Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Kiat Tiga Peneliti

2 peneliti ahli IBM masing-masing : George Bednorz dan K Alex Mueller, penemu superkonduktor dari bahan keramik mendapat hadiah nobel 1987. Sedang Sushumu Tonegawa untuk penelitian tentang kekebalan tubuh.

24 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAHUN 1987 adalah Tahun Nobel bagi IBM. Pekan lalu, dua orang peneliti pada perusahaan elektronik itu dinyatakan sebagai pemenang Hadiah Nobel untuk bidang fisika murni. Mereka adalah George Bednorz, 37 tahun, dan K. Alex Mueller, 60 tahun, penemu superkonduktor dari bahan keramik. Berkat penemuan mereka itu, kini superkonduktor mampu mengalirkan arus listrik tanpa ada energi yang terbuang sebagai panas, sehingga alat tersebut bisa dioperasikan secara ekonomis. Pada 1973, superkonduktor baru bisa beraksi pada temperatur 23 derajat Kelvin (sekitar --250 derajat Celsius). Sehingga untuk mendinginkan suhu sampai serendah itu, bahan konduktor harus dibenamkan pada helium cair. Kini, setelah penemuan Bednorz dan Mueller, suhu yang diperlukan cuma sekitar 90 derajat Kelvin (--183 derajat Celsius), dan alat itu cukup dibenamkan dalam nitrogen cair, yang harganya sepuluh kali kali lebih murah dibandingkan helium cair. Dan, sebatang konduktor keramik (berpenampang satu cm2) akan sanggup mengalirkan arus listrik sebanyak 100.000 amper tanpa ada efek panas. Tak heran bila Komite Hadiah Nobel, yang bermarkas di Institut Karolinska, Stockholm, menjatukan pilihan kepada dua peneliti ahli pada IBM itu. Superkonduktor ditemukan pertama kali oleh ahli fisika Belanda, Heike Onnes, pada 1911. Waktu itu, Onnes menemukan fenomena superkonduktor dari air raksa (Hg) yang didinginkan hingga 0 derajat Kelvin (--273 derajat Celsius). Sejak itu pula pendinginan dengan helium cair mulai populer. Tahun 1983, Bednorz dan Mueller, peneliti di Laboratorium Fisika IBM di Zurich mencoba menggunakan campuran oksida yetrium, barium, dan copper (Y-Ba-Co-O) untuk bahan superkonduktor. Ternyata, material yang mirip keramik itu banyak memberikan harapan. Pada awal 1986, kedua peneliti itu berhasil menjadikan bahan itu superkonduktif pada suhu 30 derajat Kelvin (--243 derajat Celsius). Penelitian Bednorz dan Mueller itu kemudian dikembangkan oleh banyak ahli. Awal tahun ini, misalnya, Paul C.W. Chu dari Universitas Houston berhasil mendapatkan superkonduktor yang bisa dioperasikan pada suhu 98 derajat Kelvin (--175 derajat Celsius) dengan sedikit mengubah komposisi bahan. Kini superkonduktor dinantikan kedatangannya untuk kegunaan praktis dan murah. Instalasi akselerator listrik Tevatron di Fermilab, Chicago, misalnya, telah memasang 1.000 buah superkonduktor lama. Bila konduktor lama itu diganti dengan jenis mutakhir akan diirit dana Rp 20 milyar setahun, dari penghematan listrik. Bahan superkonduktor juga dinantikan untuk menggantikan kabel pada jaringan listrik. Saat ini, dengan menggunakan kabel konvensional, tingkat kehilangan listrik mencapai 10%. Dengan memakai superkonduktor sebagai kabel, kehilangan bisa ditekan hingga mendekati nol persen. Untuk mengalirkan listrik sebesar 2.000 MW hanya diperlukan kawat superkonduktor bergaris tengah tak lebih dari 10 cm. Komputer dan peralatan canggih kedokteran diduga juga akan mengalami perombakan bentuk. Komputer-komputer besar akan segera dirampingkan, karena, dengan memakai bahan superkonduktor, arus informasi pada sistem itu bisa dialirkan secara lebih cepat. Selain itu, pemakaian bahan superkonduktor pada alat-alat kedokteran akan membuat alat-alat itu lebih akurat. Pendek kata, banyak harapan kini tertumpu pada superkonduktor. Pemenang Hadiah Nobel 1987 yang lain adalah Sushumu Tonegawa. Ia menerima penghargaan tertinggi itu untuk bidang kedokteran. Tonegawa, yang bekerja di Lembaga Kanker Massachusetts Institute of Technology (MIT), memperoleh Hadiah Nobel untuk penelitiannya tentang kekebalan tubuh. Ahli biotek lulusan Universitas California, San Diego, ini dipandang berjasa menyingkap rahasia kekebalan tubuh. Ahli rekayasa genetika warga negara Jepang ini membuktikan bahwa kekebalan tubuh manusia dapat berkembang. Pad mulanya, antibodi yang dibentuk sel-sel darah putih hanya berjumlah sekitar 70 ribu macam. Sementara itu, racun dari antigen, yang dihasilkan kuman dan virus, bisa mencapai jutaan jenis. Menurut Tonegawa, sistem pertahana tubuh ternyata punya kiat dalam menghadapi ancaman yang tak terhitung banyaknya itu. Caranya? Ilmuwan Jepang ini membuktikan bahwa antibodi -- yang bentuknya menyerupai huruf Y, dan batang atas terbuat dari rantai protein -- bisa mengubah bentuk. Jika ada antigen yang tak bisa dihancurkannya, akan ada pertukaran gugus protein di antara antibodi itu, dan diperoleh antibodi baru. Terbentuknya antibodi baru itu akan segera "dilaporkan" ke sel-sel darah putih. Lalu, secara alamiah, sel-sel darah putih itu mengalami perubahan struktur genetik guna menyesuaikan dengan tantangan baru. Segera antibodi baru diproduksi secara besar-besaran, lalu dikerahkan menjinakkan racun dari kuman baru yang masuk ke tubuh itu. Tubuh manusia dan mamalia lain, menurut penelitian Tonegawa, pada dasarnya cukup "sakti". Putut Tri Husodo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus