SURAT tak sekadar sebuah cara bertegur sapa. Lewat surat, selera keindahan pun bisa diungkapkan. Lihat saja surat Adipati Arya Surya Kusuma Raganata kepada Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen di Batavia tertanggal 30 Juni 1849. Lembar surat berbahasa Melayu itu, dengan memakai huruf Arab gundul, ditulis di kertas berornamen kembang-kembang warna hijau-kuning-merah. Cantik. Surat dari bangsawan Pamekasan itu, bersama sekitar 200 surat tua lainnya, kini dipamerkan di Gedung Arsip Nasional, Jakarta. Namun, pameran untuk memeriahkan Hari Kemerdekaan ke-48 RI itu agaknya bukan untuk menonjolkan keindahan surat-surat semata. Pada pameran bertema ''Bahasa Melayu sebagai Bahasa Resmi dan Diplomasi'', yang disertai seminar dua hari, Rabu dan Kamis pekan lalu, itu diperdebatkan sejumlah soal, seperti kapan dan di mana bahasa Melayu itu tumbuh menjadi bahasa resmi di bumi Nusantara. Maka, surat-surat tua tadi, yang disimpan di Arsip Nasional, dijadikan bahan sorotan. Pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa surat, seperti terlihat dalam arsip-arsip yang dipamerkan, telah merata di seluruh Nusantara pada abad ke-18 dan ke-19. Korespondensi ''internasional'' raja-raja kecil dari Jawa, Bali, Kalimantan, Bugis, Minahasa, Gorontalo, Timor, Tidore, dan Ternate telah menggunakan bahasa Melayu, yang tentu saja diwarnai langgam lokal. Kenyataan itu, kata Nurhadi Magetsari, Kepala Arsip Nasional, menunjukkan perkembangan bahasa Melayu tidak hanya terpusat di kandangnya, sekitar Riau dan Malaysia. ''Sumbangan dari wilayah timur juga tidak sedikit,'' ujarnya. Nurhadi juga tak mengesampingkan ''jasa'' pemerintah kolonial Belanda dalam penyebaran bahasa Melayu ke seluruh Nusantara. Belanda, lanjut Nurhadi, sejak awal memilih bahasa Melayu untuk menjalin kontak ke penguasa-penguasa kecil di seantero Nusantara karena punya hambatan teknis untuk mengunakan bahasa setempat, seperti terbatasnya jumlah penerjemah. Saat yang sama, Belanda melihat bahasa Melayu telah menjadi lingua franca, bahasa pergaulan antaretnis, dan bangsawan lokal tak keberatan pula dengan pilihan itu. Maka, surat perjanjian antara penguasa Pulau Bacan, Maluku, Raja Awaluddin, dan wakil VOC, Cornelis Speelman, pada 1667, tentang monopoli perdagangan VOC di pulau itu, ditulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Arab gundul. Hampir seabad kemudian, seorang raja Timor mengirim surat dalam bahasa Melayu ke Batavia, yang isinya mengakui kekuasaan Belanda. Surat itu diawali dengan kalimat basa-basi, yang untuk zaman sekarang sulit dimengerti: Semua boleh melenyapkan dan menalikan dari perniatan kami ada setia yang tuan meng-akhirkan dan berjalan antara kami .... Bahasa Melayu dipakai pula oleh Belanda sebagai bahasa kedua dalam jajaran birokrasinya dan digunakan untuk menjalin-lakukan kontak dengan masyarakat luas. Prof. G.Y.J. Manoppo-Watupongoh, ahli linguistik dari Universitas Sam Ratulangie, Manado, mencatat bahwa padri-padri Barat telah mengajarkan agama Katolik di Maluku dengan bahasa Melayu sejak 1675. Pada saat hampir bersamaan, padri Belanda juga mulai menerjemahkan Injil ke bahasa Melayu, yang kemudian diajarkan di daerah Minahasa. Pada pertengahan 1800-an, menurut catatan Prof. Manoppo-Watupongoh, pemerintah Hindia Belanda membangun 128 sekolah, merekrut 11.000 siswa, dan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Tak aneh bila kemudian bahasa ini diterima sebagai bahasa nasional Indonesia. PTH dan BB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini