu. Seseorang yang melakukan kejahatan komputer dengan gampang menghilangkan jejak. Dengan peralatan canggih itu, pelaku bisa menghapus semua identitasnya pada mesin komputer yang digunakannya. Kendati jejak orang itu bisa ditemukan, kesulitan baru muncul, yaitu membuktikan apakah memang orang itu yang melakukan kejahatan tadi. Dalam kasus BNI 1946, misalnya, pihak Rudy Demsy tidaklah gampang di buktikan sebagai pelaku kejahatan itu, karena password yang dimilikinya ternyata juga digunakan oleh orang orang lain di BNI 1946 New York itu. Sementara itu, test key yang dimanfaatkannya tercatat atas nama bekas atasannya, Satoto. Artinya, tidak hanya ia yang bisa menggunakan. Berdasarkan itu semua, kasus yang pekan ini diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu mungkin tidak akan pernah ada bila saja para pelaku tidak mengaku ketika mereka baru ditangkap. Melihat sulitnya pembuktian, dan kerugian besar yang mungkin. Jadi akibatnya, "sangat diperlukan produk hukum baru yang bisa menangkal dampak kemajuan teknologi, agar dakwaan terhadap tertuduh kejahatan komputer tidak meleset," kata Prof. Sahetapy. Karni Ilyas, Happy S. (Jakarta), Budiono Darsono (Surabaya), dan Heddy Lugito (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus