Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Konsumen cenderung akan menyimpan ponsel bekas miliknya pasca-penggunaan. Namun, di antara mereka, konsumen perempuan memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk niatnya mengumpulkan sampah smartphone.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dosen Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (Undip), Diana Puspita Sari, menemukan itu dari serangkaian penelitian yang telah dilakukannya selama ini. Dia mengembangkan model jaringan pengelolaan limbah elektronik dengan mempertimbangkan niat perilaku konsumen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut hasil penelitiannya itu pula, Diana mengungkapkan, faktor kunci yang berpengaruh terhadap niat konsumen untuk mengumpulkan sampah elektronik adalah, pertama-tama, adanya dorongan dari pemerintah (government drivers). Lalu, diikuti oleh akses ke fasilitas (facility accessibility), dan perilaku personal (attitudes).
Berdasarkan temuannya itu, dan dikutip dari keterangan tertulisnya pada Selasa, 20 Februari 2024, Diana menyatakan, "Pemerintah seharusnya membuat regulasi yang mengatur, mengawasi, dan menyediakan fasilitas pengelolaan limbah elektronik.”
Diana mencontohkan studinya untuk Provinsi DI Yogyakarta. Wilayah ini, menurut Diana, membutuhkan 30 titik primary collection center dengan jarak maksimal 11,2 kilometer dari konsumen. Pengangkutan dari primary collection center menuju secondary collection center dilakukan setiap bulan dengan 4 rute pengangkutan.
"Peluang usaha pasar secondhand dapat dipertimbangkan dalam penyusunan jaringan karena ada sebesar 44 persen konsumen produk secondhand di Indonesia," kata ahli rantai suplai berkelanjutan dan operation research di Teknik Industri itu menambahkan.
Dosen Fakultas Teknik Undip, Diana Puspita. Dok. Humas Undip
Penelitian Diana menemukan bahwa keputusan membeli produk ponsel bekas juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya harga, kualitas, dan pendapatan. Jika dilihat hubungannya dengan jenis kelamin dan pendidikan, keputusan pembelian produk ponsel bekas didominasi oleh laki-laki berpendidikan menengah ke bawah.
Lalu, untuk praktik daur ulang sampah ponsel bekas, Diana merekomendasikan praktik formal seperti yang telah dilakukan di negara maju. Praktik formal disebutnya membutuhkan investasi besar namun memberikan keuntungan yang lebih besar juga, selain lebih kecil dampak lingkungannya dibandingkan praktik informal.
Seorang karyawan memilah baterai lama untuk diekstraksi di sebuah pabrik penambangan perkotaan di Gunsan, Korea Selatan, 2 April 2018. Pekerja memilah-milah tumpukan baterai lithium-ion dari ponsel dan laptop bekas. REUTERS/Kim Hong-Ji
“Tapi mengkolaborasikan jalur pengelolaan formal dan informal juga akan sangat menguntungkan supply chain jika bisa berjalan,” ujar perempuan yang mendapatkan gelar sarjana di Unversitas Sebelas Maret (UNS), S2 di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), dan S3 di Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.
Dalam penelitiannya, Diana menggunakan metode statistik deskriptif dan Partial Least Squares untuk menganalisis perilaku dan niat konsumen. Sedangkan pengembangan model jaringan pengelolaan dilakukan dengan penentuan collection channel dan rute pengangkutan dengan metode Extended-Location Set Covering Problem, Nearest Neighbor, dan Tabu Search.
Analisis penerimaan konsumen terhadap produk secondhand melalui analisis regresi. Analisis dampak daur ulang limbah smartphone terhadap lingkungan menggunakan metode eco-cost. Dia juga menghitung profit yang akan didapat jika jaringan pengelolaan dapat berjalan dengan baik.
Secara keseluruhan, Diana telah menghasilkan 4 publikasi di jurnal internasional dan 2 publikasi proceeding seminar internasional dari serangkaian penelitiannya itu.
Pilihan Editor: Auditor Sirekap dari BRIN Akui Potensi Eror Aplikasi, Bagaimana dengan Data Beda di Situs KPU?