Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Kerajaan Sriwijaya disebut fiktif oleh Budayawan Betawi Ridwan Saidi atau yang akrib disapa Babe Ridwan dalam sebuah video yang diunggah dalam akun YouTube bernama Macan Idealis. Namun, ada beberapa kontroversi mengenai Sriwijaya seperti ditulis I Nyoman Wendra yang diunggah dalam laman sejarah.upi.edu pada 18 Agustus 2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut Wendra, penelitian Sriwijaya terus berlanjut hingga saat ini, tapi hasilnya masih menimbulkan kontroversi dalam banyak hal. "Banyak masalah yang belum bisa dijawab secara meyakinkan dan tuntas," tulis dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Berikut beberapa kontroversi Sriwijaya dari berbagai sumber buku:
1. Lokasi pusat Kerajaan Sriwijaya
Dalam buku babon Sejarah Nasional Indonesia jilid II disebutkan bahwa Kerajaan Sriwijaya berkembang dari abad ke-7 sampai dengan abad ke-13. Buku yang disusun oleh Sartono Kartodirdjo dan kawan-kawan itu menyebutkan pendirinya memang belum diketahui, dan lokasi pusat kerajaan Sriwijaya terletak di daerah pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri. Kerajaan Sriwijaya kemudian runtuh pada abad ke-13.
Wendra menganggap buku tersebut kredibel karena ditulis oleh para pakar sejarah dan juga dipakai sebagai rujukan dalam memahami keberadaan kerajaan Sriwijaya. Juga penyusunannya mengikuti teori keberadaan kerajaan Sriwijaya yang dikemukakan oleh G. Coedes, sejarawan dan arkeolog Prancis.
Namun, dalam buku berjudul 'Kuntala, Sriwijaya, dan Suwarnabhumi' karya cendekiawan Slamet Muljana yang ditulis pada 1981, Slamet memiliki pandangan yang baru tentang keberadaan Sriwijaya dan agak berbeda dengan teori G. Coedes yang telah bertahan lebih dari 50 tahun.
Dengan kajian mendalam dan bukti–bukti baru serta analisis yang kritis dan tajam, menurut Slamet, Sriwijaya memang berdiri sekitar abad ke-7, kemudian runtuh pada pertengahan abad ke-9. Ada pun pusat kerajaan Sriwijaya berada di Palembang.
Sejak pertengahan abad ke–9, Slamet menuliskan, di Sumatera berkembang kerajaan Suwarnabhumi dengan lokasi pusat kerajaannya di Jambi. Kerajaan Suwarnabhumi ini oleh Slamet disamakan dengan kerajaan Malayu yang runtuh pada abad ke-14.
Ini berbeda pula dengan buku Kerajaan Siwijayakarya oleh Nia Kurnia yang ditulis pada 1983. Nia, dalam bukunya mengemukakan pendapat yang berbeda, baik dengan buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid II maupun dengan buku Kuntala, Sriwijaya, dan Suwarnabhumi.
Dalam beberapa hal, Nia memang menyetujui pendapat Slamet dan G. Coedes, tapi dalam hal lain berbeda. Menurut Nia, kerajaan Sriwijaya itu berlokasi di Palembang dan berkembang mulai abad ke-7 hingga abad ke-12. Sejak abad ke-13, Nia menuliskan, di Sumatera berkembang kerajaan Malayu–Jambi, dan kerajaan ini runtuh pada abad ke-14.
2. Bukti keberadaan Kerajaan Sriwijaya
Buku Sejarah Nasional Indonesia, Jilid II, secara kronologis menyatakan bahwa keberadaan kerajaan Sriwijaya dapat dipilah secara logis dari abad ke abad. Keberadaan kerakaan Sriwijaya pada abad ke-7, misalnya, berdasarkan pada berita yang paling awal yang datang dari tulisan I Tsing (672 M), pendeta Cina yang pernah singgah dan tinggal di Shih-li-fo-shih (Sriwijaya).
Berita dari I-tsing dapat dihubungkan dengan prasasti-prasasti Kedukan Bukit (682 M), Talang Tuo (684 M), dan Telaga Batu. Dari uraian ketiga prasasti tersebut diperoleh kesimpulan bahwa kerajaan Sriwijaya tidak di Palembang letaknya, mungkin sekali pusat kerajaan itu terletak di Minanga Tamwa, di daerah pertemuan sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri.
Sedangkan Palembang pada waktu itu, hanya sebagai kota pusat ziarah bagi pemeluk agama Buddha. Pada periode ini, Kerajaan Sriwijaya sudah menjadi pusat agama Buddha di Asia Tenggara dan tidak mustahil juga sudah menjadi salah satu kota pelabuhan yang ramai, mengingat letak geografisnya strategis dalam jalur perdagangan India dan Cina.
Sementara, penemuan prasasti Karang Brahi (686 M) menunjukkan bahwa Sriwijaya telah berhasil menaklukkan Kerajaan Melayu. Hal ini diperkuat oleh laporan dari I Tsing yang menyatakan bahwa Melayu telah menjadi kerajaan Sriwijaya.
Dan penemuan prasasti Palas Pasemah (tidak berangka tahun, tapi diperkirakan berasal dari akhir abad ke-7 M), juga menunjukkan bahwa daerah Lampung Selatan nampaknya telah dikuasai oleh kerajaan Sriwijaya. Keberadaan Sriwijaya pada abad ke-8 diketahui dengan adanya utusan dari kerajaan itu yang untuk terakhir kalinya tiba di Cina pada 742. Pada 775 -- menurut prasasti Ligor -- Raja Sriwijaya membangun sejumlah bangunan suci untuk agama Buddha.
Keberadaan kerajaan Sriwijaya pada abad ke-9 bersumber dari prasasti Nalanda (tidak berangka tahun, namun diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-9 M), berisi tentang pendirian bangunan biara di Nalanda atas permintaan Balaputra, raja Sriwijaya yang diajukan kepada raja Dewapaladewa, sekaligus meminta pula tanah-tanah sima bagi biara tersebut.
Keberadaan Sriwijaya pada abad ke-10 M, nampaknya berasal dari kitab sejarah dinasti Sung di Cina. Yang menyatakan bahwa Raja Sriwijaya (dari catatan kaki diperoleh penjelasan bahwa dalam kitab sejarah dinasti Sung dan Ming, Sriwijaya tidak lagi disebut dengan She-li-fo-she melainkan San-fo-tsi) pada 960 adalah Si-li Hu-ta-hsia–li-tan, dan pada 962 adalah Shi-li Wu-yeh.
Lebih lanjut dikatakan bahwa kedua nama itu mungkin dapat disamakan dengan Sri Udayadityawarman. Pada tahun berikutnya secara kronologis (971, 972, 974, 975, 980, 983, 988, dan 992), kerajaan Sriwijaya mengirimkan utusannya ke negeri Cina. Pada 992 itulah, menurut berita Cina, negeri San-fo-tsi mendapat serangan dari She-po (Jawa).
Hal itu dibenarkan oleh utusan dari Jawa yang juga tiba di Cina pada tahun yang sama. Utusan dari Jawa tersebut menyatakan bahwa negerinya berperang terus-menerus dengan San-fo-tsi.
Pada abad ke-11 M hingga awal abad ke-12 M Kerajaan Sriwijaya masih merupakan pusat pengajaran agama Buddha yang bertaraf internasional. Rajanya saat itu bernama Sri Sudamaniwarman dan mengaku dirinya dari keturunan Sailendra. Ia mengirim dua utusan ke Cina pada 1003.
Utusan tersebut menyampaikan berita bahwa di negerinya telah didirikan kuil Buddha yang diberi nama Cheng-t’ien–wan–shou untuk mendoakan agar kaisar Cina itu panjang umur. Utusan lainnya tiba di Cina pada 1004. Pada 1008, datang lagi satu utusan dari raja Se-li-ma-la-pi (Sri Marawi) ke Cina. Mungkin yang dimaksud adalah Sri Marawijayotunggawarman. Utusan selanjutnya datang ke negeri Cina pada tahun 1016, 1017, dan 1018.[17]
Pada abad ke-12 diketahui bahwa utusan dari San–fo-tsi yang terakhir, menurut kitab sejarah dinasti Sung, tiba pada 1178. Sedangkan dari berita Chau–ju-kua, mengutip dari buku Ling–wai-tai-ta pada 1079, dapat diketahui bahwa kerajaan San–fo-tsi mulai mundur pada akhir abad ke-12 M.
Chan-pi (Jambi) mulanya adalah Mo-lo-yeu, tidak termasuk ke dalam daerah jajahan San-fo-tsi. Bahkan pada 1082 dan 1088 Cham-pi mengirim utusan ke Cina atas kehendak sendiri. Sementara, abad ke-13 M dapat diketahui bahwa setelah untuk beberapa waktu lamanya San–fo-tsi tidak disebut–sebut dalam berita Cina, maka sekitar permulaan abad ke-13 M nama itu muncul lagi sebagai suatu negara yang cukup kuat.
Pada 1275 raja Kertanegara dari kerajaan Singasari melancarkan ekspedisi Pamalayu. Setelah peristiwa ini nama kerajaan Sriwijaya tidak terdengar lagi beritanya. Sedangkan nama Malayu telah muncul kembali sebagai pusat kekuasaan di Sumatera. Dan menurut catatan sejarah dari dinasti Ming, San–bo-tsai (San–fo-tsi) telah ditaklukkan oleh Jawa pada tahun 1367.
Namun dalam buku yang ditulis Nia berkesimpulan bahwa pendapat yang menyatakan kerajaan Sriwijaya masih ada, bahkan masih jaya hingga abad ke-13 M, tidak dapat dipertahankan lagi. Pada abad ke-13 dan ke-14 M, yang dimaksud dengan kerajaan San–fo-tsi dalam kronik–kronik Cina adalah kerajaan Malayu di Jambi.
SEJARAH.UPI.EDU | SEJARAH NASIONAL INDONESIA JILID II | KUNTALA, SRIWIJAYA DAN SUWARNABHUM | KERAJAAN SIWIJAYAKARYA