PETERNAK unggas di desa tak perlu lagi menunggu listrik untuk menetaskan telur. Dengan lampu teplok di Desa Kroya, Pametakan, Cirebon, kini seorang peternak bisa menetaskan 6.000 telur dalam satu periode tetas dengan hasil sekitar 80% - 85%. Sementara itu, di Malang, seorang dosen Fakultas Teknik Universitas Brawijaya berhasil pula memanfaatkan sumber air panas alam untuk keperluan yang sama. Teknik lampu teplok tadi dirintis Achyar, 48, penduduk Kroya dan bekas wakil kepala desa. Percobaan dimulainya 1960, dengan menggunakan kardus sabun, kaleng cat, dop sepeda, lembaran aluminium, dan, tentu saja lampu teplok. Kardus dijadikannya semacam lemari, dan di dasarnya diletakkan bak air berukuran 40 x 40 cm, untuk menjaga kelembapan. Di atasnya dibentangkan ram bambu, tempat telur disusun. Di tengah ram bambu ditempatkan lampu, yang memancarkan panas di lembaran aluminium sekitar 8 cm di atasnya. Aluminium ini kemudian membalikkan panas kembali ke bagian atas telur, tempat embrio berada, menurut keyakinan Achyar. Achyar mempertahankan suhu 380C, angka yang ditemukannya dari termometer yang diselipkan di ketiak enthog (itik Manila) pengeram. Dalam empat hari pertama, dari 27 hari periode tetas, Achyar bisa mengetahui telur yang tidak mengandung sel betina yang telah dibuahi. Caranya, "Cukup diteropong dengan tabung kardus," katanya. Setahun kemudian, ia melakukan "modifikasi". Kaleng pemanas diganti dengan dua batang bambu, masing-masing dengan 12 sumbu, diletakkan memanjang dalam lemari, yang kini dibuat dari papan. Di pojok lemari dipasang enam termometer. Diberi nama Damar Sewu, alat ini dapat menetaskan 215 dari 350 butir telur. Ia mulai menerima pesanan. Karena banyak embrio telur mati terkena tetesan minyak tanah, Achyar memindahkan pemanas ke samping. Terakhir, melalul empat kali perubahan, pemanas dipindahkan ke dasar lemari. Pemindahan ini ternyata menghemat penggunaan minyak tanah dari 35 menjadi 20 liter. Alat baru ini, yang diberi nama LB (Lampu Bawah), mampu menampung 500-600 telur, dan dipasangi kaca di bagian depan, untuk memudahkan pengawasan. Untuk meningkatkan produktivitas, Achyar mengembangkan lemarinya menjadi rak berlapis-lapis sehmgga mampu menampung telur lebih banyak. Dalam satu periode tetas ia bisa menetaskan 80%-85% dari 6.000 telur. Day Old Duck, itik yang masih berusia harian, dijualnya Rp 500 per ekor (betina) dan Rp 75 per ekor (jantan). Ia juga memimpin Zamrud Egg, kelompok penetas telur beranggotakan 50 orang. Setiap pekan kelompok ini menetaskan 10.000 butir telur. Berbeda dengan Achyar adalah usaha Ir. Masduki, dosen FT Universitas Brawijaya. Dengan memanfaatkan sumber air panas di Senggoriti, daerah wisata sekitar 25 km dari Malang, Masduki merancang kotak penetas telur unggas. "Prinsipnya, alat ini bisa menetaskan telur semua jenis unggas," ujarnya. Kalau Achyar bereksperimen dengan merogoh kocek sendiri, Pak Dosen mendapat bantuan Menteri P dan K Rp 1 juta. Masduki, pada mulanya, tidak tega melihat sumber air panas itu dipakai hanya untuk mandi. Ia lalu merancang kotak 60 x 60 x 60 cm, kemudian mengalirkan air panas melingkar dan ke bawah rak yang tersusun di dalam kotak tersebut. Untuk meratakan suhu, 340-37OC, pipa berdiameter 1 mm yang mengantarkan air panas tadi diberi 30 lubang pada tiap rak. Harganya, bila dibuat sendiri, Rp 50 ribu per kotak. Perkakas Masduki memang belum mencapai hasil kolosal, seperti punya Achyar. Tetapi, menurut rencananya, "Kotak ini sudah siap untuk diaplikasikan tahun depan." Masduki membuat sebuah versi lain yang bisa memanfaatkan panas bumi. "Seperti api bumi yang ada di Sampang, Madura," katanya. Kelebihan kotak Achyar dibanding karya Masduki, ia tidak tergantung pada desa-desa yang kebetulan berdekatan dengan panas bumi. Alatnya pun mudah dibuat sendiri oleh peminat. Tidak adakah faktor kegagalannya? "Ada," kata Achyar. Ia pernah gagal total ketika pertama kali mencoba LB. "Ternyata, kardus yang saya pakai sebagai penyekat bekas kotak pestisida."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini