Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Erupsi Gunung Anak Krakatau, Vulkanolog ITB Teringat Tsunami Selat Sunda 2018

PVMBG telah menaikkan status Gunung Anak Krakatau ke tingkat III.

29 November 2023 | 18.27 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Bandung - Letusan atau erupsi Gunung Anak Krakatau belakangan ini mengingatkan pada peristiwa tsunami pada pengujung 2018 di Selat Sunda yang merenggut korban jiwa. Menurut vulkanolog dari Institut Teknologi Bandung Mirzam Abdurrachman, letusan Gunung api Anak Krakatau sekarang cukup besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

”Lavanya mulai keluar, kolom erupsinya sampai ketinggian antara 1.000-2.000 meter,” kata Mirzam, Rabu, 29 November 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mirzam mengatakan aktivitas erupsi Anak Krakatau tergolong sebagai hal biasa dan normal. “Tapi mengingat kejadian 2018, longsor menyebabkan tsunami setelah kawahnya terbuka terjadi erupsi,” kata dia.

Longsor yang terjadi, menurut dosen Program Studi Teknik Geologi ITB itu, karena kondisi tubuh Gunung api Anak Krakatau tidak stabil akibat volumenya sudah sangat besar. Temuan itu diperoleh dari hasil penelitian yang melibatkan tim dari ITB, University of Oxford, University of Birmingham dan British Geological Survey.

Tsunami vulkanik pada 22 Desember 2018 itu dinilai sulit diprediksi. Saat itu, ketinggian Gunung api Anak Krakatau, yaitu 333 meter dari permukaan laut atau mdpl. Kini tinggi gunung api dari bawah laut Selat Sunda itu menurut Mirzam sekitar 159-183 mdpl.

Dengan ketinggian sekitar 57 persen dari sebelumnya, pertumbuhan gunungnya termasuk cepat dalam kurun waktu lima tahun. “Volumenya tidak sebesar 2018, tapi potensi bahayanya masih ada,” kata Mirzam. 

Pusat Vulkanologi Mitigasi dan Bencana Geologi atau PVMBG telah menaikkan status Gunung Anak Krakatau ke tingkat III. Pengamatannya sekarang menurut Mirzam dilakukan secara komprehensif.

“Tidak hanya pergerakan magma tapi juga retakan-retakan yang mungkin menimbulkan ketidak stabilan lereng perlu diperhatikan supaya kejadian 2018 tidak berulang,” kata Mirzam.

Tsunami pada 2018 akibat longsoran itu mengakibatkan ombak setinggi 80 meter di sekitar Gunung api Anak Krakatau. Pada pesisir Banten dan Lampung, ketinggian ombak mencapai 13 meter. Kejadian itu merenggut nyawa 437 korban jiwa, 14.059 orang korban luka dan 33.719 orang kehilangan tempat tinggal.

Mirzam mengatakan beberapa faktor yang berpotensi menimbulkan longsoran itu adalah gempa bumi, pun desakan magma bisa membuat tubuh gunung tidak stabil. “Kondisi ini tetap harus waspada. Mungkin letusan tidak terjadi, tapi karena desakan atau goyangan karena tubuhnya miring potensi longsor ada,” ujarnya.

Diketahui pula Gunung api Anak Krakatau tumbuh di atas bidang tumpuan yang tidak horisontal sehingga bidang longsorannya miring dari timur laut ke barat daya. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus