LOMBA teknologi tinggi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet ternyata tidak hanya berlangsung di ruang angkasa. Juga di bawah permukaan air. Saat ini, kedua negara superpower itu masing-masing berusaha meningkatkan keandalan dan kemampuan melacak kapal selam, kendaraan yang terbukti masih layak memasuki era perang nuklir. Perlombaan ini menghadapkan para ahli yang saling bertentangan dalam tujuan dan kepentingan. Kelompok pertama berusaha mencapa teknik piawai di bidang penyamaran. Kelompok lainnya memutar otak untuk menciptakan alat pelacak dengan kemampuan maksimal. Amerika memang pantas berpikir keras. Soalnya, dalam kesiapan di bawah air, mereka ketinggalan dariSoviet. Seperti dikatakan Walter Sullivan dalam New York Times, pekan lalu, "Sampai sekarang kapal selam Soviet yang dilengkapi rudal masih mampu bersembunyi untuk jangka waktu yang cukup panjang." Dalam perbandingan kekuatan, AS juga kalah. Perkiraan tahun lalu menyebutkan, Soviet memiliki 69 kapal selam yang dilengkapi rudal penjelajah, 49 di antaranya bertenaga nuklir. Di samping itu, negara tersebut juga mempunyai 204 kapal selam penyergap, 56 di antaranya bertenaga nuklir. Sebaliknya, AS memiliki 90 kapal selam penyergap, dan hanya 80 Yang bertenaga nuklir. Teknologi kucing-kucingan mutakhir ini akan melibatkan program komputer, optik fiber, laser, dan gelombang suara berfrekuensi tinggi. Prinsipnya, sebetulnya, tetap kuno. Yaitu berusaha mencari kapal selam musuh melalui gelombang suara yang diteruskan arus air. Karena itu, usaha pertama ialah "membungkus" badan kapal, dengan material pengedap. Dulu, kapal selam Sonet begltu ributnya, sehingga sistem pelacakan AS dari Atlantik Utara dan Pasifik Utara mampu menentukan lokasinya dalam radius 40 km dan dari jarak ribuan km. Kemudian Soviet berbenah. Kapal selam Alfa mereka, misalnya, dibuat dari titanium, dan mampu menyelam sampai seribu meter - dua atau tiga kali lebih dalam dari kemampuan kapal selam AS. Untuk menghindari pelacakan sonar, Soviet membungkus kapalnya dengan bahan karet. AS, di pihak lain, membuat desain mesin dengan vibrasi rendah, dan desain lambung yang menekan turbulensi. Beberapa kapal seiam dilengkapi pula dengan "pembuat suara", yang bisa dilempar ke luar kapal dan bekerja pada jam yang ditentukan, untuk mengacaukan sistem pelacak lawan. Studi penyamaran ini melibatkan juga Institut Teknologi Massachusetts (MIT). Studi MIT, antara lain, menyarankan cara "menaburi dasar laut dengan rangkaian detektor suara". Dengan cara ini, seberkas optik fiber berbentuk rambut dalam kabel tipis akan berfungsi sebagai transmisi. Ia meneruskan isyarat dari sejumlah sensor suara ke frekuensi dengan bentangan luas. kata ini kemudian dikirimkan, entah ke kapal selam yang menarik rangkaian panjang hidrofon peka suara, atau melalui sensor suara ke stasiun darat. Kata putus mengenai data itu diberikan oleh komputer. Perangkat inilah yang menentukan apakah sumber suara tadi memang kapal selam, kapal dagang, atau hanya seekor ikan paus . Pekerjaan ini tentu saja ruwet. Setiap jenis kapal memiliki ciri khas dalam kombinasi suara sistem tenaga pendorong, sistem pompa, getaran lambung, bahkan ulakan air yang ditinggalkannya. Komputer tadi dengan sendirinya dibekali dengan khazanah suara bawah air yang bukan main lengkapnya. Awal bulan ini, angkatan laut AS mencatat kemajuan dengan berhasilnya percobaan transmiter ELF (extremely low frequency) di Wisconsin. Dengan sistem ini, "Kami bisa berbicara denan kapal selam yang sedang berada 120 meter di bawah permukaan ,laut, dan berjalan demgan kecepatan 16 ,knot, hal yang belum pernah dilakukan selama ini," kata Paul V. Bergschneider, insinyur yang bertugas di stasiun Clam Lake. Artinya, kapal selam tadi tidak lagi perlu muncul ke permukaan - cara yang selama ini membuat ia lebih cepat ketahuan. Sistem ini meliputi antena 45 km di Wisconsin, dan antena 90 meter di Michigan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini