Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM tiga pekan terakhir ini, Gunawan Sumodiningrat mengaku resah. Ya, memang begitulah biasanya kalau sudah mengalami dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut kabar yang menyebar di kantornya, Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial, Departemen Sosial, itu diperiksa karena terlibat korupsi. ”Padahal, saya hanya dimintai keterangan,” kata pakar ekonomi dari Universitas Gadjah Mada itu.
Pada pertengahan Juni lalu, KPK memang meminta keterangan Gunawan perihal pengadaan sekitar 5.500 mesin jahit oleh Departemen Sosial. Pengadaan mesin ini merupakan bagian dari program Motorisasi Sarana Penunjang Produksi Depsos. Sasarannya para korban pemutusan hubungan kerja, khususnya di industri konfeksi. Nah, di balik pengadaan mesin itu, KPK mengendus aroma korupsi.
Gunawan dimintai keterangan karena pelaksana program itu adalah Direktorat Bantuan Sosial Fakir Miskin, yang kini dibawahinya. Ia sendiri mengaku tidak banyak tahu karena baru masuk Departemen Sosial pada 2006. ”Tapi, menurut saya, pengadaan mesin jahit itu tidak ada masalah,” katanya.
Memang, bukan hanya Gunawan yang dipanggil KPK. Sejumlah pejabat Departemen Sosial sudah dimintai keterangan sebelumnya, termasuk, antara lain, Sekretaris Jenderal Departemen Sosial Cholis Hasan, Kepala Subdirektorat Penyiapan Kondisi Sosial Sonny W. Manalu, dan staf ahli Menteri Sosial Akib Masri.
KPK turun tangan setelah sejumlah lembaga swadaya masyarakat menyerahkan segepok dokumen yang mengarah ke penyelewengan pada ”proyek mesin jahit” itu. Nilai pengadaan itu memang lumayan besar, total sekitar Rp 19 miliar. ”Satu di antara yang dipermasalahkan, pengadaan mesin itu tidak melalui tender,” kata juru bicara KPK, Johan Budi S.P.
Selain penunjukan langsung itu, KPK juga menemukan indikasi penggelembungan harga. Mesin jahit merek ”Jitu” buatan Cina itu dinaikkan harganya berlipat-lipat sehingga merugikan keuangan negara. ”Kami masih menghitung kerugiannya,” Johan menambahkan.
Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menaruh syak atas proyek itu. Menurut Adnan Topan Husodo, anggota Badan Pekerja ICW, dugaan korupsi pada proyek ini memang kental. Bahkan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah pun harus ikut bertanggung jawab.
Menurut Adnan, Bachtiarlah yang menunjuk langsung dan membuat perjanjian pengadaan mesin itu dengan PT Ladang Sutera Indonesia, agen ”Jitu” di Indonesia, pada Maret 2004. ”Itu menyalahi keputusan presiden tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang,” ujar Adnan.
Ada dua tipe ”Jitu” yang dipilih Departemen Sosial, yakni tipe Brand LSD 9990 dan Brand LSD 9990H. Semuanya diimpor dari Shanghai. Harga per unit Rp 3.248.500. ”Ini sesuai dengan informasi yang disampaikan Menteri Sosial,” kata Adnan.
Di lapangan ternyata ceritanya lain. Mesin yang datang sekitar 5.500 unit dengan nilai total sekitar Rp 18 miliar. Padahal, menurut ICW, harga mesin itu dari produsen masing-masing sekitar US$ 110 dan US$ 117 atau sekitar Rp 1,1 juta. ”Jika jumlahnya 5.500, dana yang dibutuhkan hanya Rp 6,795 miliar,” kata Adnan.
Kerugian negara bisa lebih besar jika dihitung dari tidak adanya pajak atas masuknya mesin-mesin itu. Berdasarkan permintaan Departemen Sosial, Departemen Keuangan memang membebaskan bea masuk dan pajak pertambahan nilai ribuan mesin jahit itu.
Dengan perhitungan bea masuk 20 persen, maka nilai pengadaan 5.500 mesin jahit itu hanya sekitar Rp 5,436 miliar. Dengan demikian, nilai kerugian negara tak kurang dari Rp 12 miliar. ”Nilai penggelembungannya dua ratus persen lebih dari total anggaran,” kata Adnan.
Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah membantah departemennya melakukan korupsi dalam pengadaan mesin jahit ini. ”Banyak pemberitaan yang tidak benar,” katanya. Adapun penunjukan langsung atas PT Ladang Sutera, kata Bachtiar, dilakukan karena saat itu terjadi pemecatan besar-besaran di sektor industri konfeksi. ”Saya perlu mengambil tindakan agar tidak terjadi kerawanan sosial,” katanya. ”Apalagi, waktu itu menjelang pemilu.”
Penunjukan itu pun, menurut dia, dilakukan setelah stafnya melakukan perbandingan terhadap berbagai jenis mesin jahit lain. Setelah diperbandingkan, dapatlah mesin jahit ”Jitu” yang dianggap paling tepat. Merek ini, kata Bachtiar, setara mutunya dengan merek ”Juki” buatan Jepang yang harganya sekitar Rp 6–7 juta. ”Jitu cuma Rp 3,2 juta,” katanya. ”Itu pilihan termurah.”
Bachtiar Chamsyah memastikan tak ada kerugian negara dalam proses pengadaan mesin jahit ini. ”Saya yakin tidak ada penggelembungan harga karena ada pembanding,” katanya. Karena itu, Bachtiar tak percaya temuan ICW yang menyebut harga mesin itu sekitar Rp 1,1 juta. ”Nggak mungkin, gila apa?” katanya. Bachtiar berjanji, ”Kalau saya tahu anak buah saya melakukan mark-up, akan saya pecat.”
Sampai saat ini KPK belum mengagendakan pemanggilan Bachtiar. Menurut Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan, Tumpak Hatorangan Panggabean, pemanggilan Menteri Sosial tergantung hasil penyelidikan yang kini masih terus dilakukan. ”Kami masih mengevaluasi hasil penyelidikan itu,” katanya.
Adapun PT Ladang Sutera, pengimpor ”Jitu”, kini sudah berhenti operasi. ”Sudah tiga bulan kantor tidak jalan,” ujar seorang stafnya. Kantor di kawasan Cideng Barat, Jakarta Pusat, itu memang terlihat lengang. Menurut staf itu, Direktur Lasindo, Musfar Aziz, sudah lama tak masuk kantor. Telepon selulernya juga bungkam. ”Kami sendiri tak tahu ke mana harus mencari dia.”
Dimas Adityo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo