BAGAIMANA caranya membuat sketsa bagan, atau rumus lewat
telepon?
Soal ini kini dipecahkan dengan scribophone. Ini pesawat telepon
baru buatan Philips (Belanda) yang dapat mengirim suara dan
gambar dua dimensi (2-D) secara simultan.
Selasa, 26 September lalu, pesawat telepon itu diresmikan
penggunaannya dalam percakapan lewat satelit antara Belanda dan
Belgia, dan antara Belanda dan Indonesia. Berbicara dari Belanda
sana, Sekretaris Negara bidang Lalu Lintas dan Pelayaran, Ny. N.
Smit-Kroes. Rekan bicaranya di Jakarta adalah Dubes Belanda, R.
de Lavalette. Ia berbicara langsung dari pesawat telepon di
rumah resminya di Jl. Diponegoro No. 39.
Hadir dalam acara inaugurasi sore hari itu adalah wakil Dirjen
Postel, wakil Menteri Riset dan Teknologi, serta sejemput
wartawan dan orang-orang Kedubes Belanda. Dan, tentu saja para
teknisi Philips. Mereka sibuk di sela-sela kamera TV dan kabel
telepon yang untuk sementara ditutup karpet saja. Telepon sang
dubes nampak dilengkapi semacam oscillograaf berlayar hijau dan
wadah tulis elektronis khusus untuk menyiarkan pesan-pesan
tertulis.
Prinsip kerja telepon cakap & tulis itu hampir sama seperti
telepon biasa. Hanya saja, spektrum suara percakapannya yang
lebarnya 3000 Hertz itu (400-3400 Hz) di tengah-tengah dibelah
dan diselipi gelombang pemikul data (data channel) selebar 200
Hz saja. Pencangkokan ini terjadi pada frekwensi 1800 Hz
plus-minus 100 Hz. Dengan demikian, frekwensi suara percakapan
praktis tak dirugikan. Sementara pemakaian frekwensi untuk
pengiriman pesan-pesan tertulis itupun jauh lebih hemat
ketimbang harus mengirim gambar utuh dengan memakai saluran
televisi.
Scribophone itu tentu saja berguna macam-macam. Namun harganya
masih luar biasa tinggi. Sekitar 5000 gulden untuk satu
perangkat telepon, berikut pengirim dan penerima siaran
tertulis. Ini kurang lebih sama dengan harga sebuah pesawat
penerima TV berwarna. "Sekarang ini memang masih mahal, sebab
belum diminiaturkan dan diproduksi secara massal," kata seorang
jurubicara Philips. PTT Belanda saja baru memesan 40 scribophone
untuk diperkenalkan pada langganannya di sana.
Bagi para ahli telekomunikasi Indonesia -- khususnya yang
bekerja pada laboratorium Radar 8 Microwave Departemen Elektro
ITB --telepon buatan Philips itu sebenarnya bukan baran baru.
Ide dasarnya, menurut orang Philips, dari sebuah rancangan dosen
Sekolah Tinggi Teknologi Delf (THD), Prof. Dr. ir. J.L.
Bordewijk. Rancangan itu dikenal dengan sebutan tele-blackboard
atau "papan tulis jarak jauh".
Yang menarik ialah bahwa mungkin saja asal pesawat dan lahirnya
di Bandung. ITB di bawah pimpinan Prof. Iskandar Alisyahbana,
pernah bekerjasama dengan Laboratorium Transmisi Informasi THD
yang dipimpin oleh Bordewijk. Dan seperti dijelaskan Dr Iskandar
Alisyahbana kepada TEMPO, teleblackboard pertama lahir di kampus
ITB, sebagai hasil kerjasama Indonesia-Belanda itu, empat tahun
yang lalu.
ITB kemudian mencoba menjual ide papan-tulis elektronis itu
kepada Badan Penelitian Pendidikan (kini BP3K), untuk menunjang
siaran TV Pendidikan lewat satelit. Namun BP3K rupanya belum
tertarik.
Berabenya, karena tak direstui BP3K, bantuan Menteri Kerjasama
Pembangunan Belanda waktu itu, J.P. Pronk, untuk proyek
kerjasama ITB-THD itu pun distop. ITB pun kehabisan bensin untuk
meneruskan percobaan papan-tulis elektronis itu. Kini alat itu
hanya nongkrong di ITB dan di bengkel PT Radio Frequency
Communication (RFC) Bandung.
Sambutan lain di Belanda. Maskapai Philips dengan berbagai anak
perusahaannya, segera 'mencium' kemungkinan dagang
teleblackboard itu. Bekerjasama dengan Prof. Bordewijk, prototip
alat telekomunikasi itu disempurnakan Sebab pasar terbuka: para
ahli pendidian Belanda sangat antusias terhadap papantulis ini.
THD pun memprodusir 10 teleblackboard yang lebih sempurna di
sana -- dengan seizin ITB. "Kami izinkan, karena menurut Prof.
Bordewijk itu hanya untuk eksperimen saja," begitu Dr Iskandar
Alisyahbana pernah menjelaskan kepada TEMPO. Persetujuan ITB
itu penting, sebab ada "kesepakatan tak tertulis" antara ITB dan
THD bahwa produksi massal alat itu hendaknya dilakukan di
Indonesia. Bukan di Belanda. "Maksudnya untuk memperluas
lapangan kerja dan menghidupkan industri elektronika di sini,"
ujar Iskandar waktu itu. (TEMPO, 17 Juli 1976).
Nyatanya, kini teleblackboard Philips telah digunakan dalam
pengajaran bahasa dan kebudayaan daerah Friesland di sana. Dan
setelah sukses dengan papan tulis elektronis yang hanya bisa
dipakai untuk komunikasi satu-arah, Philips, THD dan PTT Belanda
bekerjasama lagi mengembangkannya lebih lanjut menjadi
scribophone atau teken-telefoon itu. Sebagai perusahaan yang
bermotif bisnis Philips ada maksud memasarkannya juga ke
Indonesia.
Di lingkungan ITB sendiri hampir tak ada penggemar
teleblackboard. Di Tingkat Persiapan Bersama (TPB), sejak Mei
lalu -- yang digunakan ialah penggunaan siaran TV siaran
terbatas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini