SAWAH seluas 1 ha di Desa Padamulya, Kabupaten Bandung,
ditumbuhi dua jenis padi. Sebagian dengan IR-36, dan bagian
lainnya dengan Jareum, jenis varitas lokal. "Jareum untuk kami
makan, dan IR-36 dijual ke KUD," ujar Itoh pemilik sawah itu.
"Karena rasanya tak enak," IR-36 di kalangan petani tidak
populer. "Petani baru menanam IR-36 kalau ada ledakan hama
wereng," kata Nano Rudiana, Kepala Balai Penyuluhan Pertanian
(BPP) Solokan jeruk.
Di Kecamatan Majalaya, Ciparay, Pacet, dan Kertasari (semuanya
di Kabupaten Bandung), daerah kerja BPP Solokanjeruk, dari
10.206 ha sawah yang ada sudah 80% ditanami VUTW. Di antaranya
hanya 5% yang menggunakan IR. 36. Berbagai jenis VUTW
lain--seperti Cimandiri, Semeru, dan IR-38 juga menghasilkan
padi yang, bila dimasak, nasinya belum begitu enak, tapi masih
lumayan dibanding IR-36.
Bahkan IR-36 paling bandel terhadap serangan wereng cokelat yang
ganas dibanding VUTW lain. Dan "produksi IR36 belum ada duanya,"
kata Nano Rudiana lagi.
Di persawahan Insus, tiap hektar IR36 memproduksi 12,1 toh
gabah. Dalam MT 1981/1982 malah ada kelompok Insus di Padang
Pariaman (SumBar) dengan IR-36 memproduksi 21,55 ton gabah
kering panen per hektar. Cukup menggiurkan.
Tapi, kata Aang Kunaefi, "jangankan manusia, wereng saja tak
senang makan IR-36." Gubernur Ja-Bar itu berkelakar Agustus lalu
pada penutupan hari Krida Pertanian di Cipanas (Kabupaten
Cianjur).
Begitu pun, secara nasional penanaman IR-36 lewat program Insus
terus membengkak. Tahun 1981, arealnya seluas 2.382.000 ha, atau
lebih lima kali lipat dari dua tahun sebelumnya. Pemerintah
memang mengkampanyekan IR36 -- antara lain dengan lomba Insus
setiap tahun.
Sekarang datang kabar gembira dari Puslitbang Tanaman Pangan
Bogor. "Wereng tetap tak senang memakannya, tapi manusia pasti
senang," kata Dr. Zainuddin Harahap (47 tahun), Kepala Bidang
Pemuliaan Tanaman Pangan di Puslitbang tadi.
Dari 2 ha sawah percobaan milik balai itu di Muara, 30 km di
selatan Bogor, setengah hektar ditanami padi yang diberi nama
galur B.5323. Secara bersamaan IR-36 ditanam pula di situ. Kedua
jenis itu bertumbuh sama hijau, sama lebat buahnya, dan sama
tingginya: sekitar 80 cm.
Sepintas mata awam tak bisa membedakannya. Kedua jenis ini "baru
ketahuan berbeda setelah nasinya dimakan," ujar Harahap. Nasi
dari IR-36 terasa pera (keras mirip nasi yang dimasak kurang
air), sedang nasi dari galur B.5323 lebih pulan (lunak tapi tak
lembek).
Umur padi jenis baru ini lebih singkat 5 hari dibanding IR-36
yang mulai ditanam sampai panen berumur 117 hari. Selain itu,
bentuk batang, daun, dan butir kedua jenis padi ini sama. Dan
keduanya sama tahan terhadap hama wereng cokelat.
Dengan galur B-5323 ini, menurut Harahap yang lulusan Louisiana
State IJniversity (USA), "rasa nasi IR-36 tak jadi masalah
lagi." Inilah hasil jerih payah dari empat orang peneliti di
Puslitbang Tanaman Pangan Bogor.
Penelitian yang dipimpin Dr. Zainuddin Harahap ini menjumpai
penyebab tidak enaknya IR-36 karena berasnya mengandung kadar
amilosa terlalu tinggi (27%). Beras Cianjur (rojolele) yang
terkenal itu mengandung amilosa hanya 20%.
Dari penelitian itu diketahui pula bahwa beras mengandung
amilosa 2024% cenderung rasanya enak. Usaha berikutnya ialah
menurunkan kadar amilosa (zat pada karbohidrat yang dikandung
beras yang menimbulkan rasa pera itu) dari IR-36. Varitas ini
ditemukan IRRI (International Rice Research Institute) di Los
Banos, Filipina, 1975, dan dimasukkan ke Indonesla dua tahun
kemudian. Di Bogor itu, para ahli mengawinkan IR-36 dengan
sistem silangbalik (backcross) dengan varitas lokal yang rasanya
pulan.
Jodoh IR-36 ialah B. 2791b-Mr-1341-3, suatu galur hasil
kawin-silang beberapa jenis padi lokal yang dilakukan oleh pusat
penelitian itu. Galur itu dikawinsilangkan dengan IR-36.
Perkawinan silang-balik itu berlangsung sampai empat kali,
kemudian diperoleh galur (pravaritas) B.5323 yang kadar
amilosanya sudah turun menjadi 2223%. Walau belum menyamai
rojolele, galur ini bila ditanak sudah cukup pulan dan enak
rasanya.
Sekarang galur itu terus dikembangbiakkan di beberapa sawah
percobaan di Muara, Mojokerto, Malang, dan Ngawi. "Mudah-mudahan
Desember mendatang sudah bisa ditanam petani secara nasional,"
harap Harahap.
Varitas baru ini sudah dilaporkan kepada Menteri Pertanian.
Mungkin ada SK Menteri, dan nama baru, untuk sigalur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini