Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bandara Polonia, Medan, Jumat empat pekan lalu. Sebuah Boeing 737 kehilangan 13 baut roda depan ketika mendarat. Tersisa satu baut saja untuk menahan pesawat 60 ton itu. Ajaib, insiden itu hanya membuat kaki pesawat keseleo.
”Tim SAR” segera dibentuk. Awaknya anggota satuan pengamanan dan pemadam kebakaran bandara. Bukan untuk menolong para penumpang yang sehat walafiat, belasan orang itu bertugas mencari 13 baut yang tercecer di landasan sepanjang 2,9 kilometer. Karena kejadian itu berlangsung malam hari, tim SAR dibekali senter. Dari jauh, mereka seperti para pemburu katak.
Baru beberapa buah baut ditemukan, dari pengeras suara terdengar perintah untuk mengosongkan landasan. Ada pesawat yang hendak mengudara. Seusai pesawat lewat, mereka kembali membungkuk-bungkuk mencari baut lainnya. Tak berapa lama, datang lagi perintah kepada tim SAR baut agar menepi. Kali ini, karena ada pesawat mau mendarat. Tim SAR berhasil ”menyelamatkan” semua baut pada dini hari.
Mardjono Siswosuwarno, anggota Komite Keselamatan Transportasi Nasional (KNTK), geleng-geleng kepala menyaksikan kejadian itu. Pada saat itu, ia sedang menyelidiki insiden tersebut di dekat pesawat yang cedera. Copotnya 13 baut roda Boeing 737 sudah membikin ia terheran-heran. Polah otoritas bandara dan ”tim SAR” kian membuatnya ngenes. ”Masak, pesawat diperbolehkan lepas landas dan mendarat di landasan yang masih kotor. Ini melanggar buku teks,” ujarnya kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Tapi, ini Indonesia. Aturan penerbangan dilanggar di mana-mana, baik di darat maupun di udara. Ini juga bukan insiden pertama bersebab roda. Selama 2007, setidaknya tujuh kali ban pesawat berbagai maskapai membikin penumpang deg-degan di sejumlah bandara di Indonesia. Bersama dengan insiden lainnya—kaca yang retak di udara, badan patah seusai mendarat, sayap tak mengembang, hingga oli bocor—ada sekitar 30 insiden di paruh pertama tahun ini (lihat infografik: Jantungan).
Kecelakaan paling fatal terjadi pada 1 Januari 2007. Boeing 737 Adam Air jatuh di atas perairan Majene, Sulawesi. Sebanyak 102 orang di pesawat ini tak ketahuan rimbanya hingga sekarang—kemungkinan besar tewas. Pada 7 Maret, menyusul Boeing 737 Garuda yang membawa 140 penumpang terbakar di ujung landasan Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, sesaat setelah mendarat. Insiden ini menewaskan 22 orang.
Pantas bila masyarakat dunia habis kesabaran terhadap Indonesia. Australia yang pertama bereaksi. Maklum, warganya ikut menjadi korban tewas dalam kecelakaan di Yogyakarta. Pada April lalu, giliran Amerika Serikat menasihati warganya agar tidak bepergian di Indonesia dengan maskapai domestik.
Pada Jumat dua pekan lalu, Uni Eropa melarang semua maskapai Indonesia memasuki langit mereka. ”Mutu keselamatan penerbangan Indonesia sudah menjadi masalah serius,” ujar Michele Cercone, juru bicara Jacques Barrot, Wakil Presiden Komisi Eropa Bidang Transportasi, kepada Tempo di kantor Uni Eropa di Brussels, Belgia.
Memang, tidak ada pesawat Indonesia yang terbang ke Eropa sejak 2004. Pencekalan ini tak akan memukul dunia penerbangan Indonesia secara langsung. ”Tapi bayangkan apa yang akan terjadi akibat pencekalan ini terhadap investasi, turisme, serta reputasi kita,” ujar Rusdi Kirana, Ketua Umum Asosiasi Penerbangan Sipil Indonesia (INACA).
Dengan adanya fatwa komisi perserikatan negara Eropa itu, berarti ada larangan kepada warganya agar tidak terbang dengan pesawat Indonesia, bahkan di Indonesia sendiri. Padahal setiap tahun sekitar 800 ribu turis Eropa berkunjung. Mereka membawa masuk uang sekitar Rp 4 triliun. Diperkirakan, yang paling menderita karena pencekalan ini adalah daerah tujuan turis asing yang tidak didarati penerbangan asing seperti Maluku, Sulawesi, dan Lombok (lihat pula Jalur Melingkar di Nusantara).
”Dasar pencekalan itu data yang kedaluwarsa,” ujar Budhi Muliawan Suyitno, Direktur Jenderal Perhubungan Udara Departemen Perhubungan di Jakarta, Rabu pekan lalu. Dia mengakui tingkat kecelakaan pesawat Indonesia sangat tinggi pada Januari hingga Maret 2007. Namun, tiga bulan setelah itu, standar keselamatan sudah membaik.
Rusdi ikut menggugat. Jika yang menjadi alasan Uni Eropa adalah soal keselamatan penerbangan domestik yang rendah, ujarnya, mengapa Australia sekarang mencabut larangan warganya terbang dengan pesawat Indonesia? ”Pertanyaannya kemudian, apakah benar Australia tidak lebih aman atau kurang baik di banding Eropa,” kata Presiden Direktur Lion Air itu.
Yang paling celaka, menurut Budhi, adalah pemerintah tak merasa pernah didatangi tim audit penerbangan dari Uni Eropa. ”Dengan cara apa mereka memutuskan rapor penerbangan Indonesia,” ujarnya sembari memasang dasi yang disodorkan anak buahnya.
Ini jawaban Michele Cercone kepada Budhi. ”Memang tidak ada tim khusus yang langsung mengadakan uji kelayakan,” ujarnya di lobi gedung Le Berlaymont, kantor pusat Komisi Eropa. Tapi, tunggu dulu. Menurut Cercone, soal tidak adanya tim khusus tak mengurangi kesahihan keputusan itu.
Cercone berkisah, Komisi Eropa telah memelototi situasi penerbangan sipil di Indonesia seusai kecelakaan Adam Air pada hari pertama tahun baru. Komisi juga mengkaji dokumen yang dipasok agensi penerbangan negara anggota Uni Eropa, Amerika, dan organisasi penerbangan sipil internasional (ICAO).
Di antara dokumen itu, menurut Cercone, adalah hasil evaluasi ICAO. Organisasi penerbangan sipil internasional ini menilai otoritas penerbangan di Indonesia gagal memenuhi standar keselamatan internasional. Fakta lain yang ikut dikaji adalah turunnya peringkat penerbangan Indonesia di mata otoritas penerbangan Amerika Serikat (FAA). ”Itu semua membuat Komisi Eropa cukup punya bahan untuk mengevaluasi kinerja dan performa semua penerbangan di Indonesia,” ujar Cercone.
Bahan-bahan itu kemudian dievaluasi lagi oleh para ahli di Badan Keselamatan Penerbangan Eropa (EASA). Ini badan yang ditunjuk Komisi untuk memutuskan siapa yang masuk daftar cekal. Hasilnya, penerbangan di Indonesia memang tidak memenuhi standar Eropa. ”Karena itu Komisi Eropa memasukkan semua perusahaan penerbangan Indonesia ke kategori Annex A, yaitu penerbangan yang tidak diizinkan terbang di wilayah Eropa,” ujar Cercone. Apa kata Budhi?
Menteri Perhubungan tahun 2001 itu berkukuh, data itu tak sah karena hanya mengkaji situasi pada bulan-bulan pertama 2007. ”Saat itu rating keselamatan semua maskapai Indonesia memang rendah,” ujar Budhi. ”Indonesia kini tak sama dengan Indonesia waktu itu.”
Dia mengambil contoh hasil penilaian Australia. Australia yang belum lama ini melakukan audit kepada Garuda setelah bencana Yogyakarta memutuskan bahwa pesawat maskapai ini aman. ”Dalam pertemuan di Bali pekan lalu, Australia kembali mengatakan itu,” ujarnya. Mengapa Eropa tak melihat perbaikan ini?
Penelusuran Tempo menemukan, semua itu sebagian karena kelalaian pemerintah. Komisi Uni Eropa sebenarnya memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk membela diri. ”Tapi ini tidak dimanfaatkan,” ujar Cercone.
Kesempatan pertama datang pada 16 April 2007. Waktu itu Komisi memerintahkan Direktorat Jenderal Energi dan Transportasi Uni Eropa untuk mengirim surat permintaan keterangan kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. ”Namun tidak ada tanggapan,” ujar Duta Besar Komisi Eropa, Jean Breteche, di Jakarta, Jumat lalu.
Komisi Eropa kemudian mengirim surat kedua pada 21 Mei 2007. Isinya sama. Disebutkan pula, surat itu harus dibalas sebelum 30 Mei.
Budhi mengaku menerima kedua surat yang juga ditembuskan ke Kedutaan Besar Indonesia untuk Belgia, Luksemburg, dan Uni Eropa. ”Kami sudah menjawabnya,” ujarnya.
Namun Najib Riphat Kesoema, Duta Besar Indonesia untuk Uni Eropa, mengakui ada keterlambatan dalam membalas surat-surat tersebut. Ketika surat datang, ujar Najib kepada Tempo di Brussels, di Departemen Perhubungan sedang terjadi perombakan organisasi. Budhi, yang baru diangkat menjadi Direktur Jenderal Perhubungan Udara pada 13 Maret, juga sedang sibuk luar biasa.
Ia tengah berkeliling Australia untuk mengupayakan pencabutan larangan terbang dengan pesawat Indonesia kepada warga Australia, setelah tragedi Yogyakarta. Baru pada akhir April misi ke Benua Kanguru itu selesai.
Eh, belum lama ngaso, giliran Amerika melarang warganya terbang dengan pesawat Indonesia. Pada saat yang hampir bersamaa, ICAO yang bermarkas di Kanada juga mengeluarkan rapor merah untuk penerbangan Indonesia. Ia pun menghabiskan bulan Mei di Amerika Serikat dan Kanada. ”Pada akhir Mei kami baru kembali,” kata dia.
Masih ada sebab lain mengapa surat itu teremehkan. Menurut Najib, surat tersebut bukan peringatan. ”Surat itu hanya meminta agar pemerintah Indonesia memberikan sejumlah dokumen soal data-data perusahaan penerbangan, regulasi kelayakan terbang,” ujarnya.
Duta Besar Breteche membenarkan soal ini. Tapi surat ini baru pendahuluan dari serangkaian prosedur konfirmasi. Setelah surat-menyurat ini, bakal ada undangan untuk melakukan presentasi di depan Komite Keselamatan Eropa.
Maka, ketika Budhi berangkat ke Brussels pada 22 Juni, semua sudah terlambat. Saat itu pula Budhi menyadari bahwa Komisi melakukan penilaian dengan data yang minim. ”Kami melihat mereka sangat kurang informasi,” ujarnya.
Budhi sempat menjelaskan upaya pembenahan di Indonesia kepada Komisi. Mereka menyambut baik penjelasan pemerintah, tapi beranggapan waktunya terlalu mepet karena penjelasan tersebut mesti diberikan kepada seluruh perwakilan dari Uni Eropa. Mereka baru menyediakan kesempatan untuk presentasi menjelang Oktober, ”Pada saat daftar itu dievaluasi ulang,” ujarnya (lihat wawancara).
Harusnya, tak susah bagi Indonesia untuk keluar dari daftar hitam Eropa. Mungkin tidak untuk semua maskapai yang berjumlah 51 itu. Tapi Garuda, yang peringkatnya terbaik di Indonesia, barangkali bisa segera cabut. Kendati demikian, tiga bulan memang terlalu singkat untuk merapikan silang-sengkarut penerbangan nasional yang telah berlangsung bertahun-tahun.
Carut-marut itu berlangsung setelah liberalisasi penerbangan Indonesia. Puncaknya pada 2001, ketika Menteri Perhubungan mengeluarkan surat keputusan yang memungkinkan berdirinya maskapai baru tanpa batasan modal minimal. ”Saat itu tukang tambal ban sekalipun bisa membuka airlines,” ujar Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi dan mantan Kepala Staf Angkatan Udara, Marsekal (Purn.) Chappy Hakim.
Maskapai baru pun bermunculan, sebagian dengan armada pas-pasan. ”Waktu itu bahkan ada maskapai yang tidak memiliki pesawat. Dua buah pesawat mereka diperoleh dari leasing,” ujar Ridwan Fatarudin, Ketua Presidium Masyarakat Peduli Angkutan Udara Komersial Indonesia (PAUKI).
Mantan Direktur Utama Merpati Airlines ini menambahkan, mutu keselamatan kian buruk akibat perang tarif antarmaskapai. ”Istilah low cost carrier dipelintir jadi asal murah,” ujar Ridwan. Padahal industri penerbangan bukan bisnis dengan margin keuntungan yang besar.
Bayu Prawira Hie, Direktur Eksekutif Intellectual Business Community, mengatakan di depan peserta konferensi INACA di Bali dua pekan lalu, margin keuntungan industri ini cuma sepertiga dari margin di bisnis angkutan darat atau sepersepuluh keuntungan toko obat (apotek).
Jangan kaget jika aneka cara pun ditempuh pemilik maskapai agar tetap untung—untuk sebagiannya, agar tidak rugi besar. Salah satunya dengan mencukur biaya yang menentukan keselamatan penerbangan. Pengamat penerbangan Dudi Sudibyo pernah menyaksikan perbuatan tak patut itu.
Alkisah, suatu kali Dudi sedang berada di fasilitas simulasi terbang Garuda. Saat itu simulator disewa sebuah maskapai domestik. Enam pilot/kopilot masuk ke simulator. Dua di antaranya kemudian menjalankan simulator. Eh..., usai keduanya beraksi, lisensi diberikan kepada enam penerbang.
Sewa simulator memang mahal, sekitar US$ 400 per jam. Padahal, sekali tes perlu waktu tiga setengah jam. Dan, setiap penerbang harus melakukan empat kali tes ini per enam bulan. ”Di Garuda, biaya per pilot untuk tes ini US$ 4.800 per tahun,” ujar sumber Tempo, seorang pilot di maskapai ini.
Penerbangan kita makin semrawut saja, karena booming maskapai tidak diikuti oleh peningkatan kemampuan regulator, termasuk Direktorat Sertifikasi Kelaikan Udara. Jumlah inspektur di direktorat ini, misalnya, hanya sepersepuluh dari jumlah pesawat yang beroperasi, yang waktu itu mencapai sekitar 230 pesawat. Gaji para pengawas itu juga lebih kecil dari yang diawasi. Walhasil, seperti diakui Budhi, beberapa inspektur akhirnya malah menjadi pembela operator.
Tak mengherankan, dalam tiga tahun terakhir, tingkat kecelakaan fatal di Indonesia 15 kali di atas rata-rata dunia. Menurut kalkulasi konsultan penerbangan yang berbasis di London, Ascend, jika rata-rata kecelakaan pesawat di dunia 0,25 kejadian untuk setiap sejuta kali lepas landas, di Indonesia rasionya 3,77 untuk setiap satu juta take off.
Sejak pertengahan 2006, pemerintah sebenarnya mulai berusaha memperbaiki tingkat keselamatan penerbangan. ”Waktu itu kita menyarankan berbagai perbaikan kepada operator,” ujar Budhi. Tapi, hingga Maret lalu, program ini tak membuahkan hasil.
Kecelakaan Garuda di Yogyakarta pada awal bulan itu membuat pemerintah bersikap lebih tegas. Pada pertengahan Maret, Direktorat Sertifikasi Kelaikan Udara menggelar audit untuk semua maskapai domestik dan mengelompokkannya ke tiga kategori. ”Untuk peringkat tiga, kalau memang perlu akan dicabut sertifikat operatornya (AOC),” ujar Budhi (lihat tabel Terbaik dari yang Terburuk).
Budhi menjamin audit ini steril dari campur tangan operator. Salah satu caranya dengan menarik lebih dulu principal operation inspector (POI) dan principal maintenance inspector (PMI) yang semula ditempatkan direktorat di maskapai. ”Penggantinya adalah assign inspector yang bertindak sebagai perwakilan dari regulator,” ujarnya.
Penilaian pun dilakukan oleh 15 inspektur dan dilakukan dalam forum terbuka. ”Bisa saja terjadi penyuapan kepada penilai, tapi kemungkinannya kecil. Penilaian dilakukan dalam forum terbuka, jadi yang mencoba mendukung sebuah maskapai akan ketahuan,” kata dia.
Hasil audit yang diumumkan pada akhir Maret itu cukup menunjukkan seperti apa kualitas penerbangan Indonesia. Tidak ada operator yang masuk kategori I. Flag carrier Garuda pun hanya di peringkat II. ”Poin Garuda banyak dikurangi oleh kecelakaan di Yogyakarta dan meninggalnya pilot di pesawat,” ujar Budhi.
Bagi Dudi Sudibyo, hasil pemeringkatan itu mengisyaratkan satu hal. ”Tak ada maskapai pada kategori I memberi kesan bahwa tak ada maskapai dalam negeri yang laik terbang,” ujarnya. Demikian pula menurut Amerika, yang menyarankan warganya agar tidak terbang dengan maskapai Indonesia setelah pengumuman hasil audit tersebut.
Toh, cara ini berhasil mencambuk operator. Hasilnya terlihat pada audit tiga bulan kemudian, yang diumumkan dua pekan lalu. Sekurangnya tujuh maskapai naik kelas. Garuda masuk kategori I. Adam Air yang semula di kategori III masuk ke kategori II. Penilaian ini bisa dipercaya?
Paling tidak, dalam catatan Tempo, insiden pesawat pada April-Juni jauh berkurang dibanding Januari-Maret. Entahlah kalau ini hanya hangat-hangat tahi ayam.
Yosep Suprayogi, Untung, Yandhi, Harun, Tomi Aryanto, Asmayani Kusrini (Belgia)
Terbaik dari yang Buruk
Ingin penerbangan paling aman? Inilah hasil pemeringkatan Departemen Perhubungan pada Maret dan akhir bulan lalu.
Maskapai | Maret* | Juni* |
Garuda Indonesia Airways | 146 (2) | 168 (1) |
Merpati Nusantara Airlines | 132 (2) | 152 (2) |
Indonesia Air Asia | 128 (2) | 142 (2) |
Sriwijaya Air | 132 (2) | 140 (2) |
Pelita Air Service | 140 (2) | 140 (2) |
Trans Wisata Prima Aviation | 118 (3) | 136 (2) |
Kartika Airlines | 116 (3) | 132 (2) |
Lion Air | 122 (2) | 130 (2) |
Wing Abadi Airlines | 127 (2) | 130 (2) |
Adam Air | 117 (3) | 129 (2) |
Metro Batavia Air | 117 (3) | 128 (2) |
Mandala Airlines | 120 (2) | 124 (2) |
Trigana Air Service | 122 (2) | 127 (2) |
Travel Express Aviation Service | 121 (2) | 122 (2) |
Republic Express Airlines | 120 (2) | 120 (2) |
Riau Airlines | 120 (2) | 120 (2) |
*Skor (katagori) |
Keterangan:
- Peringkat disusun berdasarkan 20 kriteria, yang mengacu pada aturan ICAO (International Civil Aviation Organization).
- Kategori I (nilai 160-200): Telah melebihi pemenuhan peraturan keselamatan penerbangan sipil.
- Kategori II (120-159): Telah memenuhi peraturan penerbangan sipil.
- Kategori III (di bawah 120). Telah memenuhi persyaratan standar minimal keselamatan penerbangan sipil, namun didapati adanya ketidakkonsitenan dalam pelaksanaan prosedur yang sudah disetujui.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo