Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bayi diare & penyair pasar

Salman rushdie, penulis ayat-ayat setan, dan fadia faqir, pengagumnya, sebagai orang yang insensitif. inggris menerapkan standar ganda dalam pelarangan penerbitan buku.

28 Agustus 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAHABAT saya Rushdy Siers, penyair Afrika Selatan turunan Bugis-Arab, tinggal di Cape Town. Dia berumur sekitar 45 tahun, aktivis gerakan anti-apartheid, pernah dua kali masuk tahanan, dan partai politik African National Congress. Anaknya sudah gadis-gadis dewasa. Penganut paham Marx ini dialektis, latar belakang filsafatnya kuat, tangkas berdebat, dan penganjur gigih teori evolusi Darwin. Ketika kecil di District Six ia fasih membaca Quran, dalam umur matang sekarang tidak salat, dan hidupnya bebas. Menjelang Ayat-Ayat Setan (AAS) terbit, dalam rangka promosi Salman Rushdie akan datang ke Cape Town. Salman direncanakan menginap di rumah Rushdy Siers, yang ketika itu ketua Persatuan Pengarang Afrika Selatan cabang Cape Town. Rushdy Siers suka karya-karya Salman. Sebelum Salman datang, penerbit London mengirim sebuah buku AAS untuk dibahas Rushdy Siers dalam media massa setempat. Rushdy terkejut membaca AAS. Pengagum Salman ini, tokoh kebebasan ekspresi dan pejuang anti-apartheid, kini berbalik sikap. Dia muak pada AAS dan artikel tinjauan bukunya mengkritik Salman. Rushdy punya sejumlah alasan dalam kritiknya. Kata kunci kesimpulan utamanya ialah bahwa Salman insensitif. Salman Rushdie mati-rasa. Salman batal datang dan AAS dilarang pemerintah Afrika Selatan. *** Fadia Faqir, 37, novelis perempuan Yordania yang kini bermukim di London ketika ke Jakarta awal Agustus ini mengemukakan komentar mengenai novel AAS. Ringkasnya, pertama dia bilang AAS adalah novel yang menarik. Yang kedua, pembakaran buku itu membuat citra buruk kaum muslim dan Islam. Yang ketiga, kebebasan berekspresi sakral dan penting. Dan keempat, Islam tidak akan terluka hanya karena satu buku itu. Saya setuju bahwa Islam tidak akan terluka hanya karena satu buku itu. Kesejajaran lain yang bisa ditarik, juga Islam tidak akan terluka hanya karena (tiga misal saja dari contoh yang banyak) hak asasi orang Palestina direnggutkan, proses demokratisasi Aljazair dijegal, dan Bosnia dibelasan habis- habisan. Di sini terletak perbedaan yang luar biasa besar. Diperlukan kepekaan untuk dapat ikut merasakan kepedihan ini. Fadia Faqir, walaupun muslimah, tampaknya dalam hal ini insentitif. Pembakaran buku AAS ''membuat citra buruk bagi kaum muslim dan Islam'', tapi Faqir tidak menyebut-nyebut sikap mendua yang hipokrit dari administrasi Margaret Thatcher. Di Britania agama Kristen dilindungi undang-undang terhadap penghinaan, sedangkan Islam tidak. Ini standar ganda pertama. Di negeri yang orang sangka kebebasan ekspresi dijunjung tinggi itu, ternyata buku Spy Catcher dilarang, dan sebuah majalah porno-lunak yang memuat gambar perempuan bugil dengan wajah (dipasang) Lady Di juga dilarang. Ini standar-ganda kedua. Kedua standar-ganda yang bersuluh matahari bergelanggang mata orang banyak ini adalah karena pemerintah Inggris tidak menghargai sensitivitas akidah umat Islam setempat. Tapi sensitivitas keamanan nasional dan kerabat keraton dihormati. Dan citra pemerintah Inggris yang bopeng karena standar ganda yang berganda ini dibungkus rapi oleh pers dunia yang erat bekerja sama. Fadia Faqir sudah membaca AAS dan menganggap novel itu menarik. Atas dasar cuma 1/8 dari buku itu ''menyentuh Islam'' (50 dari 400 halaman), dia mengajari kita ''buku itu harus dilihat secara keseluruhan''. Saya sudah dua kali membaca novel AAS itu. Rasanya, saya seperti duduk di sebuah ruang tamu yang banyak orang, dan ada tamu yang membawa bayi. Karena salah makan, bayi itu berak mencret. Hawa dalam ruangan jadi busuk karenanya. Walaupun feses bayi itu jauh kurang dari 1/8 volume ruang tamu, gas busuk diare mendominasi seluruh udara dalam ruangan sehingga semua orang menutup lubang hidung. Cuma yang tidak sensitif, yaitu orang yang susunan saraf dalam selaput lendirnya rusak, yang tidak memijit cuping hidung. Kalaupun harus disebut bahwa novel AAS menarik, mungkin yang mencuat adalah gambaran rasa rendah diri Salman Rushdie terhadap orang kulit putih, dan bagaimana dia mencerca Inggris berikut masyarakat dan pemerintahannya, tempat tinggalnya sebagai imigran, dan lahannya mencari makan. Amerika pun dia umpat. Kompensasi rasa mindernya itu terasa pada cercaan dan tampak dalam sikap menyesuai-nyesuaikan diri sebagai orang bekas jajahan di negara penjajahnya. Gaya pertukangan penulisannya terampil rapi, dan bahasa Inggris bagaikan tanah liat yang dapat dibentuknya jadi benda tembikar apa pun. Fadia Faqir pemuja kebebasan ekspresi, dan baginya itu bukan saja ''penting'', bahkan begitu diluhurkannya sampai pada tingkat ''sakral''. Mengenai kebebasan ekspresi Salman Rushdie yang dibelanya itu, ada metafora yang sangat tepat. Saya kutipkan dari ucapan seorang kritikus sastra Pakistan (tak ingat namanya). Seorang anak muda mengarang sajak tentang (maaf) kemaluan ayah dan ibunya, lalu pergi ke pasar membacakannya dengan suara keras di depan orang banyak. Ada orang-orang di pasar yang mendengar genitalia disebut-sebut jadi sangat asyik lantas bertepuk tangan memujinya. Penyair muda ini gembira lalu dia berkeliling menadahkan kopiahnya dan hadirin memenuhinya dengan uang. Anak muda itu puas karena kebebasan ekspresinya tidak dibatasi dan dia dapat uang banyak. *** Penyair Rushdy Siers, pejuang kebebasan ekspresi sastra dan ekspresi politik di Afrika Selatan, dengan perspektif berpikirnya yang sangat Barat, pengagum Salman Rushdie, tidak setuju dan muak pada kebebasan melampau seperti yang dilakukan penyair pasar itu. Rushdy masih punya sensitivitas dalam hal ini. Novelis Fadia Faqir, feminis Arab, kerangka berpikirnya juga dengan ukuran Barat, setuju pada kebebasan melampau Salman Rushdie dalam Ayat-Ayat Setan. Merujuk pada metafora di atas, misalnya Faqir sedang belanja di sana, termasuklah dia pada orang-orang yang bertepuk tangan memuji penyair pasar yang mempersatukan orang tuanya sendiri di muka orang banyak itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus