Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Duyung atau dugong masih dapat dijumpai pada waktu-waktu tertentu di perairan Pulau Morotai, Maluku Utara.
Duyung biasanya muncul sendiri atau berdua di perairan padang lamun untuk makan.
Masyarakat nelayan tidak pernah lagi mengganggu atau menangkap mamalia laut itu sejak ada larangan desa.
MATAHARI belum terbenam sempurna saat Mulyadi Karim Sudin, 37 tahun, sibuk menyiapkan perahu bermesin tempel 25 tenaga kuda itu. Malam itu, Kamis, 26 Oktober lalu, seperti malam sebelumnya, Mulyadi pergi melaut untuk memeriksa keramba ikan goropa atau kerapu miliknya. Yang berbeda, kali ini ia mengajak Tempo. “Kalau mau melihat duyung, paling bagus saat bulan terang,” kata warga Pulau Galo-Galo, Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara, tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Duyung (Dugong dugon) alias sapi laut atau dalam bahasa lokal dehele—ikan pemakan lamun—masih bisa dijumpai di perairan dekat pulau-pulau kecil yang tak berpenghuni di sebelah barat daya Pulau Morotai. Menurut Mulyadi, 25 tahun lalu, saban hari dugong terlihat hampir di seluruh pesisir Pulau Morotai. Ukurannya yang mencapai sekitar 3 meter membuat warga bisa melihatnya dari tepi pantai. Mamalia laut itu kerap muncul pada sore menjelang malam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekarang, Mulyadi mengungkapkan, duyung sudah tak lagi muncul setiap hari seperti dulu. Hanya pada waktu tertentu warga bisa melihatnya. Itu pun tidak di semua wilayah. Satwa ini muncul hanya di beberapa area di Pulau Morotai, seperti wilayah timur, selatan, hingga barat. Jumlahnya juga tak banyak, hanya satu-dua, dengan panjang tak sampai 3 meter. “Di beberapa lokasi, ukurannya bahkan lebih kecil,” ujar Mulyadi.
Selepas magrib, perahu mulai bergerak menjauhi Pulau Galo-Galo ke arah timur. Cuaca tampak bersahabat, laut tenang bermandikan cahaya bulan purnama. Mulyadi juga ditemani dua saudara sepupunya, Bais Kompania dan Rasyid. Keramba budi daya goropa yang berada di dekat Pulau Galo-Galo Kecil, yang tak berpenghuni, dimiliki mereka bertiga. Bais dan Rasyid dulu kuliah di salah satu perguruan tinggi di Ternate, tapi putus di tengah jalan.
Jarak Galo-Galo ke lokasi keramba sekitar 2 kilometer. Tapi tujuan pertama mereka adalah mengambil perangkap ikan atau bubu yang disebar sebelumnya. Antara satu bubu dan yang lain, ada jarak sekitar 1 kilometer. “Banyak nelayan kalau memancing suntung berjumpa duyung. Saya juga sering ketemu,” ucap Mulyadi, yang akrab dipanggil Mulkam, sambil mengendalikan laju perahunya.
Mulyadi lantas mematikan mesin perahu dan menurunkan jangkar. Perairan yang berlokasi sekitar 1 kilometer dari Pulau Galo-Galo ini memiliki kedalaman 4-5 meter. Di bawah perahu, terlihat jelas pasir putih dasar laut yang ditumbuhi lamun, mirip rumput dan tanaman rambat berdaun kecil. “Kita berhenti di sini,” tutur Mulyadi memutuskan. Rupanya, di situ hotspot untuk menunggu satwa pemalu yang sangat sensitif suara itu.
Hampir tiga perempat jam berlalu. Waktu berjalan tanpa terasa karena Internet masih bisa dijelajahi. Sinyal telepon seluler masih cukup kuat meski di tengah laut. Dari Google Maps, diketahui koordinat lokasi saat itu adalah 2o7’24,6” Lintang Utara dan 128o11’59,7” Bujur Timur. Tiba-tiba, sekitar 40 meter di depan perahu, muncul gerakan di air yang bergelombang tenang. Tampak dua sosok bulat timbul dari bawah permukaan laut. Arloji di tangan menunjukkan pukul 20.34.
Berwarna abu-abu kecokelatan, dua duyung itu tampak jelas di bawah cahaya bulan. Meski hanya tampak kepala, Bais mengenalinya sebagai dua duyung yang kerap dijumpai nelayan dalam setahun ini. “Ada bekas luka di badan salah satu duyung. Jadi mungkin itu duyung yang sama,” kata Bais, 39 tahun. Duo duyung yang diduga ibu dan anak itu pernah juga terlihat di Pulau Lolabe Kecil, Lolabe Besar, Kolorai, dan Ngele-ngele, yang merupakan lokasi padang lamun.
Entah berapa kali persisnya duyung-duyung itu muncul ke permukaan. Cuma sekitar dua detik kepala mereka naik ke atas permukaan air untuk menarik napas. Duyung mampu menahan napas di dalam air selama delapan menit. Karena tak memiliki insang, duyung naik untuk menghirup udara. Pemandangan ini berlangsung lebih dari 20 menit sebelum keduanya pergi berenang ke arah timur.
“Biasanya duyung ini akan berenang menuju Pulau Galo-Galo Kecil. Di sana juga ada padang lamun,” ujar Mulyadi. Lokasi kemunculan duyung itu berupa padang lamun dengan luas 110 hektare. Di sebelah timur padang lamun terdapat lokasi budi daya rumput laut yang dikembangkan warga Galo-Galo. Padang lamun ini juga menjadi wilayah tangkapan ikan nelayan dari Galo-Galo serta Desa Waringin dan Pilowo di Pulau Morotai.
Seekor duyung jantan dengan panjang 4 meter mati terdampar di pantai Desa Doku Mira, Morotai Timur, Pulau Morotai, Maluku Utara, 10 September 2023/Dok Warga
Padang lamun yang menjadi habitat pakan duyung juga ada di sebelah barat Galo-Galo. Luasnya lebih kecil, sekitar 20 hektare. Perairan tersebut memiliki arus yang lemah sehingga cocok untuk budi daya rumput laut. Pulau Galo-Galo adalah desa wisata yang masuk wilayah Kecamatan Morotai Selatan. Populasi pulau yang berada sekitar 13 kilometer sebelah barat laut Daruba—ibu kota Morotai Selatan—ini pada 2020 sebanyak 562 jiwa.
Setelah duyung teramati, perahu berlayar menuju keramba. Ada dua keramba yang luasnya sekitar 100 meter persegi. Di dalamnya terdapat setidaknya 87 goropa yang kini berumur enam-tujuh bulan. Ikan goropa hasil budi daya biasanya dipanen pada Oktober. Harga jualnya cukup tinggi, Rp 120 ribu per kilogram. Menurut Bais, bobot satu goropa bisa mencapai 3-4 kilogram. Ikan itu dijual ke pengepul dari Surabaya untuk diekspor ke Singapura dan Taiwan.
Baik Mulyadi, Bais, maupun Rasyid mengaku tidak pernah menangkap duyung. Mereka tahu dugong termasuk satwa yang dilindungi. Di Pelabuhan Galo-Galo juga terpampang papan pengumuman larangan menangkap dugong. “Kalau mengusir duyung yang mendekati keramba ini pernah saya lakukan,” kata Bais. “Saya usir dengan melemparinya memakai batu."
Berbeda dengan Mulyadi bersaudara yang terbilang nelayan muda, Sakir H. Arsyad, 51 tahun, adalah nelayan senior asal Desa Pilowo, Morotai Selatan. Ia mengungkapkan, pada 2000-an, nelayan sangat mudah melihat duyung. Setiap kali gelombang laut tenang, ia bisa melihatnya muncul dari balik pulau. Biasanya lebih dari tiga duyung bermain-main di padang lamun. “Dulu kalau torang (kami) mau lihat duyung cukup tunggu air turun (laut surut). Tara (tidak) perlu tunggu bulan terang (purnama),” ujar Sakir.
Duyung di Morotai memiliki ukuran tak lebih dari 2 meter dengan berat lebih dari 200 kilogram. Dulu, kata Sakir, duyung menjadi buruan nelayan karena beberapa bagian tubuhnya dipercaya memiliki keistimewaan, seperti bisa menjadi penangkal sihir. Selain itu, gigi dan tulang duyung dapat dijadikan aksesori oleh-oleh untuk keluarga di luar pulau. “Tapi, sejak ada larangan dari desa, masyarakat tidak lagi tangkap duyung,” tutur Sakir.
Kepala Desa Galo-Galo, Mugiat Kudo, mengatakan, meski duyung sering terlihat tak jauh dari desa, masyarakat tidak pernah mengganggu apalagi menjadikannya target tangkapan. Masyarakat memilih membiarkan dugong bermain di sekitar perairan desa lantaran bisa digunakan sebagai penanda dalamnya air laut. “Duyung hanya beraktivitas pada kedalaman 20 meter. Jadi memudahkan masyarakat untuk melihat kedalaman air,” kata Mugiat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Liputan ini mendapat dukungan dari International Women’s Media Foundation melalui program Round Earth Media. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bertemu Dugong Perairan Morotai"