Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Masalah Ekologi Dan Indoktrinasi...

Kemelaratan bukan penyebab utama masalah ekologi, kemajuan ekonomi penyebab pencemaran lingkungan hidup. Perlu diintroduksikannya pajak ekologi, karena sifatnya lebih bersifat represif.

14 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Masalah Ekologi Dan Indoktrinasi...
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
DALAM salah satu lokakarya tentang pengembangan materi pengajaran teori ekonomi yang diselenggarakall oleh Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada penulis mengemukakan contoh udara dan air sebagai salah satu kelompok public goods, dalam arti bahwa barang tersebut adalah milik umum. Belum sempat penulis menyelesaikan kalimatnya, ada peserta yang memotong bahwa udara adalah barang bebas. Yang menarik perhatian bukan tentang terpotongnya kalimat penulis, tetapi tentang kuatnya dasar falsafah tradisionil dalam pengajaran teori ekonomi di negara kita. Sampai dengan tahun 1 960-an dasar falsafah ini memang mewarnai pengajaran teori ekonomi mulai dari Sekolah Menengah Atas sampai Universitas. Tapi mulai tahun 1960-an orang mulai bertanya-tanya tentang kebenaran dasar falsafah ini. Sebagai akibat kepesatan laju pertumbuhan ekonomi, terjadi pula pengotoran udara, sungai atau lingkungan hidup pada umumnya. Untuk mendapatkan air jernih (dan dalam jangka panjang juga udara bersih) kini kita harus mengeluarkan biaya ekstra, yang jumlahnya makin lama makin naik. Karena kita menganggap udara dan sungai di sekeliling kita sebagai barang bebas maka seenaknya pula kita memperlakukan udara dan sungai kita. Dasar falsafah barang bebas mengakibatkan timbulnya falsafah free disposal (pembuangan bebas). Akibat buruknya sudah mulai terasa dinegara kita. Contoh dramatis yang baru-baru ini kita temui adalah pencemaran air sungai oleh suatu perusahaan di daerah Semarang sehingga penduduk setempat tidak dapat menggunakan air sungai untuk keperluan hidupnya. Berarti, air sungai bukan lagi barang bebas. Orang harus mengeluarkan biaya untuk mendapatkan keperluan hidup yang dulunya dapat diperolehnya dari air sungai dengan gratis. Bukan Cuma Kemelaratan Baik ditinjau dari segi produksi maupun dari segi konsumsi, pencemaran lingkungan hidup itu dapat dianggap sebagai akibat logis dari kemajuan ekonomi. Maka sebenarnya agak menyesatkan pendapat yang terlaunpau menekankan, seakan-akan kemelaratanlah satu-satunya penyebab utama masalah ekologi. Dilema kita: tujuan pokok pembangunan ekonomi kita ialah tingginya tingkat kegiatan produksi dan konsumsi -- sementara laju kegiatan di kedua sektor itu pasti cepat atau lambat akan menimbulkan masalah ekologi. Dari segi konsumsi, pola hidup sederhana dapat dianggap sebagai suatu cara untuk mengurangi penyebab pokok masalah ekologi. Adapun kemelaratan, sebagai penyebab lainnya, sudah dicarikan penyelesaiannya oleh Repelita kita. Dengan demikian tinggal satu masalah lagi yang harus kita pikirkan arah pemecahannya yaitu sektor produksi. Pertama-tama, falsafah free disposal sebagai landasan berpijak kegiatan produksi harus dibongkar. Ketentuan dalam pasal 33 UUD '45 bahwa bumi dan air termasuk udara adalah milik negara memang benar-benar mencerminkan bahwa barang tersebut adalah public goods. Penggunaannya tidak boleh sembarangan, termasuk penggunaannya sebagai tempat pembuangan sampah produksi. Tindakan ekstra yang terpaksa harus diambil oleh perusahaan untuk mencegah terjadinya "kesembarangan" penggunaan public goods tersebut tentu akan meninggikan biaya produksi, hingga harga pokok barang juga naik. Tindakan ekstra itu dapat bermacam-macam. Misalnya memasang saringan pada cerobong asap pabrik untuk menangkap kotoran yang keluar bersama asap, atau penyaring gas lethal yang biasa keluar dari knalpot kendaraan bermotor. Sebagai konsekwensi dari falsafah free disposal maka external diseconomies yang dipancarkan oleh kegiatan produksi menjadi beban masyarakat, yang bila dihitung nilai rupiahnya merupakan biaya sosial. Siapa yang membayar biaya sosial ini? Tentu saja masyarakat pula. Tapi masyarakat yang mana? Orang yang menderita penyakit sebagai akibat dari polusi, orang yang terpaksa beli air bersih untuk keperluan rumah tangganya, dan seterusnya, itulah yang menanggung biaya sosial ini. Pemerintah dapat mengambil alih beban ini dengan pembebanan pajak kepada produsen sumber polusi dan menggunakan penghasilan pajak ini untuk melayani kebutuhan golongan masyarakat yang terkena external diseconomies tersebut. Dengan demikian terasa perlunya diintroduksikannya jenis pajak baru, yang berupa pajak ekologi, yang karena sifatnya memang lebih bersifat represif. Untuk lengkapnya diperlukan bentuk penyelesaian lain yang bersifat preventif yaitu dengan undang-undang yang bertujuan untuk memperketat standar kerja untuk menghilangkan atau membatasi pemancaran external diseconomies ke masyarakat luas. Bila Konsumen Berkeberatan Baik pajak ekologi maupun alat-alat pencegah penyebaran polusi punya efek ganda. Pertama, naiknya biaya produksi yang berakibat naiknya harga produk. Sebenarnya naiknya harga ini sudah sewajarnya, sebab biaya produksi di sini tidak hanya mencakup beban swasta perusahaan saja tapi juga beban sosial. Bila ada konsumen yang berkeberatan untuk membayar harga yang lebih tinggi tentu mereka akan memutuskan untuk tidak membeli barang tersebut. Berkurangnya penjualan mengakibatkan berkurangnya produksi yang akan mengurangi pancaran external diseconomies ke dalam masyarakat, yang pada gilirannya akan mengurangi masalah ekologi. Untuk barang-barang esensial terbuka kemungkinan pajak ekologi yang bersifat negatif, alias subsidi. Akibat kedua berupa pengekangan investasi dan perkembangan kesempatan kerja. Hal ini benar-benar merupakan dilema bagi masyarakat. Salah satu penyebab terjadinya stagflasi (kombinasi stagnasi dan inflasi) di Amerika Serikat 4 @ 5 tahun yang lalu dapat ditrasir kepada masalah ini. Penyelesaian memang tergantung skala preferensi masyarakat, yang merupakan konsensus bersama. Dalam proses pengambilan keputusan tentang hal ini, dibutuhkan indoktrinasi ekonomi dengan merobah dasar pengajaran ilmu ekonomi untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus