Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Puisi-Puisi Sang Penjaga Keyakinan

Pembacaan puisi karya rumi alm, penyair besar tokoh sufisme kelahiran persia, di tim, oleh amak baljun, taufiq ismail, putu wijaya, renny wijaya dan danarto. (sr)

23 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AJARAN kaum sufi, kata Jalaluddin Rumi suatu hari, bukanlah katakata gelap. Tapi adalah kata-kata jernih yang "seputih hati yang murni." Karena itulah agaknya Teater Arena Taman Ismail Marzuki, Kamis malam pekan lalu, bersuasana putih. Pada latar belakang arena yang putih itu hanya ada sketsa sederhana menggambarkan Rumi lagi duduk bersimpuh, dan sebuah tulisan kuning emas. "Malam Rumi." Para pembaca puisi Rumi pun berk-)stum putih-putih, duduk pada trap yang ditutup kain hitam dengan ditumpangi permadani warna-warni. Peringatan penyair besar tokoh sufisme kelahiran Persia ini sebenarnya agak terlambat, karena Rumi lahir pada 30 September 1207. Malam itu dibacakan beberapa puisi Rumi yang diambil dari kumpulan Masnawi dan Divan Shamsi Tabriz terjemahan Abdul Hadi W.M, Sapardi Djoko Damono dan Taufiq Ismail. Tampil sebagai pembaca puisi (sekitar 15 puisi) malam itu Putu Wijaya, Renny Wijaya, Amak Baljun, Rezania C. Darwis, Danarto dan Taufiq sendiri. Taufiq Ismail membuka suasana malam itu dengan sajak Rumi tentang dua pilihan yang selalu ada dalam sejarah manusia: Yang sini menarikmu pada pesona dunia yang sana menarikmu pada kehidupan rohani yang jauh dari pesona dunia namun di tengah gelombang dahsyat seperti ini perabu harus terus berlayar atau karam tenggelam. Dan para sufi, kita tahu, memang dengan "mabuk sempoyongan memilih cahaya Ilahi." Mereka tanggalkan keduniawian, dan mereka rindukan satu kekasih, ialah Allah. Rumi pun bernyanyi tentang kerinduan, tentang pencarian, tentang dunia yang dia tampik. Dia menganggap yang kau nikmati di dunia ini sebenarnya adalah khayalanmu, dan ini bukan cerita lama." Karena itu pujangga besar Muhammad Iqbal menganggap para sufi sebagai antisosial. Bagi para sufi, dunia bahkan formalitas dalam beragama, adalah nonsens. Yang dicari adalah hakikat, bertemunya kawula dan gusti. Barangkali karena keyakinan itu, beberapa sufi--antara lain Al-Hallaj, Ahmad al-Ghazali-harus mati sahid. Mereka dianggap berbahaya dengan kerinduan dan pertanyaan-pertanyaan yang mengguncangkan formalisme agama. Perjalanan Rumi sendiri mungkin menjelaskan hal itu. Lahir pada 1207. pada usia sekitar 11 tahun keluarganya terpaksa hijrah dari Afghanistan, negerinya yang sedang dijajah bangsa Mongol. Bahauddin, bapak Rumi, akhirnya menelap di Konya, ibukota Turki kala itu. Di situ ia mendirikan perguruan, dan ternyata menarik banyak murid dan pengikut. Pada 1231, ketika usia Rumi 24 tahun, ayahnya meninggal. Perguruan dilanjutkan oleh Rumi, dan semakin berkembang. Tiga tahun kemudian di Konya, Rumi bertemu seorang darwis bernama Shamsi dari Tabriz. Konon si darwis. pengembara itu, bertanya kepada Rum siapa di antara Abu Yazid al Bistam dan Nabi Muhamad yang paling besar. "Muhammad shallalahu alaihi wasalam," jawab Rumi. Jawaban itulah yang menjadikan mereka sahabat karib, baga tak terpisahkan: seperti bulan dan mata hari. Tapi persahabatan ini pula yang membuat Rumi lupa kepada perguruan dan siswa-siswanya. Dan karena itu pula konon Shamsi dibunuh oleh siswa-siswa Rumi dan yang kemudian menyembunyikan jenasahnya. Rumi sendiri seperti tidak percaya, bahwa mataharinya bisa lenyap. Siapa yang mengabarkan/ Bahwa Rob kekal itu tiada lagi,/Siapa yang berani mengatakan/ Bahwa matahari Harapan telah mati? KESEDIIAN lumi karena kehilangan Shamsi di luar dugaan. Jiwanya lnenerawang, mencari "jantungmu mutiara." Ia lari dan jatuh cinta pada musik dan puisi. Dan pukulan palu sahabat kentalnya yang lain, si pandai emas Salahuddin di telinganya bagaikan bunyi "Allah-Allah-Allah." Dalam ekstase itu diucapkannya kata-kata bijaksana, ya puisi itu, yang kemudian dituliskan Salahuddin yang akhirnya terkumpul dalam Masnawi. Apabila telah kukorbankan jiwa malaikat ini,/Aku akan menjelma sesuatu yang tak terpahami,/O, biarlah diriku tak ada! sebab Ketiadaan/ Menyanyikan nada-nada suci, "Kepada-Nya kita akan kembali." Danarto mengumandangkan sajak "Evolusi" ini. Dan Teater Arena pun bergerak dari keheningannya. Gambar slide, tenang lukisan-lukisan Persia klasik, ditembakkan dari arah samping dan depan. Lukisan yang penuh ornamen warna-warni itu, ganti menciptakan suasana. Dan di bawah lampu yang temaram, di arena, beberapa orang berpusing menirukan para darwis menari. Sementara itu sebuah kamera film delapan mili terus menerus menembakkan kata "Allah" pada tembok latar belakang, persis di samping gambar Jalaluddin (artinya sang penjaga keyakinan) Rumi yang bersimpuh itu. "Seperti berada di sebuah masjid kuno di Timur Tengah," kata seorang pengunjung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus