Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MESIN jahit itu terconggok di samping dua sepeda di pojok ruangan. Berselimut plastik transparan, toh debu tetap saja menyelinap dan menempel di sekujur mesin. ”Mau diapakan lagi, wong enggak ada order,” kata pemiliknya, Sarti, warga Banaran, Karanganyar, Jawa Tengah.
Sarti memilih memakai mesin jahit lamanya yang manual. Mesin jahit berkecepatan tinggi merek Jitu, yang diterimanya dari Dinas Sosial pada 2004, menurut dia terlalu rakus makan listrik. Lagi pula, ”Sulit dioperasikan untuk order kecil-kecilan.”
Pada saat sosialisasi, kata Sarti, petugas Dinas Sosial mengatakan akan memberikan merek Juki, sama dengan mesin jahit yang pernah dipakainya di sebuah perusahaan konfeksi. ”Kalau Juki, kualitasnya dua kali lebih bagus ketimbang Jitu,” Sarti mengeluh.
Siamtari, tetangga Sarti, juga lebih senang memakai mesin biasa. Menurut Siamtari, order jahitan kerudung yang didapatnya tak akan mampu menutup tagihan listrik, karena Jitu menyedot 250 watt. Siamtari hanya kuat memakai Jitu sekitar enam bulan. ”Ini mesin jahit untuk konfeksi besar,” katanya. ”Kecepatannya tinggi sekali, sulit untuk menjahit pakaian kecil-kecil.”
Namun Siamtari tak begitu saja menelantarkan Jitu. Sebulan sekali mesin itu ia hidupkan. ”Supaya tidak rusak,” ujarnya. Setiap bulan ia juga terus menyetor Rp 5 ribu kepada pengurus Kelompok Usaha Bersama. ”Dibayar selama empat tahun,” katanya.
Menurut Kepala Dinas Sosial Kabupaten Karanganyar, Larmanto, sejak 2004 pihaknya mendapat bantuan 700 mesin dari Departemen Sosial, yang diberikan secara bertahap. Adapun setoran Rp 5.000 dari penerima mesin jahit bukanlah uang pembayaran. ”Itu iuran Kelompok Usaha Bersama, yang nanti akan dijadikan dana bergulir,” katanya. Sampai kini dana ”iuran” itu sudah terkumpul sekitar Rp 70 juta.
Rakusnya memakan setrum pula yang membuat Kamir, seorang penjahit di Medan, memilih memarkir mesin jahit dari Departemen Sosial itu. Ia kembali ke mesin biasa. ”Listrik rumah saya hanya 450 watt,” katanya. ”Kalau saya hidupkan, semua peralatan listrik yang lain harus dimatikan.”
Kamir sepakat, Jitu hanya cocok untuk perusahaan konfeksi besar atau untuk jahitan dengan pola lurus memanjang. ”Misalnya untuk menjahit gorden,” kata ayah dua anak yang sudah 25 tahun menjadi penjahit itu.
Di Padang Jitu juga ternyata tak jalan. Di kota ini Departemen Sosial membagi-bagikan 250 Jitu. Dinas Sosial setempat lalu membentuk 25 kelompok usaha bersama, yang anggotanya dari berbagai kalangan, mulai petani hingga para pengangguran.
Mereka dilatih Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk menjalankan mesin jahit itu, sekaligus diberi wawasan berbisnis. Menurut Kepala Bidang Bina Kesejahteraan Sosial Dinas Sosial Kota Padang, Rustami Arlis, dengan cara itu diharapkan kelak tumbuh industri garmen di Padang. ”Namun, karena SDM tidak memenuhi standar, program ini tersendat,” katanya. ”Banyak yang tidak bisa menjahit.”
Pemberian mesin jahit ini, kata Rustami, tak mempertimbangkan kebutuhan masyarakat. ”Terkesan hanya dari atas,” ujarnya. Mesin itu terlalu canggih. ”Padahal, kalaupun diberi mesin jahit biasa saja, belum tentu mereka bisa memakainya,” katanya. Kendati Jitu kini banyak yang cuma jadi pajangan, Rustami menjamin mesin jahit itu tak akan dilego pemiliknya. ”Mesin itu milik kelompok,” katanya, ”bukan milik perorangan.”
Imron Rosyid (Solo), Febrianti (Padang), Hambali Batubara (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo