DALAM salah satu lokakarya tentang pengembangan materi
pengajaran teori ekonomi yang diselenggarakall oleh Fakultas
Ekonomi Universitas Gajah Mada penulis mengemukakan contoh udara
dan air sebagai salah satu kelompok public goods, dalam arti
bahwa barang tersebut adalah milik umum. Belum sempat penulis
menyelesaikan kalimatnya, ada peserta yang memotong bahwa udara
adalah barang bebas.
Yang menarik perhatian bukan tentang terpotongnya kalimat
penulis, tetapi tentang kuatnya dasar falsafah tradisionil dalam
pengajaran teori ekonomi di negara kita. Sampai dengan tahun 1
960-an dasar falsafah ini memang mewarnai pengajaran teori
ekonomi mulai dari Sekolah Menengah Atas sampai Universitas.
Tapi mulai tahun 1960-an orang mulai bertanya-tanya tentang
kebenaran dasar falsafah ini.
Sebagai akibat kepesatan laju pertumbuhan ekonomi, terjadi pula
pengotoran udara, sungai atau lingkungan hidup pada umumnya.
Untuk mendapatkan air jernih (dan dalam jangka panjang juga
udara bersih) kini kita harus mengeluarkan biaya ekstra, yang
jumlahnya makin lama makin naik.
Karena kita menganggap udara dan sungai di sekeliling kita
sebagai barang bebas maka seenaknya pula kita memperlakukan
udara dan sungai kita. Dasar falsafah barang bebas mengakibatkan
timbulnya falsafah free disposal (pembuangan bebas).
Akibat buruknya sudah mulai terasa dinegara kita. Contoh
dramatis yang baru-baru ini kita temui adalah pencemaran air
sungai oleh suatu perusahaan di daerah Semarang sehingga
penduduk setempat tidak dapat menggunakan air sungai untuk
keperluan hidupnya. Berarti, air sungai bukan lagi barang bebas.
Orang harus mengeluarkan biaya untuk mendapatkan keperluan hidup
yang dulunya dapat diperolehnya dari air sungai dengan gratis.
Bukan Cuma Kemelaratan
Baik ditinjau dari segi produksi maupun dari segi konsumsi,
pencemaran lingkungan hidup itu dapat dianggap sebagai akibat
logis dari kemajuan ekonomi. Maka sebenarnya agak menyesatkan
pendapat yang terlaunpau menekankan, seakan-akan kemelaratanlah
satu-satunya penyebab utama masalah ekologi.
Dilema kita: tujuan pokok pembangunan ekonomi kita ialah
tingginya tingkat kegiatan produksi dan konsumsi -- sementara
laju kegiatan di kedua sektor itu pasti cepat atau lambat akan
menimbulkan masalah ekologi.
Dari segi konsumsi, pola hidup sederhana dapat dianggap sebagai
suatu cara untuk mengurangi penyebab pokok masalah ekologi.
Adapun kemelaratan, sebagai penyebab lainnya, sudah dicarikan
penyelesaiannya oleh Repelita kita.
Dengan demikian tinggal satu masalah lagi yang harus kita
pikirkan arah pemecahannya yaitu sektor produksi. Pertama-tama,
falsafah free disposal sebagai landasan berpijak kegiatan
produksi harus dibongkar. Ketentuan dalam pasal 33 UUD '45
bahwa bumi dan air termasuk udara adalah milik negara memang
benar-benar mencerminkan bahwa barang tersebut adalah public
goods. Penggunaannya tidak boleh sembarangan, termasuk
penggunaannya sebagai tempat pembuangan sampah produksi.
Tindakan ekstra yang terpaksa harus diambil oleh perusahaan
untuk mencegah terjadinya "kesembarangan" penggunaan public
goods tersebut tentu akan meninggikan biaya produksi, hingga
harga pokok barang juga naik. Tindakan ekstra itu dapat
bermacam-macam. Misalnya memasang saringan pada cerobong asap
pabrik untuk menangkap kotoran yang keluar bersama asap, atau
penyaring gas lethal yang biasa keluar dari knalpot kendaraan
bermotor.
Sebagai konsekwensi dari falsafah free disposal maka external
diseconomies yang dipancarkan oleh kegiatan produksi menjadi
beban masyarakat, yang bila dihitung nilai rupiahnya merupakan
biaya sosial. Siapa yang membayar biaya sosial ini? Tentu saja
masyarakat pula. Tapi masyarakat yang mana? Orang yang menderita
penyakit sebagai akibat dari polusi, orang yang terpaksa beli
air bersih untuk keperluan rumah tangganya, dan seterusnya,
itulah yang menanggung biaya sosial ini.
Pemerintah dapat mengambil alih beban ini dengan pembebanan
pajak kepada produsen sumber polusi dan menggunakan penghasilan
pajak ini untuk melayani kebutuhan golongan masyarakat yang
terkena external diseconomies tersebut. Dengan demikian terasa
perlunya diintroduksikannya jenis pajak baru, yang berupa pajak
ekologi, yang karena sifatnya memang lebih bersifat represif.
Untuk lengkapnya diperlukan bentuk penyelesaian lain yang
bersifat preventif yaitu dengan undang-undang yang bertujuan
untuk memperketat standar kerja untuk menghilangkan atau
membatasi pemancaran external diseconomies ke masyarakat luas.
Bila Konsumen Berkeberatan
Baik pajak ekologi maupun alat-alat pencegah penyebaran polusi
punya efek ganda. Pertama, naiknya biaya produksi yang berakibat
naiknya harga produk. Sebenarnya naiknya harga ini sudah
sewajarnya, sebab biaya produksi di sini tidak hanya mencakup
beban swasta perusahaan saja tapi juga beban sosial.
Bila ada konsumen yang berkeberatan untuk membayar harga yang
lebih tinggi tentu mereka akan memutuskan untuk tidak membeli
barang tersebut. Berkurangnya penjualan mengakibatkan
berkurangnya produksi yang akan mengurangi pancaran external
diseconomies ke dalam masyarakat, yang pada gilirannya akan
mengurangi masalah ekologi. Untuk barang-barang esensial terbuka
kemungkinan pajak ekologi yang bersifat negatif, alias subsidi.
Akibat kedua berupa pengekangan investasi dan perkembangan
kesempatan kerja. Hal ini benar-benar merupakan dilema bagi
masyarakat. Salah satu penyebab terjadinya stagflasi (kombinasi
stagnasi dan inflasi) di Amerika Serikat 4 @ 5 tahun yang lalu
dapat ditrasir kepada masalah ini.
Penyelesaian memang tergantung skala preferensi masyarakat, yang
merupakan konsensus bersama. Dalam proses pengambilan keputusan
tentang hal ini, dibutuhkan indoktrinasi ekonomi dengan merobah
dasar pengajaran ilmu ekonomi untuk disesuaikan dengan
perkembangan zaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini