THE SALAMANDER
Pemain: Franco Nero, Anthony Quinn, Martin Balsam, Sybil Danning
Skenrio: Roberta Katz Sutradara: Peter Zinner
LAYAR kosong. Dor! menyusul gambar pistol yang dibersihkan dari
sidik jari, lalu diletakkan dalam telapak tangan korban yang
jatuh terbunuh. Korban itu adalah Jenderal Pantaleone, seorang
tokoh neo-facis di Italia sesudah Perang Dunia II.
Sebuah kartu nama tertinggal di atas meja bergambarkan sejenis
kadal dengan mahkota persis di arah kepalanya dan tulisan The
Salamander di bawahnya. Kartu ini sama sekali tidak memadai
untuk sebuah petunjuk. Tapi Kol. Dante Matucci (Franco Nero)
dari Dinas Intelijen Carabinieri Italia, dengan semangat baja
berusaha membongkar teka-teki yang ditinggalkannya. Semakin
muskil rahasia yang ditemukan semakin terancam jiwanya.
Film ini diangkat dari novel laris kar a Morris West dengan
judul sama dan seluruh kisahnya bisa dirumuskan dalam satu
kalimat usaha Matucci yang dibantu Stefanelli (Martin Balsam)
untuk mencari dan menemukan jawaban teka-teki Salamander.
Sutradara Peter Zinner di sini memilih film ukuran standar untuk
menghidupkan pelbagai kekejaman, kelicikan dan intrik-intrik
khas Italia--cara-cara yang sejak lama sudah menyatu dalam
budaya politik di negeri itu dari Kekaisaran Romawi, jauh
sebelum Nabi Isa lahir.
Mungkin karena itu sutradara mengolahnya secara amat biasa,
padahal peluang untuk dramatisasi cukup tersedia. Bagaikan film
koboi Italia dengan Django-nya, seluruh kisah film ini
berselubung rahasia, namun tanpa peti yang diseret, kaki
mengangkang atau pistol yang bisa ditembakkan bertubi-tubi lebih
dari enam kali. Di film ini juga tidak akan ditemukan
sergapan-sergapan a la Hitchcock. Atau kekerasan bcrlumur darah
gaya Arthur Penn dalam Bonnie and Clyde. Sebaliknya, kekerasan
dan keculasan para elite Italia di sini nampak hampir-hampir
dingin, hampir-hampir datar.
Toh Kol. Matucci tidak melihatnya demikian. Dia terguncang
ketika bossnya bilang. "Di negeri ini kawan hari ini bisa jadi
musuh esok hari." Dia merasa dikebiri ketika dipaksa berlibur ke
Swiss, untuk melupakan Pantaleone, kekejaman dan intrik
Leporello, juga si penyiksa yang beroleh julukan "Ahli Bedah".
Matucci dengan sengaja dipencilkan, dilumpuhkan, karena
direkturnya punya rencana lain: berkomplot dengan Jenderal
Leporello untuk kudcta kelompok ekstrim kanan.
Matucci akhirnya mencari Manzini industrialis kaya raya yang tak
lain adalah saudara tiri Pantaleone dan ternyata punya jaringan
kekuasaan di seluruh negeri. Lebih dari itu, dia lihai, meski
nampak halus.
Di Roma, Manzini pura-pura hcrgabung dalam komplotan kudeta
Leporello, tapi di Swiss ia merencanakan sesuatu yang lain
dengan Matucci.
Ada dua skenario yang disiapkan Manzini: pertama untuk kudeta,
kedua untuk menggagalkan kudeta. Dalam pelaksanaannya, Matucci
hampir kehilangan nyawa, sedangkan Stefanelli mati, begitu juga
Roditi, pacar Nyonya Leporello.
Kudeta itu secara amat manis berhasil digagalkan, tanpa
pertumpahan darah. Yang begini jarang terjadi di Italia, sebuah
negeri tanpa negara, menurut Matucci. Film berakhir pada
kemenangan pihak Manzini (yang katanya haru sebagian), promosi
untuk Matucci dan penantian di Jenewa bagi Lili, bekas spion
Polandia, merangkap bekas pacar Pantaleone yang kemudian jatuh
cinta pada kolonel itu.
Dibandingkan dengan novel Morris West, film ini tak ubahnya
ringkasan cerita yang berkisah tentang hal yang perlu-perlu
saja. Sutradara menempatkan Matucci bagaikan satu sekrup dari
mesin intrik Italia. Mesin itu sendiri tidak nampak terlalu
mengerikan karena diperkenalkan pada penonton sematamata lewat
pengalaman Matucci.
Hampir seluruh adegan yang direkam dalam long shot dan medium
shot terlihat bagus di mata dengan komposisi terpelihara. Sayang
gambar-gambar bagus itu tidak bertenaga mata Leporello tidak
nampak licik, Manzini tidak nampak hebat, ahli bedah tidak mirip
algojo. Dan Matucci, satu-satunya tokoh yang mewakili sosok
kemanusiaan dalam film ini, kelihatan terlalu kuat. Segi
perwatakan memang kurang tajam, sedangkan setting Italia yang
seru seram itu tidak terwakili. Sayang sekali.
Dan ketika Matucci mengucapkan "Ciao Salamander" kepada Manzini
kita pun tahu bahwa teka-teki gelap itu sudah terpecahkan. Tapi
sesudah itu tidak ada oh!, ah! atau rasa nyeri.
Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini