Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cuaca cerah melingkupi wilayah Desa Urisa, Papua Barat. Sudah dua bulan hujan tak turun di daerah itu ketika tim peneliti yang tergabung dalam Ekspedisi Lengguru tiba, awal November tahun lalu. Di Urisa, rombongan disambut warga desa dengan ramah. Tenda-tenda kecil dan tempat riset segera didirikan di tengah desa. Sebagian anggota tim membangun base camp, sementara yang lain menyebar mencari data tumbuhan, serangga, burung, dan reptil di hutan, sungai, danau, dan gua.
Lina Juswara, peneliti botani Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, ingat kondisi cuaca di Urisa sangat panas. Meski demikian, kegiatan pengumpulan bahan koleksi dari alam terus dilakukan. "Sayang kalau waktunya terbuang," kata Lina kepada Tempo, 27 Januari lalu. Tim ekspedisi hanya tinggal di Urisa selama empat hari. Pada 7 November 2014, lewat jalur laut, mereka meneruskan ekspedisi ke pegunungan Kumawa.
Ekspedisi Lengguru adalah perjalanan riset untuk mendata biodiversitas kawasan pesisir dan pegunungan karst Lengguru di Kabupaten Kaimana, Papua Barat. Ini adalah ekspedisi ilmiah terbesar yang pernah ada di Indonesia. Selama enam minggu, sejak 17 Oktober 2014, para peneliti menyusuri wilayah yang selama ini jarang sekali didatangi. Mereka mengumpulkan koleksi flora dan fauna khas Lengguru. "Belum pernah ada yang mengeksplorasi Lengguru sebelumnya," ujar Lina.
Lengguru dipilih sebagai target ekspedisi karena dinilai sebagai daerah istimewa. Peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi, Ucu Yanu Arbi, mengatakan Lengguru memiliki sistem hidrologi unik yang terbentuk di lingkungan karst. "Itu adalah salah satu dari tiga kawasan karst terbesar di dunia bersama Eropa Timur dan Amerika Utara," kata Ucu dalam surat elektronik, 28 Januari lalu. Berdasarkan sejarah geologi tanah Papua, Lengguru juga diduga kuat merupakan asal beberapa spesies di pulau itu. "Belum ada data yang cukup untuk menggambarkan kekayaan biodiversity di kawasan itu," ujarnya.
Perjalanan ilmiah ini adalah lanjutan dari ekspedisi awal pada 2010. Ada 74 peneliti dan teknisi dalam ekspedisi yang diprakarsai LIPI; Institute of Research for Development, Prancis; dan Akademi Perikanan Sorong itu. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kaimana, Universitas Negeri Papua, Universitas Cenderawasih, serta Universitas Musamus juga mendukung ekspedisi itu. "Wilayah yang kami jelajahi dari kedalaman seratus meter di bawah laut hingga ketinggian seribu meter," ucap koordinator tim dari LIPI, Gono Semiadi, dalam diskusi di gedung LIPI, November tahun lalu.
Tim menjelajahi tiga wilayah di area pegunungan Lengguru. Wilayah Lobo di Teluk Triton adalah target pertama mereka. Berikutnya, peneliti menyisir wilayah Urisa, yang terletak di dekat danau Sewiki dan Nusa Ulan di pegunungan Kumawa. Mereka mengoleksi ratusan jenis flora dan fauna endemis Lengguru. Di antara spesies yang ditemukan, lebih dari lima jenis kupu-kupu, delapan capung, sepuluh reptil dan amfibi, serta tiga jenis kelelawar belum dikenali.
Wilayah Lengguru juga dipenuhi beragam jenis burung. Ada tujuh spesies burung yang diduga merupakan jenis baru. Di sana tim mendapatkan burung paruh bengkok terkecil yang ukurannya tak lebih dari kepalan tangan. Di ketinggian sekitar 800 meter, mereka menemukan sarang burung bowerbird. Burung itu populer karena pandai merias dan menjaga kebersihan sarangnya. "Hewan itu endemis Papua dan dikenal sebagai burung perias untuk menarik si betina," kata Gono.
Dari Lengguru, para peneliti juga membawa sekitar 600 jenis tumbuhan. "Sekitar 400 jenis di antaranya anggrek," ujar Lina. Di Papua, tanaman itu sangat mudah ditemukan. Lina mengatakan anggrek adalah tumbuhan dengan cakupan distribusi yang luas, dari tepi pantai hingga daerah pegunungan bisa tumbuh. Koleksi tumbuhan dari Lengguru diserahkan ke Kebun Raya Bogor untuk diteliti. "Semua deposit anggrek kami ada di sana," tutur ahli anggrek yang juga memiliki pengalaman di bidang caving ini.
Selama ekspedisi, para peneliti botani bisa mengumpulkan 40-50 tumbuhan setiap hari. "Pernah juga sampai 200," kata Lina. Mereka belum bisa memastikan jenis semua anggrek yang mereka kumpulkan karena sebagian besar masih dalam tahap vegetatif. "Belum ada bunganya, belum tahu itu anggrek apa," ujarnya.
Selain di Bogor, tumbuhan yang didapat ada yang disimpan di Kebun Biologi Wamena. Tempat itu adalah salah satu lokasi yang didirikan Pusat Penelitian Biologi LIPI. Lokasi itu diharapkan menjadi tempat koleksi tumbuhan asli Papua. "Tumbuhan dan wilayah Papua banyak yang belum dieksplorasi," katanya.
Ekosistem laut di sekitar leher burung Papua juga memiliki banyak kekayaan hayati. Perairan Papua, terutama Kaimana, pun kaya akan keanekaragaman hayati yang unik. Spesies yang biasa terdapat di wilayah perairan Indonesia lain ternyata jarang ada di Papua. "Kima atau kerang besar, yang umum dijumpai di wilayah lain, ternyata di Papua cuma kami temukan sepuluh individu," tutur Ucu.
Karang yang merupakan komponen utama penyusun ekosistem terumbu karang di Kaimana juga khas. Menurut Ucu, jenis karang, termasuk gorgonian, yang mendominasi wilayah Kaimana, ternyata jarang ditemui di wilayah lain di Indonesia. Sebaliknya, karang yang dominan ada di wilayah Indonesia malah sulit ditemui di Kaimana. Fenomena komposisi karang itu mempengaruhi biota laut yang berasosiasi di ekosistem terumbu karang, seperti mollusca, echinodermata, dan crustacea. "Diduga kuat akibat pengaruh dari keberadaan sistem hidrologi kawasan karst Lengguru," ujar Ucu.
Aktivitas geologis yang membentuk pulau Papua hingga menyerupai burung mempengaruhi keunikan fauna di wilayah Lengguru. Awalnya wilayah Lengguru belum ada. Tempat itu dulu hanya berupa lautan yang memisahkan "kepala" dan "tubuh" Papua. Laurent Pouyaud, peneliti dari Institute of Research for Development, Prancis, mengatakan bagian "leher" pulau Papua itu merupakan daratan yang naik dari dasar laut sekitar 10 juta tahun lalu. "Wilayah itu adalah sedimen yang terbentuk karena tabrakan antara lempeng tektonik Australia dan Pasifik," ucapnya.
Lapisan baru itu terangkat setinggi 5-10 sentimeter per tahun. Pergerakan daratan yang sedikit itu terakumulasi selama jutaan tahun hingga membentuk barisan pegunungan panjang. "Akhirnya membentuk jembatan yang menghubungkan wilayah kepala dan tubuh pulau Papua," kata Pouyaud.
Lapisan Lengguru sebagian besar merupakan karst. Selain bergerak naik akibat pergeseran lempeng benua, lapisan tersebut dikikis dan dibentuk oleh cuaca, air, dan temperatur. "Lapisan karst ada hingga kedalaman lebih dari 2.000 meter di bawah laut," ujar Pouyaud. Banyak spesies yang awalnya menghuni lapisan karst di bawah laut berangsur menyesuaikan diri karena tempat tinggal mereka terangkat menjadi daratan. "Banyak juga spesies yang diduga menyeberang dari bagian kepala ke tubuh pulau Papua atau sebaliknya," tuturnya.
Ikan pelangi adalah satu dari spesies yang terpengaruh aktivitas geologis. Menurut Pouyaud, habitat ikan itu awalnya di laut. Pergeseran lempeng yang memunculkan daratan baru diduga turut menjebak sebagian ikan tersebut. Saat ini ada jenis ikan pelangi yang ditemukan hidup di perairan air tawar di beberapa wilayah daratan Papua. Kondisi ini sempat memicu pertanyaan karena tidak ada akses dari laut ke habitat mereka saat ini yang terisolasi dari lautan.
Aktivitas geologis itu bisa menjadi dasar jawaban mengapa ada spesies yang mirip di dua habitat yang sangat berbeda. Pouyaud mengatakan ikan-ikan itu mungkin ikut terbawa ketika lapisan baru naik dari dasar laut. "Mereka akhirnya beradaptasi," katanya.
Perubahan geologis, terutama struktur karst, mempengaruhi lingkungan Lengguru dan Kaimana. Menurut Ucu, perubahan lingkungan sekecil apa pun akan mempengaruhi suatu spesies. "Pilihannya hanya ada dua: bertahan dengan berbagai konsekuensi atau mati dan mengalami kepunahan," ucapnya. Jika perubahan lingkungan terjadi dalam skala kecil, secara alamiah biota akan berusaha beradaptasi dengan perubahan tersebut.
Perubahan lingkungan dalam skala kecil tapi berlangsung dalam rentang waktu yang lama juga bisa mengubah identitas suatu biota. Perubahan itu, kata Ucu, bisa terjadi secara morfologi dan molekuler. "Yang awalnya ada menjadi tidak ada atau yang awalnya tidak ada menjadi ada karena pengaruh lingkungan yang 'memaksa' untuk beradaptasi."
Gabriel Wahyu Titiyoga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo