ATJEN memang sudah termasuk perampok "canggih". Cara dia beroperasi "sangat terhormat". Ia membuka rekening di Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Niaga Cabang Yogyakarta. Pemuda 28 tahun itu lalu menjalin kerja sama dengan "orang dalam", Salip Jamhari namanya. Kemudian, dengan mempermainkan catatan komputer, bank itu mereka bobolkan Rp 845 juta. Gampang? Setiap kali Atjen menguangkan cek kontan BRI ke Bank Niaga, bank ini mengontak ke lembaga kliring di Bank Indonesia mengecek apakah Atjen punya dana sejumlah yang tertera pada cek. Di sinilah Salip, 35 tahun, berperan penting. Jika warkat rekening Atjen masuk, licin saja lolosnya -- tanpa melewati bagian validasi, karena di-by pass-kan ke bagian pembukuan. Salip, Kepala Bagian Pembukuan, lalu masuk ke bagian pencatatan neraca yang menggunakan komputer. Di BRI itu, dia juga ahli komputer. Selain di buku, neraca dimasukkan dalam "developi" -- kertas yang merekam isi layar komputer. "Setiap kali kartu Atjen masuk, developi itu diangkat, hingga angka yang ditekan tak terekam lagi," kata sumber TEMPO di BRI Yogya. Akibatnya, jumlah yang diambil tidak mengurangi saldo simpanannya, padahal Atjen sudah tak pernah setor lagi ke BRI. Kalau ada pemeriksaan warkat cek di dalam BRI, kartu milik Atjen langsung masuk kantung Salip. Karena itu, tiap ada kliring, jawaban pihak BRI ke BI: dana cukup. Dan muluslah transfer ke Bank Niaga. Justru sudah serba oke, Atjen menarik cek kontan dan giro bilyet sampai 44 kali dan total mencapai Rp 845 juta. Apalagi neraca yang diperiksa itu biasanya yang tercantum dalam developi komputer, bukan yang tertulis pada warkat. Tapi setelah terbongkar pada 1983, Atjen harus menebus skandalnya itu, dibui 10 tahun. Lain lagi dengan bekas karyawan BNI 1946 Pusat. Dia didekati seorang oknum, untuk mengeruk keuntungan dari bank. Dalam bentuk deposito, mulanya si oknum itu menyimpan Rp 1OO.OOO. Itu berarti di tangannya ada selembar sertifikat deposito. Kemudian ia minta agar nilai Rp 100.000 diubah. Lalu si eks karyawan itu berpura-pura bersilaturahmi ke BNI Cabang Matraman. Karena masih "orang dalam" eks karyawan tadi bebas masuk ke ruang komputer untuk mengetik nilai deposito di situ. Dengan santai, uniknya, ia berhasil mengubah angka Rp 100.000 menjadi tak tanggung-tanggung: Rp 50 milyar. Dan ini sekaligus tercatat dalam memory. Bekas pegawai itu kemudian pulang dengan menenteng sertifikat deposito senilai tersebut. Langkah selanjutnya, si oknum membuka nomor rekening di Panin Bank. Di situ mereka minta, pada tanggal jatuh tempo agar "deposito" itu segera ditransfer ke Panin. Tapi pihak Panin cukup jeli. "Petugas kami curiga melihat jumlah yang begitu besar," kata Wibowo Yahya, Kepala Bagian Komputer bank itu. Konfirmasi segera dilakukan ke BNI 1946. Pimpinan bank ini tentu saja kaget. Apalai sesudah melihat nama dan jumlah angkanya cocok seperti di memory komputer. Namun, pemalsuan ini terbongkar juga. Tetapi pelakunya tak diusut, padahal sudah dilaporkan ke polisi, dan lenyap sampai sekarang. Di Amerika Serikat lain pula. Transfer uang secara elektronik, yaitu dengan menggunakan jasa komputer, meningkat dengan kecepatan 20 persen per tahun. Direktur Dinas Rahasia AS, John R. Simpson, sudah mewanti-wanti para pemakai jasa komputer. "Tahun 1985, kantor kami menerima laporan lebih dari lima ribu tindak pidana komputer. Pada tahun ini, angka itu makin mencuat," katanya. Suatu kali, biro statistik peradilan AS mencatat, yang banyak disalahgunakan pelaku kejahatan komputer itu adalah sistem EFT (Electronic Funds Transfer). Memindahkan dana dengan sistem elektronik, dan bukan dengan tangan manusia. Contohnya, ATM (Automated Teller Machine) alias mesin kasir otomat, dan TBPS (Telephone BII Payment System) yang menggunakan saluran telepon. Jenis-jenis kejahatan pada EFT ini, menurut biro statistik tadi, meliputi penggunaan tidak sah kartu EFT. Atau, si pemegang kartu EFT itu sendiri yang menyalahgunakannya. Misalnya dengan menggandakan jumlah simpanan sebenarnya. Atau manipulasi sistem EFT ini oleh "orang dalam". Dan terakhir -- paling norak membinasakan fisik alat EFT itu. Seluruh jumlah kerugian akibat kutak-katik EFT ini mencapai US$ 500 juta atau sekitar Rp 800 milyar. "Sebagian besar penipuan sistem EFT dilakukan oleh orang dalam yang tak jujur," begitu kesimpulan suatu survei terhadap 6.000 bank lebih. Kalau pelakunya orang luar, langkah pertama yang dilakukan adalah mendekati pegawai bank sasaran. Yang utama diintip: cara kerja di bank itu dan minta kode akses rekening, terutama yang jumlahnya besar. Dalam pada itu, ATM diciptakan untuk kenyamanan konsumen. Contohnya, jika seseorang bepergian, tapi ia takut membawa uang banyak, cukuplah dia membawa selembar kartu. Ketika sampai di tempat tujuan dan perlu uang kontan, ia tinggal memasukkan kartu tersebut ke mesin setinggi 1 meter -- mirip mesin penjual minuman/rokok otomatis, di pasar swalayan. Lalu ia cukup memencet tombol yang ada di mesin itu untuk menulis password, dan jumlah angka yang dikehendaki. Setelah menunggu sebentar, ble-ee-k: uang kontan pun jatuh ke tangannya. ATM juga pernah sebagai singkatan dari Alternative Theft Machine. Contohnya seperti dilakukan Robert Post. Bekas montir mesin otomatis ini membuat sebuah kartu plastik putih dan menyusun kode magnetis di atasnya, dengan bantuan mesin yang dibelinya US$ 1.800. Lalu Robert menunggu dengan sabar di depan ATM tadi. Biasanya, nasabah yang sudah menerima uang kontan membuang begitu saja lembaran tanda terima, ke kotak sampah. Robert rajin memungutinya. Dari situ ia bisa mengintip nomor rekening dan identitasnya. Beres. Dengan cara seperti ini, Robert mengantungi US$ 86 ribu, dari rekening orang lain. Lain dengan satu bank di New York yang menerima teleks (yang diprogramkan ke komputer melalui alat khusus) dari bank sentral Nigeria. Isinya: transfer uang sejumlah US$ 21 juta ke rekening beberapa bank. Siapa syak, karena teleks itu dari sebuah bank sentral, maka uang segera dikirim sesuai dengan berita perintah itu. Belakangan, setelah ketahuan kawat itu palsu, uang sudah dilarikan oleh orang yang mencairkannya di bank penerima. Di Jepang, Keisatsucho (Kepolisian Jepang) juga mencatat meningkatnya kejahatan komputer. Dari rata-rata 1-5 kasus pada 1971-1980 melompat jadi 17 kasus pada 1986. Dan kalau mau dihitung selama lima belas tahun, sejak 1971, kedapatan 83 kasus kejahatan komputer. Modus operandi-nya, terbanyak (73% dari jumlah kasus) dengan cara memasukkan data "aspal" pada komputer. Artinya, pengirim data adalah orang yang tak berhak. Kedua adalah mendapatkan data dan program secara tidak sah. Selebihnya dengan penggunaan komputer secara tidak sah, mengoreksi, atau menghapus program. Dan yang lebih "kasar" menghancurkan mesin itu. Diperkirakan, dalam satu kasus, 130 juta yen, sekitar Rp 1,6 milyar, menguap. Kenaikan kejahatan ini dimaklumi sebagai konsekuensi menaiknya konsumen komputer. Tahun 1986, 223 ribu komputer dilakoni meningkat 5,5 kali lipat dari 1977. Hampir setengah dari jumlah kasus menimpa komputer di bank, sisanya antara lain koperasi pertanian dan kantor pos. Seperti juga di Amerika, 80 persen lebih dari jumlah kasus, pelakunya adalah pegawai yang bekerja di tempat kejadian. Dan wanitanya juga tak mau kalah untuk terlibat dalam kejahatan komputer: ada 14 kasus dilakukan oleh karyawati. Salah satu jagoan cewek yang pernah populer adalah Motoko Ito, 32 tahun. Ia karyawati Bank Sanwa Cabang Ibawaki, dekat Osaka. Mula-mula, Motoko, yang sudah mengabdi 14 tahun di bank itu, membuka rekening di lima cabang bank tempatnya bekerja. Setelah nomor rekening diperoleh, Motoko memasukkan nilai 180 juta yen ke komputer bank tempatnya bekerja. Komputer itu diperintah mentransfer jumlah itu ke empat dari lima rekeningnya. Tentu angka itu fiktif. Tetapi sejak hari itu Motoko berubah jadi kaya mendadak. Pertama, ia berhasil mengambil 25 juta yen di cabang Suita yang terdekat dengan kantornya di Osaka. Sesudah itu, dia terbang ke Tokyo, untuk menarik 105 juta lagi: dari tiga cabang Sanwa. Sorenya, wanita kaya itu sudah berada di pesawat menuju Manila. Selain kejahatan di dalam bank, di Jepang, seperti juga di Amerika, mesin kasir otomatis itu jadi sasaran empuk bagi para bandit. Tercatat ada 49 ribu unit mesin itu di seluruh Jepang. Lantaran orang Jepang tergolong cashless society atau "masyarakat yang tanpa uang kontan". Sudah 112 juta lembar cash card dikeluarkan sampai akhir 1985. Ini artinya tiap orang memiliki satu kartu yang dapat digunakan untuk mengambil uang kontan sewaktu-waktu. Selama tahun 1985, sudah 757 orang yang ditangkap polisi karena menggunakan kartu orang lain atau membuat kartu palsu. Sayangnya, banyak pimpinan perusahaan belum berpikir benar tentang sistem pengamanan perangkat mutakhirnya. Dari sekitar 11 ribu perusahaan swasta yang dimintai pendapat, sebagian kecil saja yang menjaga komputernya dengan hati-hati. Misalnya, hanya 16,9% yang meletakkan komputernya di ruang khusus. Sisanya kebanyakan di ruang kerja biasa. Dan sepertiga saja dari jumlah responden yang mewajibkan tanda pengenal bila masuk ke ruang komputer. Menyadari bahaya tersebut, perusahaan asuransi The Nippon Fire and Marine Insurance Co. Ltd. (NFMI), sejak empat tahun lalu menyediakan jasa asuransi kejahatan komputer. NFMI terutama menjaring lembaga keuangan swasta dan katanya cukup laris. Namun, satu hal yang sangat tabu bagi NFMI adalah memberikan informasi apa pun tentang kliennya. Jelas, ini menyangkut kredibilitas bank tersebut. Dengan mengasuransikan berarti menunjukkan kemungkinan adanya kejahatan komputer di bank itu. Tentu nasabah ikut deg-degan, bahkan mungkin lari. Pernah, pada 1977, Tom Crowe, seorang guru komputer SMA, mewajibkan murid-muridnya mencari nilai pelajaran mereka dengan komputer milik sekolah. Kalau berhasil, siswa-siswa itu diijinkan mengubah nilai mereka sesuai dengan anggapan mereka tentang kemampuan dirinya. "Tujuan saya untuk menunjukkan betapa rawan dan tak amannya sebuah sistem komputer mana pun juga," ujar Tom. Itu kisah di Inggris. Bahkan petugas pengaman bersenjata pun tak mampu mencegah diintipnya surat-surat yang ditujukan bagi Pangeran Phillip, tahun lalu. Di sana, kejahatan komputer bukan barang baru. Contohnya, kasus Masoud Hasan Ansari. Ia dihadapkan ke pengadilan (1971) atas kejahatan yang telah dilakukannya sejak 1966. Masoud, pria Inggris keturunan India, bekerja di catering Forte sebagai karyawan keuangan. Selama sebelas tahun rupanya Masoud telah menyelipkan pembayaran-pembayaran untuk barang yang tak pernah dibelinya. Uang itu ia kirim ke rekening rekannya, Ali Quraismi. Secara tak sengaja, perbuatannya tercium ketika seorang operator komputer menemukan nomor rekening yang ganjil. Setelah dihitung-hitung untuk rekening itu, Forte telah kehilangan 40.000 poundsterling. Pengadilan mengganjar hukuman penjara 4 tahun bagi Masoud dan Ali. Bunga Surawijaya (Jakarta), S. Subagyo (Yogya), Seiichi Okawa (Tokyo), P. Nasution (Washington), Yudhi S. (London)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini