Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Cerita ringkas si "salamander"

Sutradara: peter zinner skenario: roberta katz pemain: franco nero, anthony quinn, martin balsam resensi oleh: isma sawitri.(fl)

23 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THE SALAMANDER Pemain: Franco Nero, Anthony Quinn, Martin Balsam, Sybil Danning Skenrio: Roberta Katz Sutradara: Peter Zinner LAYAR kosong. Dor! menyusul gambar pistol yang dibersihkan dari sidik jari, lalu diletakkan dalam telapak tangan korban yang jatuh terbunuh. Korban itu adalah Jenderal Pantaleone, seorang tokoh neo-facis di Italia sesudah Perang Dunia II. Sebuah kartu nama tertinggal di atas meja bergambarkan sejenis kadal dengan mahkota persis di arah kepalanya dan tulisan The Salamander di bawahnya. Kartu ini sama sekali tidak memadai untuk sebuah petunjuk. Tapi Kol. Dante Matucci (Franco Nero) dari Dinas Intelijen Carabinieri Italia, dengan semangat baja berusaha membongkar teka-teki yang ditinggalkannya. Semakin muskil rahasia yang ditemukan semakin terancam jiwanya. Film ini diangkat dari novel laris kar a Morris West dengan judul sama dan seluruh kisahnya bisa dirumuskan dalam satu kalimat usaha Matucci yang dibantu Stefanelli (Martin Balsam) untuk mencari dan menemukan jawaban teka-teki Salamander. Sutradara Peter Zinner di sini memilih film ukuran standar untuk menghidupkan pelbagai kekejaman, kelicikan dan intrik-intrik khas Italia--cara-cara yang sejak lama sudah menyatu dalam budaya politik di negeri itu dari Kekaisaran Romawi, jauh sebelum Nabi Isa lahir. Mungkin karena itu sutradara mengolahnya secara amat biasa, padahal peluang untuk dramatisasi cukup tersedia. Bagaikan film koboi Italia dengan Django-nya, seluruh kisah film ini berselubung rahasia, namun tanpa peti yang diseret, kaki mengangkang atau pistol yang bisa ditembakkan bertubi-tubi lebih dari enam kali. Di film ini juga tidak akan ditemukan sergapan-sergapan a la Hitchcock. Atau kekerasan bcrlumur darah gaya Arthur Penn dalam Bonnie and Clyde. Sebaliknya, kekerasan dan keculasan para elite Italia di sini nampak hampir-hampir dingin, hampir-hampir datar. Toh Kol. Matucci tidak melihatnya demikian. Dia terguncang ketika bossnya bilang. "Di negeri ini kawan hari ini bisa jadi musuh esok hari." Dia merasa dikebiri ketika dipaksa berlibur ke Swiss, untuk melupakan Pantaleone, kekejaman dan intrik Leporello, juga si penyiksa yang beroleh julukan "Ahli Bedah". Matucci dengan sengaja dipencilkan, dilumpuhkan, karena direkturnya punya rencana lain: berkomplot dengan Jenderal Leporello untuk kudcta kelompok ekstrim kanan. Matucci akhirnya mencari Manzini industrialis kaya raya yang tak lain adalah saudara tiri Pantaleone dan ternyata punya jaringan kekuasaan di seluruh negeri. Lebih dari itu, dia lihai, meski nampak halus. Di Roma, Manzini pura-pura hcrgabung dalam komplotan kudeta Leporello, tapi di Swiss ia merencanakan sesuatu yang lain dengan Matucci. Ada dua skenario yang disiapkan Manzini: pertama untuk kudeta, kedua untuk menggagalkan kudeta. Dalam pelaksanaannya, Matucci hampir kehilangan nyawa, sedangkan Stefanelli mati, begitu juga Roditi, pacar Nyonya Leporello. Kudeta itu secara amat manis berhasil digagalkan, tanpa pertumpahan darah. Yang begini jarang terjadi di Italia, sebuah negeri tanpa negara, menurut Matucci. Film berakhir pada kemenangan pihak Manzini (yang katanya haru sebagian), promosi untuk Matucci dan penantian di Jenewa bagi Lili, bekas spion Polandia, merangkap bekas pacar Pantaleone yang kemudian jatuh cinta pada kolonel itu. Dibandingkan dengan novel Morris West, film ini tak ubahnya ringkasan cerita yang berkisah tentang hal yang perlu-perlu saja. Sutradara menempatkan Matucci bagaikan satu sekrup dari mesin intrik Italia. Mesin itu sendiri tidak nampak terlalu mengerikan karena diperkenalkan pada penonton sematamata lewat pengalaman Matucci. Hampir seluruh adegan yang direkam dalam long shot dan medium shot terlihat bagus di mata dengan komposisi terpelihara. Sayang gambar-gambar bagus itu tidak bertenaga mata Leporello tidak nampak licik, Manzini tidak nampak hebat, ahli bedah tidak mirip algojo. Dan Matucci, satu-satunya tokoh yang mewakili sosok kemanusiaan dalam film ini, kelihatan terlalu kuat. Segi perwatakan memang kurang tajam, sedangkan setting Italia yang seru seram itu tidak terwakili. Sayang sekali. Dan ketika Matucci mengucapkan "Ciao Salamander" kepada Manzini kita pun tahu bahwa teka-teki gelap itu sudah terpecahkan. Tapi sesudah itu tidak ada oh!, ah! atau rasa nyeri. Isma Sawitri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus