GERHANA matahari total mungkin tak sampai membuat mata buta.
Paling-paling bisa memekakkan telinga penduduk yang berada di
wilayah Jawa Timur. Jawa Tengah dan sebagian Jawa Barat. Sebab,
pada saat yang hampir bersamaan, petugas-petugas membunyikan
kentongan bertalu-talu. Sirene melengking dari berbagai sumber
-- mulai dari mobil patroli sampai dari atas menara masjid.
Bathara Kala boleh terus mencaplok matahari. Karena suara bising
dan hingar bingar itu tidak diperuntukkan kepadanya. Justru
untuk masyarakat: agar masuk ke rumah masing-masing. "Jangan
sekali-sekali menatap gerhana. Kebutaan oleh gerhana matahari
tak bisa disembuhkan," begitu kata dr. Bambang Guntur, ahli
penyakit mata, selaku anggota Tim Evaluasi Panitia Gerhana
Matahari Total, dalam setiap kunjungan ke daerah-daerah.
Mencegah terjadinya kebutaan ini diterjemahkan dengan berbagai
larangan. Semakin mendekati waktu gerhana, semakin keras bentuk
larangan. Kalau beberapa bulan sebelumnya ada petunjuk,
masyarakat boleh melihat gerhana, asal tidak melihat matahari
langsung, kini semua itu dipergawat. Kaca mata gerhana, yang
terbuat dari film yang sudah "dicuci", dilarang
diperjual-belikan. Kaca mata produksi PD Besar Bandung, yang
sudah beredar 3.000 buah, disita di beberapa tempat di Ja-Tim
dan Ja-Teng. "Sebanyak 18.000 produksi yang belum sempat
dietarkan, kami musnahkan," kata Sugiat, juru bicara PD Besar.
Larangan datang dari Kanwil Depkes.
Satu-satunya cara yang masih diperbolehkan melihat gerhana
matahari total (GMT), hanyalah lewat siaran langsung TVRI dan
RRI. Pejabat Gubernur Ja-Teng, Ismail, meminta penduduk segera
masuk ke rumah, begitu terdengar sirene. Jendela, genteng dan
segala lubang yang memungkinkan sinar matahari bisa masuk, harus
ditutup. Orang dilarang bepergian. Kaca mobil harus ditutup.
Di Boyolali, para petani dianjurkan agar sehari sebelum GMT
mencari rumput untuk ternaknya, agar persis di hari Sabtu ini
mengurung diri di rumah. Bupati Sukohardjo bahkan memberi
kesempatan kepada seluruh pegawai pemerintah daerah untuk pulang
ke rumah dua jam sebelum GMT. Walau bukan hari libur, mendekap
anak-anak di rumah lebih penting. "Katakan kepada seluruh
masyarakat lainnya, mendekap anak di saat gerhana adalah
perintah Bupati. Biarlah matahari saja yang buta, jangan kita,"
ucap Bupati Gatot Amrih.
Penyuluhan GMT di Ja-Teng semakin menggebu-gebu. Dua juta
pamflet, yang melarang ini dan itu, disebarkan lewat pesawat
gelatik oleh pramuka yang bekerja sama dengan Federasi
Aeromodeling Seluruh Indonesia (FASI). Bioskop, tak ada
kecualinya, semua harus memasang "slide antibuta" begitu
penonton menyebut. Bahkan panggung wayang orang Sriwedari dan
Sri Mulat di Sala, sejak 1 Juni lalu dititipi penyuluhan GMT
setiap malam.
Juru penerang, ketua RK, RT, LKMD, jangan ditanya
partisipasinya. Untuk Kota Sala saja, yang terdiri 5 kecamatan
dan 51 kelurahan, melibatkan 75 petugas penyuluhan yang tiap
hari berkeliling. "Kalau mereka bertugas lewat jam kantor akan
ada uang tambahan," kata R. Suharto, ketua Humas GMT Sala.
Seloroh juru penerang pun sekarang santer terdengar:
"Mudah-mudahan gerhana matahari bisa diundurkan barang sebulan
-- lumayan uang tambahannya."
Penyuluhan di Yogyakarta kini ketularan gaya provinsi
tetangganya. Pemda memutuskan menutup kolam renang Umbang Tirto
dan Colombo, begitu dikabarkan bahwa dua kolam renang itu mau
dijadikan arena melihat gerhana, mengikuti petunjuk "penyuluhan
tahun lalu". Jadi sekarang tak mungkin, sambil berenang melihat
gerhana. Juga pimpinan Kebun Binatang Gembira Loka, sudah
mengeluarkan pengumuman, menutup pusat rekreasi itu di hari
gerhana.
Direktur Gembira Loka, Tirtowinoto, menyebutkan bahwa kandang
singa, harimau dan kijang akan ditutup dengan hard board.
Biayanya diperkirakan lebih Rp 100.000. Sementara binatang yang
lain, akan diberi makan pada saat menjelang GMT, "agar perhatian
binatang tidak tertuju kepada matahari." Tirtowinoto, tokoh
pembauran yang terkenal itu, juga mengingatkan orang-orang akan
kalender Cina yang menyebutkan bahwa "hari Sabtu 11 Juni sebagai
hari jelek jangan melakukan kegiatan apa pun," katanya.
Di Pantai Pangandaran (Ja-Bar) memang tak ada kegiatan apa pun.
Kecuali petugas pemukul kentongan dan yang membunyikan sirene di
Masjid Agung. Nelayan dilarang melaut dan penduduk dianjurkan
tidak keluar rumah. Di Ja-Bar penyuluhan GMT dipimpin langsung
Wakil Gubernur Soehoed Warnaen. Selain pamflet, ada spanduk
bertulisan "jangan melihat gerhana", muncul di mana-mana.
Di Ja-Tim, polisi dikerahkan ke jalan untuk menghalau penduduk
agar masuk ke rumah masing-masing, di hari bencana, eh, gerhana
itu. Ternyata tugas ini membuat bingung Kapten Pol. Drs. Mulyono
Paiman, Kabag Operasi Koresta II Surabaya. "Masyarakat
diperintahkan tidak keluar, lha, polisi kok justru boleh
mondar-mandir?" tanyanya heran. Anak buahnya sudah ada yang
menyeletuk: "Apa matahari memberi dispensasi untuk polisi? Kan
sama-sama takut buta." Akhirnya Mulyono memperoleh jalan keluar.
Polisi hanya mondar-mandir sebelum GMT, setelah itu berlindung
di pos. "Sehirigga secara fisik tak kena sinar, supaya sama-sama
aman," katanya.
Di Ja-Tim itu juga terjadi penyitaan terhadap buku Pemandu
Wisata Gerbana Matahari Total yang berisi petunjuk teknis
tentang terjadinya gerhana dan cara melihatnya. Buku seharga Rp
1.500, tebal 27 halaman diterbitkan PT Promosi Nusantara. Buku
itu tak jauh beda dengan terbitan PT Gramedia, PT Sinar Harapan
dan terbitan Departemen P&K. "Buku itu harus dilihat dulu, apa
isinya berbahaya atau tidak. Kalau bahaya mbok saya yang
ditindak," ujar Hari Sasono kepala Perwakilan Pramosi Nusantara
di Ja-Tim. Menurut Kadispendak X Ja-Tim, Letkol Pol. M. Sooleh,
buku itu disita bukan karena penjelasannya tentang GMT, tetapi
karena dilampiri alat yang merekomendasikan untuk menatap
matahari.
Bukan cuma buku yang disita. Di Madura dan Surabaya juga disita
ajimat yang dijual belikan seharga Rp 1.000. Siapa yang memakai
ajimat itu, konon bisa melihat GMT dengan mata telanjang, dan
dijamin tidak buta. Begitu dijanjikan.
Tidak ada hubungan dengan ajimat itu, suatu hari seorang kiai
dari Surabaya diundang panitia Isra' Mi'raj di Lamongan. Pak
Kiai berpidato, "melihat GMT tak ada bahayanya." Sinar ultra
violet yang dipancarkan matahari, kata Pak Kiai, dalam keadaan
tanpa gerhana pun berbahaya dan pasti bisa buta," kata Kiai yang
tak mau disebut namanya itu. Berhubung pidato itu bertentangan
dengan penyuluhan resmi, aparat keamanan bertindak. Kabarnya
panitia Isra' Mi'raj sampai ditahan segala.
Di kota kretek Kudus, Kiai Turaichan, seorang ahli ilmu falaq,
terang-terangan menyebut, "penyuluhan pemerintah terlalu
berlebih-lebihan." "Matahari memang galak jika dilihat
terus-menerus, ada atau tidak ada gerhana," katanya.
Dua kiai tersebut pendapatnya sama persis dengan "kiai" dari
Lembang, Prof. Dr. Bambang Hidayat. Direktur Peneropong Bintang
Bosscha ini, Jumat pekan lalu mengulangi seruannya, untuk tidak
menganggap GMT sebagai sebuah bencana. Ia menegaskan lagi,
justru di saat gerhana matahari total kita aman melihat
matahari, asal tidak terus-menerus sampai selesai gerhana.
Bambang Hidayat menganggap kurang bijaksana jika benar ada
penyitaan buku petunjuk mengenai GMT. Ia kembali heran, ketika
mendengar kandang di Kebun Binatang Gembira Loka, ditutup.
Sayangnya, suara Bambang Hidayat tenggelam dalam hiruk pikuk
penyuluhan -- misalnya dari TVRI yang hampir setiap petang
mendengungkan, bagaimana bahayanya melihat GMT secara langsung.
"Hanya satu cara melihat gerhana dengan aman, lihatlah melalui
layar TVRI Anda," seru TVRI bernada iklan.
Iklan atau tidak, TVRI tiba-tiba merasa punya pekerjaan besar.
"Peliputan GMT ini merupakan tugas pertama kali dan paling
sulit," kata Willy A. Karamoy, kepala Seksi Koordinasi Siaran
Berita TVRI. Biayanya tentu saja mahal -- sampai-sampai "belum
bisa diperkirakan berapa biaya yang habis," kata Karamoy.
Kerepotan TVRI untuk menyaksikan siaran langsung dimulai dari
pemilihan lokasi.
Rencananya awal gerhana yang akan ditembak di Pangandaran
dipancarkan langsung dari tempat itu. Tapi, karena harus
didukung 5 stasiun penghubung untuk mencapai stasiun pemancar
di Tasikmalaya, rencana itu dibatalkan. Terlalu mahal.
Tetapi pengambilan awal gerhana di Pangandaran tetap
berlangsung. Hasilnya diterbangkan dengan pesawat Hercules, dan
di sekitar Borobudur, tiga penerjun meluncur membawa rekaman
itu. Mereka adalah Wardiyono (wartawan TVRI Yogyakarta), Trisno
Yuwono (wartawan Pikiran Rakyat) dan seorang penerjun putri
dari FASI Jakarta. Dari Bukit Dagi, Borobudur, rekaman itu
disiarkan.
Di sela-sela siaran langsung yang berfokus ke matahari itu, juga
disiarkan berbagai pengaruh GMT terhadap binatang dipinjam dari
Gembira Loka Yogyakarta. "Yang pusing, mencari kunang-kunang,"
kata Daryoto, kepala Stasiun TVRI Yogya, yang bertanggung jawab
di Borobudur.
Kunang-kunang itu termasuk binatang yang diminta oleh tim NHK
Jepang yang mengadakan kerja sama raksasa dengan TVRI, apakah
juga bersinar tatkala GMT. Di Borobudur sudah ada 12 teknisi NHK
ditambah sejumlah petugas TVRI Pusat dan Yogyakarta.
Pihak NHK (Nippon Hoso Kyokai) meminjamkan peralatan yang
digunakan khusus untuk menghadapi GMT. Sebagai imbalan, NHK
minta penggunaan sinyal melalui satelit Palapa, agar kejadian
langka ini bisa disiarkan langsung ke negaranya.
Selain 6 jenis alat khusus dari Jepang, TVRI mengerahkan 18 buah
kamera. Antara lain ditempatkan di Cepu, untuk merekam kegiatan
para astronom di sana. Rekaman diterbangkan dengan helikopter ke
Tanjung Kodok untuk disiarkan secara langsung. Di Pantai Tanjung
Kodok sendiri persiapan sama rumitnya dengan di Borobudur.
"Bayangkan, jika persis di saat gerhana, awan datang menutup
matahari," ujar Karamoy.
Keadaan cuaca sebenarnyalah sudah diperhitungkan secara matang
oleh TVRI maupun para ahli astronomi yang datang dari berbagai
penjuru dunia. Atas pertimbangan cuaca itu pula, sejumlah ahli
menyerbu Tanjung Kodok, yang jauh dari perkampungan. Sampai
Sabtu pekan lalu, astronom yang tercatat di Tanjung Kodok ada
470 orang. Mereka dari Jepang, Eropa, dan Amerika.
Di Desa Gesing, Tuban, tercatat 397 orang. Di lapangan Manahan,
Solo, terdaftar 397 orang -- target semula 1.000 orang. Di
Cepogo, Boyolali, yang sudah pasti hanya 4 orang, dari 750
rencana yang terdaftar. Di Desa Ngebul, Salatiga, di Sragen, di
Kudus, di Semarang, dan di Pangandaran belum ada satu pun
astronom yang memastikan memilih lokasi itu. Sedang di Cepu dan
Borobudur Jumlahnya simpang-siur. Agaknya para astronom itu
masih pusing menentukan lokasi penelitian, walau semua tempat
yang disebut itu sudah direkomendasikan LIPI.
Yang lebih pusing agaknya pejabat dinas pariwisata di
masing-masing daerah GMT. Jumlah "wisatawan gerhana" itu jauh di
bawah perkiraan. Semula semua orang terhenyak akan angka 500.000
wisatawan yang konon akan menyerbu Indonesia. Angka itu memang
datang dari LIPI, tetapi itu bukan perkiraan, tetapi jumlah
"harapan". Kepala Biro Humas LIPI, Drs. Soedito, menjelaskan:
"Dulu kami hanya memberi gambaran bahwa di Kenya, pengunjung GMT
mencapai 500.000. Dengan anggapan Indonesia lebih baik
keadaannya dari Kenya, diharapkan pengunjung sekitar itu."
Socdito mcnyayangkan bahwa banyak orang takabur saking
senangnya. Sampai-sampai angka itu dijadikan bahan rapat di
Semarang.
"Sejak dulu saya tak punya harapan apa-apa. Kita harus berpikir
realistis: mana mungkin orang asing berkunjung hanya untuk
menikmati gerhana," komentar Menteri Pariwisata, Pos &
Telekomunikasi, Achmad Tahir, pekan lalu. Walau begitu,
Direktorat Jenderal Pariwisata jauh-jauh hari sudah menyebarkan
publikasi ke luar negeri, sambil menaruh harapan datangnya
wisatawan dalam jumlah 15.000 orang. Toh, harapan yang sudah
begitu kecil dari gembor-gembor setengah juta yang tak karuan
itu, masih juga belum tercapai. "Yang mendekati pasti paling
banyak 8.500," kata Udin Saifuddin, Kasubdit Bahan-bahan
Pemasaran Pariwisata.
Celakanya, pemerintah daerah juga mempersiapkan diri dengan
berpegang pada angka yang kelewat gede. Di Pangandaran,
misalnya, dipersiapkan 38 rumah penginapan dengan 586 kamar. Itu
pun "hanya" bisa menampung 1.463 calon wisatawan, sehingga 600
rumah penduduk disiapkan untuk cadangan. Direncanakan 3.000
wisatawan datang ke sana. Yang terjadi? "Sampai sekarang kosong.
Nampaknya ahli asing mengejar Ja-Teng dan Ja-Tim," kata Ali R.
Candranegara, pembantu bupati Wilayah Pangandaran.
Tapi orang Semarang juga kelabakan. Hotel yang dipersiapkan,
kosong melompong. Begitu juga Surabaya. Sedang Yogya, masih
lumayan. Hotel Ambarukmo, dengan 248 kamar mendapat 420 turis,
yang didatangkan perusahaan perjalanan Pacto, Nitour, Tunas
Indonesia, dan Royal Holiday. Turis GMT ini masuk 10 Juni dan
keluar hotel 12 Juni. Di hotel, sehari menjelang GMT, mereka
disuguhi fragmen "Bethara Kala Rahu" ciptaan Rosmat, S.H.,
dimainkan 38 penari dari kelompok Sekar Arum. Sendratari dengan
lama pementasan 36 menit ini menceritakan gerhana matahari
berdasar dongeng di masyarakat.
Angka turis yang bisa mengkeret juga disebabkan tarif yang tak
berketentuan, sehingga banyak pesanan dibatalhan. Salah seorang
manajer Pacto, Halim Indrakusuma, menyebutkan bahwa hotel
menaikkan tarif semaunya sendiri setelah mendengar akan ada
setengah juta turis datang. "Di Ja-Tim, tarif kamar naik 300%,
sehingga Hotel Mirama tarifnya sampai US$125 semalam," kata
Halim. Yang lebih gila, Hotel Purnama, sebuah hotel kecil tanpa
bintang di Tuban, memasang tarif US$75 per malam dan minta
dibayar di muka 2 malam. "Ini kan keterlaluan," ujar Halim.
Manajer Pemasaran Nitour, F. Kohler, punya pengalaman lebih
pahit lagi. Nitour sudah pesan dan bayar panjar sampai Rp 2 juta
dengan tarif US$110. "Sekarang hotel minta pembayaran panjar itu
ditinjau karena devaluasi. Ini kan merugikan kami," kata F.
Kohler.
Cuk Sutoyo dari Hotel Ambarukmo mengakui ada tarif khusus GMT.
Hari biasa tarif US$61, turis GMT dikenakan US$110. "Ini
disetujui PHRI (organisasi perhotelan)," kata Cuk Sutoyo.
Pelayanan yang khusus dan fragmen "Bethara Kala Rahu" merupakan
bonus dari tarif khusus itu.
Akibat tarif hotel yang begitu itu, wajah Kota Cepu menjadi
penuh dengan gubuk bambu. Tunas Indonesia membangun perkampungan
dengan nama "Tunas Bamboo City". Sebanyak 40 gubuk,
masing-masing berukuran 3,60 x 4,90 meter, didirikan untuk
menampung 320 turis. Untuk membangun sarana itu, Tunas
mengeluarkan biaya Rp 12 juta, termasuk membuat sumur pompa
dengan mesin diesel. "Ini proyek rugi. Sumur dan perlengkapannya
akan kami serahkan kepada masyarakat setempat yang memang
kesulitan air minum," kata Nugroho S. Aditomo, dari Tunas
Indonesia.
Bagi masyarakat Ccpu, itu adalah hadiah. Persoalan buta atau
tidak jika menatap matahari di saat gerhana, biarlah itu jadi
pertengkaran abadi antara ahli astronomi dengan ahli kesehatan.
Kalau menengadah ke matahari hanya suatu keisengan dan toh tak
menemukan manfaat apa-apa, kenapa harus dilakukan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini