Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Dibibit Di Bandung, Dibesarkan ...

Scribophone, pesawat telepon baru buatan Philips yang dapat mengirim suara dan gambar dua dimensi secara simultan, diresmikan penggunaannya dalam percakapan lewat satelit antara Belanda dan Indonesia. (tek)

14 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGAIMANA caranya membuat sketsa bagan, atau rumus lewat telepon? Soal ini kini dipecahkan dengan scribophone. Ini pesawat telepon baru buatan Philips (Belanda) yang dapat mengirim suara dan gambar dua dimensi (2-D) secara simultan. Selasa, 26 September lalu, pesawat telepon itu diresmikan penggunaannya dalam percakapan lewat satelit antara Belanda dan Belgia, dan antara Belanda dan Indonesia. Berbicara dari Belanda sana, Sekretaris Negara bidang Lalu Lintas dan Pelayaran, Ny. N. Smit-Kroes. Rekan bicaranya di Jakarta adalah Dubes Belanda, R. de Lavalette. Ia berbicara langsung dari pesawat telepon di rumah resminya di Jl. Diponegoro No. 39. Hadir dalam acara inaugurasi sore hari itu adalah wakil Dirjen Postel, wakil Menteri Riset dan Teknologi, serta sejemput wartawan dan orang-orang Kedubes Belanda. Dan, tentu saja para teknisi Philips. Mereka sibuk di sela-sela kamera TV dan kabel telepon yang untuk sementara ditutup karpet saja. Telepon sang dubes nampak dilengkapi semacam oscillograaf berlayar hijau dan wadah tulis elektronis khusus untuk menyiarkan pesan-pesan tertulis. Prinsip kerja telepon cakap & tulis itu hampir sama seperti telepon biasa. Hanya saja, spektrum suara percakapannya yang lebarnya 3000 Hertz itu (400-3400 Hz) di tengah-tengah dibelah dan diselipi gelombang pemikul data (data channel) selebar 200 Hz saja. Pencangkokan ini terjadi pada frekwensi 1800 Hz plus-minus 100 Hz. Dengan demikian, frekwensi suara percakapan praktis tak dirugikan. Sementara pemakaian frekwensi untuk pengiriman pesan-pesan tertulis itupun jauh lebih hemat ketimbang harus mengirim gambar utuh dengan memakai saluran televisi. Scribophone itu tentu saja berguna macam-macam. Namun harganya masih luar biasa tinggi. Sekitar 5000 gulden untuk satu perangkat telepon, berikut pengirim dan penerima siaran tertulis. Ini kurang lebih sama dengan harga sebuah pesawat penerima TV berwarna. "Sekarang ini memang masih mahal, sebab belum diminiaturkan dan diproduksi secara massal," kata seorang jurubicara Philips. PTT Belanda saja baru memesan 40 scribophone untuk diperkenalkan pada langganannya di sana. Bagi para ahli telekomunikasi Indonesia -- khususnya yang bekerja pada laboratorium Radar 8 Microwave Departemen Elektro ITB --telepon buatan Philips itu sebenarnya bukan baran baru. Ide dasarnya, menurut orang Philips, dari sebuah rancangan dosen Sekolah Tinggi Teknologi Delf (THD), Prof. Dr. ir. J.L. Bordewijk. Rancangan itu dikenal dengan sebutan tele-blackboard atau "papan tulis jarak jauh". Yang menarik ialah bahwa mungkin saja asal pesawat dan lahirnya di Bandung. ITB di bawah pimpinan Prof. Iskandar Alisyahbana, pernah bekerjasama dengan Laboratorium Transmisi Informasi THD yang dipimpin oleh Bordewijk. Dan seperti dijelaskan Dr Iskandar Alisyahbana kepada TEMPO, teleblackboard pertama lahir di kampus ITB, sebagai hasil kerjasama Indonesia-Belanda itu, empat tahun yang lalu. ITB kemudian mencoba menjual ide papan-tulis elektronis itu kepada Badan Penelitian Pendidikan (kini BP3K), untuk menunjang siaran TV Pendidikan lewat satelit. Namun BP3K rupanya belum tertarik. Berabenya, karena tak direstui BP3K, bantuan Menteri Kerjasama Pembangunan Belanda waktu itu, J.P. Pronk, untuk proyek kerjasama ITB-THD itu pun distop. ITB pun kehabisan bensin untuk meneruskan percobaan papan-tulis elektronis itu. Kini alat itu hanya nongkrong di ITB dan di bengkel PT Radio Frequency Communication (RFC) Bandung. Sambutan lain di Belanda. Maskapai Philips dengan berbagai anak perusahaannya, segera 'mencium' kemungkinan dagang teleblackboard itu. Bekerjasama dengan Prof. Bordewijk, prototip alat telekomunikasi itu disempurnakan Sebab pasar terbuka: para ahli pendidian Belanda sangat antusias terhadap papantulis ini. THD pun memprodusir 10 teleblackboard yang lebih sempurna di sana -- dengan seizin ITB. "Kami izinkan, karena menurut Prof. Bordewijk itu hanya untuk eksperimen saja," begitu Dr Iskandar Alisyahbana pernah menjelaskan kepada TEMPO. Persetujuan ITB itu penting, sebab ada "kesepakatan tak tertulis" antara ITB dan THD bahwa produksi massal alat itu hendaknya dilakukan di Indonesia. Bukan di Belanda. "Maksudnya untuk memperluas lapangan kerja dan menghidupkan industri elektronika di sini," ujar Iskandar waktu itu. (TEMPO, 17 Juli 1976). Nyatanya, kini teleblackboard Philips telah digunakan dalam pengajaran bahasa dan kebudayaan daerah Friesland di sana. Dan setelah sukses dengan papan tulis elektronis yang hanya bisa dipakai untuk komunikasi satu-arah, Philips, THD dan PTT Belanda bekerjasama lagi mengembangkannya lebih lanjut menjadi scribophone atau teken-telefoon itu. Sebagai perusahaan yang bermotif bisnis Philips ada maksud memasarkannya juga ke Indonesia. Di lingkungan ITB sendiri hampir tak ada penggemar teleblackboard. Di Tingkat Persiapan Bersama (TPB), sejak Mei lalu -- yang digunakan ialah penggunaan siaran TV siaran terbatas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus