AJARAN kaum sufi, kata Jalaluddin Rumi suatu hari, bukanlah
katakata gelap. Tapi adalah kata-kata jernih yang "seputih hati
yang murni." Karena itulah agaknya Teater Arena Taman Ismail
Marzuki, Kamis malam pekan lalu, bersuasana putih. Pada latar
belakang arena yang putih itu hanya ada sketsa sederhana
menggambarkan Rumi lagi duduk bersimpuh, dan sebuah tulisan
kuning emas. "Malam Rumi."
Para pembaca puisi Rumi pun berk-)stum putih-putih, duduk pada
trap yang ditutup kain hitam dengan ditumpangi permadani
warna-warni.
Peringatan penyair besar tokoh sufisme kelahiran Persia ini
sebenarnya agak terlambat, karena Rumi lahir pada 30 September
1207. Malam itu dibacakan beberapa puisi Rumi yang diambil dari
kumpulan Masnawi dan Divan Shamsi Tabriz terjemahan Abdul Hadi
W.M, Sapardi Djoko Damono dan Taufiq Ismail. Tampil sebagai
pembaca puisi (sekitar 15 puisi) malam itu Putu Wijaya, Renny
Wijaya, Amak Baljun, Rezania C. Darwis, Danarto dan Taufiq
sendiri.
Taufiq Ismail membuka suasana malam itu dengan sajak Rumi
tentang dua pilihan yang selalu ada dalam sejarah manusia: Yang
sini menarikmu pada pesona dunia yang sana menarikmu pada
kehidupan rohani yang jauh dari pesona dunia namun di tengah
gelombang dahsyat seperti ini perabu harus terus berlayar atau
karam tenggelam. Dan para sufi, kita tahu, memang dengan "mabuk
sempoyongan memilih cahaya Ilahi." Mereka tanggalkan
keduniawian, dan mereka rindukan satu kekasih, ialah Allah. Rumi
pun bernyanyi tentang kerinduan, tentang pencarian, tentang
dunia yang dia tampik. Dia menganggap yang kau nikmati di dunia
ini sebenarnya adalah khayalanmu, dan ini bukan cerita lama."
Karena itu pujangga besar Muhammad Iqbal menganggap para sufi
sebagai antisosial. Bagi para sufi, dunia bahkan formalitas
dalam beragama, adalah nonsens. Yang dicari adalah hakikat,
bertemunya kawula dan gusti. Barangkali karena keyakinan itu,
beberapa sufi--antara lain Al-Hallaj, Ahmad al-Ghazali-harus
mati sahid. Mereka dianggap berbahaya dengan kerinduan dan
pertanyaan-pertanyaan yang mengguncangkan formalisme agama.
Perjalanan Rumi sendiri mungkin menjelaskan hal itu. Lahir pada
1207. pada usia sekitar 11 tahun keluarganya terpaksa hijrah
dari Afghanistan, negerinya yang sedang dijajah bangsa Mongol.
Bahauddin, bapak Rumi, akhirnya menelap di Konya, ibukota Turki
kala itu. Di situ ia mendirikan perguruan, dan ternyata menarik
banyak murid dan pengikut. Pada 1231, ketika usia Rumi 24 tahun,
ayahnya meninggal. Perguruan dilanjutkan oleh Rumi, dan semakin
berkembang.
Tiga tahun kemudian di Konya, Rumi bertemu seorang darwis
bernama Shamsi dari Tabriz. Konon si darwis. pengembara itu,
bertanya kepada Rum siapa di antara Abu Yazid al Bistam dan Nabi
Muhamad yang paling besar. "Muhammad shallalahu alaihi
wasalam," jawab Rumi. Jawaban itulah yang menjadikan mereka
sahabat karib, baga tak terpisahkan: seperti bulan dan mata
hari.
Tapi persahabatan ini pula yang membuat Rumi lupa kepada
perguruan dan siswa-siswanya. Dan karena itu pula konon Shamsi
dibunuh oleh siswa-siswa Rumi dan yang kemudian menyembunyikan
jenasahnya. Rumi sendiri seperti tidak percaya, bahwa
mataharinya bisa lenyap. Siapa yang mengabarkan/ Bahwa Rob kekal
itu tiada lagi,/Siapa yang berani mengatakan/ Bahwa matahari
Harapan telah mati?
KESEDIIAN lumi karena kehilangan Shamsi di luar dugaan.
Jiwanya lnenerawang, mencari "jantungmu mutiara." Ia lari dan
jatuh cinta pada musik dan puisi. Dan pukulan palu sahabat
kentalnya yang lain, si pandai emas Salahuddin di telinganya
bagaikan bunyi "Allah-Allah-Allah." Dalam ekstase itu
diucapkannya kata-kata bijaksana, ya puisi itu, yang kemudian
dituliskan Salahuddin yang akhirnya terkumpul dalam Masnawi.
Apabila telah kukorbankan jiwa malaikat ini,/Aku akan menjelma
sesuatu yang tak terpahami,/O, biarlah diriku tak ada! sebab
Ketiadaan/ Menyanyikan nada-nada suci, "Kepada-Nya kita akan
kembali." Danarto mengumandangkan sajak "Evolusi" ini. Dan
Teater Arena pun bergerak dari keheningannya. Gambar slide,
tenang lukisan-lukisan Persia klasik, ditembakkan dari arah
samping dan depan. Lukisan yang penuh ornamen warna-warni itu,
ganti menciptakan suasana. Dan di bawah lampu yang temaram, di
arena, beberapa orang berpusing menirukan para darwis menari.
Sementara itu sebuah kamera film delapan mili terus menerus
menembakkan kata "Allah" pada tembok latar belakang, persis di
samping gambar Jalaluddin (artinya sang penjaga keyakinan) Rumi
yang bersimpuh itu. "Seperti berada di sebuah masjid kuno di
Timur Tengah," kata seorang pengunjung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini