Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Gelap, tapi 'kan tidak gonjang-ganjing

Gerhana matahari total yang akan terjadi 11 juni membuat para aparat pemerintah sibuk memberi peringatan kepada masyarakat agar selama gmt tidak keluar/melihat matahari, sebab akan menjadi buta. (ilt)

11 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GERHANA matahari total mungkin tak sampai membuat mata buta. Paling-paling bisa memekakkan telinga penduduk yang berada di wilayah Jawa Timur. Jawa Tengah dan sebagian Jawa Barat. Sebab, pada saat yang hampir bersamaan, petugas-petugas membunyikan kentongan bertalu-talu. Sirene melengking dari berbagai sumber -- mulai dari mobil patroli sampai dari atas menara masjid. Bathara Kala boleh terus mencaplok matahari. Karena suara bising dan hingar bingar itu tidak diperuntukkan kepadanya. Justru untuk masyarakat: agar masuk ke rumah masing-masing. "Jangan sekali-sekali menatap gerhana. Kebutaan oleh gerhana matahari tak bisa disembuhkan," begitu kata dr. Bambang Guntur, ahli penyakit mata, selaku anggota Tim Evaluasi Panitia Gerhana Matahari Total, dalam setiap kunjungan ke daerah-daerah. Mencegah terjadinya kebutaan ini diterjemahkan dengan berbagai larangan. Semakin mendekati waktu gerhana, semakin keras bentuk larangan. Kalau beberapa bulan sebelumnya ada petunjuk, masyarakat boleh melihat gerhana, asal tidak melihat matahari langsung, kini semua itu dipergawat. Kaca mata gerhana, yang terbuat dari film yang sudah "dicuci", dilarang diperjual-belikan. Kaca mata produksi PD Besar Bandung, yang sudah beredar 3.000 buah, disita di beberapa tempat di Ja-Tim dan Ja-Teng. "Sebanyak 18.000 produksi yang belum sempat dietarkan, kami musnahkan," kata Sugiat, juru bicara PD Besar. Larangan datang dari Kanwil Depkes. Satu-satunya cara yang masih diperbolehkan melihat gerhana matahari total (GMT), hanyalah lewat siaran langsung TVRI dan RRI. Pejabat Gubernur Ja-Teng, Ismail, meminta penduduk segera masuk ke rumah, begitu terdengar sirene. Jendela, genteng dan segala lubang yang memungkinkan sinar matahari bisa masuk, harus ditutup. Orang dilarang bepergian. Kaca mobil harus ditutup. Di Boyolali, para petani dianjurkan agar sehari sebelum GMT mencari rumput untuk ternaknya, agar persis di hari Sabtu ini mengurung diri di rumah. Bupati Sukohardjo bahkan memberi kesempatan kepada seluruh pegawai pemerintah daerah untuk pulang ke rumah dua jam sebelum GMT. Walau bukan hari libur, mendekap anak-anak di rumah lebih penting. "Katakan kepada seluruh masyarakat lainnya, mendekap anak di saat gerhana adalah perintah Bupati. Biarlah matahari saja yang buta, jangan kita," ucap Bupati Gatot Amrih. Penyuluhan GMT di Ja-Teng semakin menggebu-gebu. Dua juta pamflet, yang melarang ini dan itu, disebarkan lewat pesawat gelatik oleh pramuka yang bekerja sama dengan Federasi Aeromodeling Seluruh Indonesia (FASI). Bioskop, tak ada kecualinya, semua harus memasang "slide antibuta" begitu penonton menyebut. Bahkan panggung wayang orang Sriwedari dan Sri Mulat di Sala, sejak 1 Juni lalu dititipi penyuluhan GMT setiap malam. Juru penerang, ketua RK, RT, LKMD, jangan ditanya partisipasinya. Untuk Kota Sala saja, yang terdiri 5 kecamatan dan 51 kelurahan, melibatkan 75 petugas penyuluhan yang tiap hari berkeliling. "Kalau mereka bertugas lewat jam kantor akan ada uang tambahan," kata R. Suharto, ketua Humas GMT Sala. Seloroh juru penerang pun sekarang santer terdengar: "Mudah-mudahan gerhana matahari bisa diundurkan barang sebulan -- lumayan uang tambahannya." Penyuluhan di Yogyakarta kini ketularan gaya provinsi tetangganya. Pemda memutuskan menutup kolam renang Umbang Tirto dan Colombo, begitu dikabarkan bahwa dua kolam renang itu mau dijadikan arena melihat gerhana, mengikuti petunjuk "penyuluhan tahun lalu". Jadi sekarang tak mungkin, sambil berenang melihat gerhana. Juga pimpinan Kebun Binatang Gembira Loka, sudah mengeluarkan pengumuman, menutup pusat rekreasi itu di hari gerhana. Direktur Gembira Loka, Tirtowinoto, menyebutkan bahwa kandang singa, harimau dan kijang akan ditutup dengan hard board. Biayanya diperkirakan lebih Rp 100.000. Sementara binatang yang lain, akan diberi makan pada saat menjelang GMT, "agar perhatian binatang tidak tertuju kepada matahari." Tirtowinoto, tokoh pembauran yang terkenal itu, juga mengingatkan orang-orang akan kalender Cina yang menyebutkan bahwa "hari Sabtu 11 Juni sebagai hari jelek jangan melakukan kegiatan apa pun," katanya. Di Pantai Pangandaran (Ja-Bar) memang tak ada kegiatan apa pun. Kecuali petugas pemukul kentongan dan yang membunyikan sirene di Masjid Agung. Nelayan dilarang melaut dan penduduk dianjurkan tidak keluar rumah. Di Ja-Bar penyuluhan GMT dipimpin langsung Wakil Gubernur Soehoed Warnaen. Selain pamflet, ada spanduk bertulisan "jangan melihat gerhana", muncul di mana-mana. Di Ja-Tim, polisi dikerahkan ke jalan untuk menghalau penduduk agar masuk ke rumah masing-masing, di hari bencana, eh, gerhana itu. Ternyata tugas ini membuat bingung Kapten Pol. Drs. Mulyono Paiman, Kabag Operasi Koresta II Surabaya. "Masyarakat diperintahkan tidak keluar, lha, polisi kok justru boleh mondar-mandir?" tanyanya heran. Anak buahnya sudah ada yang menyeletuk: "Apa matahari memberi dispensasi untuk polisi? Kan sama-sama takut buta." Akhirnya Mulyono memperoleh jalan keluar. Polisi hanya mondar-mandir sebelum GMT, setelah itu berlindung di pos. "Sehirigga secara fisik tak kena sinar, supaya sama-sama aman," katanya. Di Ja-Tim itu juga terjadi penyitaan terhadap buku Pemandu Wisata Gerbana Matahari Total yang berisi petunjuk teknis tentang terjadinya gerhana dan cara melihatnya. Buku seharga Rp 1.500, tebal 27 halaman diterbitkan PT Promosi Nusantara. Buku itu tak jauh beda dengan terbitan PT Gramedia, PT Sinar Harapan dan terbitan Departemen P&K. "Buku itu harus dilihat dulu, apa isinya berbahaya atau tidak. Kalau bahaya mbok saya yang ditindak," ujar Hari Sasono kepala Perwakilan Pramosi Nusantara di Ja-Tim. Menurut Kadispendak X Ja-Tim, Letkol Pol. M. Sooleh, buku itu disita bukan karena penjelasannya tentang GMT, tetapi karena dilampiri alat yang merekomendasikan untuk menatap matahari. Bukan cuma buku yang disita. Di Madura dan Surabaya juga disita ajimat yang dijual belikan seharga Rp 1.000. Siapa yang memakai ajimat itu, konon bisa melihat GMT dengan mata telanjang, dan dijamin tidak buta. Begitu dijanjikan. Tidak ada hubungan dengan ajimat itu, suatu hari seorang kiai dari Surabaya diundang panitia Isra' Mi'raj di Lamongan. Pak Kiai berpidato, "melihat GMT tak ada bahayanya." Sinar ultra violet yang dipancarkan matahari, kata Pak Kiai, dalam keadaan tanpa gerhana pun berbahaya dan pasti bisa buta," kata Kiai yang tak mau disebut namanya itu. Berhubung pidato itu bertentangan dengan penyuluhan resmi, aparat keamanan bertindak. Kabarnya panitia Isra' Mi'raj sampai ditahan segala. Di kota kretek Kudus, Kiai Turaichan, seorang ahli ilmu falaq, terang-terangan menyebut, "penyuluhan pemerintah terlalu berlebih-lebihan." "Matahari memang galak jika dilihat terus-menerus, ada atau tidak ada gerhana," katanya. Dua kiai tersebut pendapatnya sama persis dengan "kiai" dari Lembang, Prof. Dr. Bambang Hidayat. Direktur Peneropong Bintang Bosscha ini, Jumat pekan lalu mengulangi seruannya, untuk tidak menganggap GMT sebagai sebuah bencana. Ia menegaskan lagi, justru di saat gerhana matahari total kita aman melihat matahari, asal tidak terus-menerus sampai selesai gerhana. Bambang Hidayat menganggap kurang bijaksana jika benar ada penyitaan buku petunjuk mengenai GMT. Ia kembali heran, ketika mendengar kandang di Kebun Binatang Gembira Loka, ditutup. Sayangnya, suara Bambang Hidayat tenggelam dalam hiruk pikuk penyuluhan -- misalnya dari TVRI yang hampir setiap petang mendengungkan, bagaimana bahayanya melihat GMT secara langsung. "Hanya satu cara melihat gerhana dengan aman, lihatlah melalui layar TVRI Anda," seru TVRI bernada iklan. Iklan atau tidak, TVRI tiba-tiba merasa punya pekerjaan besar. "Peliputan GMT ini merupakan tugas pertama kali dan paling sulit," kata Willy A. Karamoy, kepala Seksi Koordinasi Siaran Berita TVRI. Biayanya tentu saja mahal -- sampai-sampai "belum bisa diperkirakan berapa biaya yang habis," kata Karamoy. Kerepotan TVRI untuk menyaksikan siaran langsung dimulai dari pemilihan lokasi. Rencananya awal gerhana yang akan ditembak di Pangandaran dipancarkan langsung dari tempat itu. Tapi, karena harus didukung 5 stasiun penghubung untuk mencapai stasiun pemancar di Tasikmalaya, rencana itu dibatalkan. Terlalu mahal. Tetapi pengambilan awal gerhana di Pangandaran tetap berlangsung. Hasilnya diterbangkan dengan pesawat Hercules, dan di sekitar Borobudur, tiga penerjun meluncur membawa rekaman itu. Mereka adalah Wardiyono (wartawan TVRI Yogyakarta), Trisno Yuwono (wartawan Pikiran Rakyat) dan seorang penerjun putri dari FASI Jakarta. Dari Bukit Dagi, Borobudur, rekaman itu disiarkan. Di sela-sela siaran langsung yang berfokus ke matahari itu, juga disiarkan berbagai pengaruh GMT terhadap binatang dipinjam dari Gembira Loka Yogyakarta. "Yang pusing, mencari kunang-kunang," kata Daryoto, kepala Stasiun TVRI Yogya, yang bertanggung jawab di Borobudur. Kunang-kunang itu termasuk binatang yang diminta oleh tim NHK Jepang yang mengadakan kerja sama raksasa dengan TVRI, apakah juga bersinar tatkala GMT. Di Borobudur sudah ada 12 teknisi NHK ditambah sejumlah petugas TVRI Pusat dan Yogyakarta. Pihak NHK (Nippon Hoso Kyokai) meminjamkan peralatan yang digunakan khusus untuk menghadapi GMT. Sebagai imbalan, NHK minta penggunaan sinyal melalui satelit Palapa, agar kejadian langka ini bisa disiarkan langsung ke negaranya. Selain 6 jenis alat khusus dari Jepang, TVRI mengerahkan 18 buah kamera. Antara lain ditempatkan di Cepu, untuk merekam kegiatan para astronom di sana. Rekaman diterbangkan dengan helikopter ke Tanjung Kodok untuk disiarkan secara langsung. Di Pantai Tanjung Kodok sendiri persiapan sama rumitnya dengan di Borobudur. "Bayangkan, jika persis di saat gerhana, awan datang menutup matahari," ujar Karamoy. Keadaan cuaca sebenarnyalah sudah diperhitungkan secara matang oleh TVRI maupun para ahli astronomi yang datang dari berbagai penjuru dunia. Atas pertimbangan cuaca itu pula, sejumlah ahli menyerbu Tanjung Kodok, yang jauh dari perkampungan. Sampai Sabtu pekan lalu, astronom yang tercatat di Tanjung Kodok ada 470 orang. Mereka dari Jepang, Eropa, dan Amerika. Di Desa Gesing, Tuban, tercatat 397 orang. Di lapangan Manahan, Solo, terdaftar 397 orang -- target semula 1.000 orang. Di Cepogo, Boyolali, yang sudah pasti hanya 4 orang, dari 750 rencana yang terdaftar. Di Desa Ngebul, Salatiga, di Sragen, di Kudus, di Semarang, dan di Pangandaran belum ada satu pun astronom yang memastikan memilih lokasi itu. Sedang di Cepu dan Borobudur Jumlahnya simpang-siur. Agaknya para astronom itu masih pusing menentukan lokasi penelitian, walau semua tempat yang disebut itu sudah direkomendasikan LIPI. Yang lebih pusing agaknya pejabat dinas pariwisata di masing-masing daerah GMT. Jumlah "wisatawan gerhana" itu jauh di bawah perkiraan. Semula semua orang terhenyak akan angka 500.000 wisatawan yang konon akan menyerbu Indonesia. Angka itu memang datang dari LIPI, tetapi itu bukan perkiraan, tetapi jumlah "harapan". Kepala Biro Humas LIPI, Drs. Soedito, menjelaskan: "Dulu kami hanya memberi gambaran bahwa di Kenya, pengunjung GMT mencapai 500.000. Dengan anggapan Indonesia lebih baik keadaannya dari Kenya, diharapkan pengunjung sekitar itu." Socdito mcnyayangkan bahwa banyak orang takabur saking senangnya. Sampai-sampai angka itu dijadikan bahan rapat di Semarang. "Sejak dulu saya tak punya harapan apa-apa. Kita harus berpikir realistis: mana mungkin orang asing berkunjung hanya untuk menikmati gerhana," komentar Menteri Pariwisata, Pos & Telekomunikasi, Achmad Tahir, pekan lalu. Walau begitu, Direktorat Jenderal Pariwisata jauh-jauh hari sudah menyebarkan publikasi ke luar negeri, sambil menaruh harapan datangnya wisatawan dalam jumlah 15.000 orang. Toh, harapan yang sudah begitu kecil dari gembor-gembor setengah juta yang tak karuan itu, masih juga belum tercapai. "Yang mendekati pasti paling banyak 8.500," kata Udin Saifuddin, Kasubdit Bahan-bahan Pemasaran Pariwisata. Celakanya, pemerintah daerah juga mempersiapkan diri dengan berpegang pada angka yang kelewat gede. Di Pangandaran, misalnya, dipersiapkan 38 rumah penginapan dengan 586 kamar. Itu pun "hanya" bisa menampung 1.463 calon wisatawan, sehingga 600 rumah penduduk disiapkan untuk cadangan. Direncanakan 3.000 wisatawan datang ke sana. Yang terjadi? "Sampai sekarang kosong. Nampaknya ahli asing mengejar Ja-Teng dan Ja-Tim," kata Ali R. Candranegara, pembantu bupati Wilayah Pangandaran. Tapi orang Semarang juga kelabakan. Hotel yang dipersiapkan, kosong melompong. Begitu juga Surabaya. Sedang Yogya, masih lumayan. Hotel Ambarukmo, dengan 248 kamar mendapat 420 turis, yang didatangkan perusahaan perjalanan Pacto, Nitour, Tunas Indonesia, dan Royal Holiday. Turis GMT ini masuk 10 Juni dan keluar hotel 12 Juni. Di hotel, sehari menjelang GMT, mereka disuguhi fragmen "Bethara Kala Rahu" ciptaan Rosmat, S.H., dimainkan 38 penari dari kelompok Sekar Arum. Sendratari dengan lama pementasan 36 menit ini menceritakan gerhana matahari berdasar dongeng di masyarakat. Angka turis yang bisa mengkeret juga disebabkan tarif yang tak berketentuan, sehingga banyak pesanan dibatalhan. Salah seorang manajer Pacto, Halim Indrakusuma, menyebutkan bahwa hotel menaikkan tarif semaunya sendiri setelah mendengar akan ada setengah juta turis datang. "Di Ja-Tim, tarif kamar naik 300%, sehingga Hotel Mirama tarifnya sampai US$125 semalam," kata Halim. Yang lebih gila, Hotel Purnama, sebuah hotel kecil tanpa bintang di Tuban, memasang tarif US$75 per malam dan minta dibayar di muka 2 malam. "Ini kan keterlaluan," ujar Halim. Manajer Pemasaran Nitour, F. Kohler, punya pengalaman lebih pahit lagi. Nitour sudah pesan dan bayar panjar sampai Rp 2 juta dengan tarif US$110. "Sekarang hotel minta pembayaran panjar itu ditinjau karena devaluasi. Ini kan merugikan kami," kata F. Kohler. Cuk Sutoyo dari Hotel Ambarukmo mengakui ada tarif khusus GMT. Hari biasa tarif US$61, turis GMT dikenakan US$110. "Ini disetujui PHRI (organisasi perhotelan)," kata Cuk Sutoyo. Pelayanan yang khusus dan fragmen "Bethara Kala Rahu" merupakan bonus dari tarif khusus itu. Akibat tarif hotel yang begitu itu, wajah Kota Cepu menjadi penuh dengan gubuk bambu. Tunas Indonesia membangun perkampungan dengan nama "Tunas Bamboo City". Sebanyak 40 gubuk, masing-masing berukuran 3,60 x 4,90 meter, didirikan untuk menampung 320 turis. Untuk membangun sarana itu, Tunas mengeluarkan biaya Rp 12 juta, termasuk membuat sumur pompa dengan mesin diesel. "Ini proyek rugi. Sumur dan perlengkapannya akan kami serahkan kepada masyarakat setempat yang memang kesulitan air minum," kata Nugroho S. Aditomo, dari Tunas Indonesia. Bagi masyarakat Ccpu, itu adalah hadiah. Persoalan buta atau tidak jika menatap matahari di saat gerhana, biarlah itu jadi pertengkaran abadi antara ahli astronomi dengan ahli kesehatan. Kalau menengadah ke matahari hanya suatu keisengan dan toh tak menemukan manfaat apa-apa, kenapa harus dilakukan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus