"BAHWA kini para ilmuwan mampu meramalkan gerhana, hingga ke
detik-detiknya paling tepat," seperti kata Prof. Dr. Jay
Pasachoff, direktur Observatorium Hopkin di AS, sudah tentu
berkat berbagai rumus matematika jelimet yang disulap komputer.
Meski begitu, Pasachoff yang 11 Juni nanti menyaksikan gerhana
matahari yang ke-12 -- setiap kali kembali merasa kagum,
memperhatikan ketepatan perhitungan itu. "Pada saat yang
ditetapkan, saya bisa melihat ke atas, dan terbukti gerhana
mulai," tuturnya kepada TEMPO pekan lalu di Lembang.
Tanpa komputer dan rumus matematika, toh, ribuan tahun Sebelum
Masehi, orang Babilonia sudah mampu meramalkan, bila dan di mana
akan terjadi gerhana matahari atau gerhana bulan. Pengamatan
pergerakan bintang, bulan, dan matahari selama berabad-abad,
mengajarkan mereka akan adanya suatu pola keberaturan dalam alam
semesta.
Salah satu penemuan orang Babilonia itu ialah bahwa serangkaian
jenis gerhana matahari -- total, sebagian atau cincin -- dan
gerhana bulan, cenderung berulang setelah 18 tahun (surya) 11
1/3 hari (atau 10« hari jika terdapat lima tahun kabisat). Daur
ini dinamakan saros, kata yang berasal dari bahasa Babilonia,
sharu.
Gerhana matahari atau bulan tentu erat kaitannya dengan
peredaran bumi, bulan, dan matahari yang sangat beraturan.
Karena itu suatu gerhana bisa diramalkan dengan cukup seksama,
tanpa melibatkan rumusan matermatlka yang rumit.
Tapi hanya setelah Copernicus "mengubah" alam semesta, Kepler
"mengubah" garis edar planet dari bulatan menjadi elips, dan
Newton mengembangkan teori gaya berat serta menerapkan kalkulus
variasi yang dilahirkan Leibniz pada garis edar benda langlt,
para ilmuwan mampu memperhitungkan dengan seksama posisi benda
langit itu pada setiap saat. Itu sebabnya pada 1880 Thomas
Oppolzer, astronom Austria, sempat menyusun sebuah katalog
gerhana, yang mendaftar 8.000 gerhana matahari dan 5.200 gerhana
bulan antara 1207 SM hingga 2162 M. Khusus mengenai gerhana
matahari, Oppolzer menjelaskan sifatnya, aerah yang terkena di
bumi, serta lamanya berlangsung. Termasuk di sini gerhana
matahari total 11 Juni 1983 di Indonesia.
Toh kelengkapan Oppolzer itu masa kini diperinci lagi.
Berdasarkan perjanjian dengan IAU (International Astronomical
Union) menjadi tradisi setiap menjelang suatu gerhana, para
astronom dari Observatorium Naval di AS, memperhitungkan lebih
teliti lagi tentang daerah yang terkena bayangan gerhana serta
waktu terjadinya pada setiap tempat. Ketelitian ini tercapai
karena memanfaatkan fungsi-fungsi Bessel, perangkat matematika
yang diciptakan F.W. Bessel, astronom dan matematikus Jerman,
1924.
Fungsi-fungsi Bessel ini memungkinkan para astronom
menanggulangi berbagai variasi akibat pengaruh-mempengaruhi
antara matahari, bulan, dan bumi. "Yang paling banyak variasinya
ialah peredaran bulan," ujar Dra. Karlina Suppeli, astronom
wanita yang kini menjabat sebagai kepala Seksi Observasi
Planetarium Jakarta. Variasi ini disebabkan karena bulan
dipengaruhi oleh gaya tarik bumi maupun matahari. "Tambahan lagi
sumbu bulan berotasi seperti gasing," tambah wanita muda itu.
Menurut Karlina, ada tiga unsur utama yang harus diperhitungkan.
Yaitu kurun waktu peredaran bulan hingga kembali pada fase
semula, bulan sinodis atau 29,9 hari. Kemudian kurun waktu 27,2
hari, yang disebut bulan nodis atau juga bulan drakonis yaitu
saat bulan kembali melampaui titik simpul yang sama dengan
bidang ekliptika. Unsur ketiga ialah bulan anomalistik, yang
disebabkan jarak antara bulan dan bumi, berubah-ubah, ditambah
dengan gerakan sumbu bulan seperti gasing. Kurun waktu ini
berlangsung selama 27,5 hari.
"Nah, kelipatan persekutuan terkecil ketiga kurun waktu tadi
ialah 18 tahun 11 1/3 hari," ujar Karlina. Unsur lain yang harus
diperhitungkan ialah posisi bumi ralatif terhadap matahari.
Karena garis edar bumi sekitar matahari juga merupakan elips,
ada kalanya ia dekat dan ada kalanya la Jauh. Inl terutama
menentukan terjadinya gerhana total, cincin atau sebagian.
"Pendeknya, perhitungannya cukup rumit dan melibatkan
fungsi-fungsi Bessel itu," ucap Karlina, yang memang yang gemari
segi teoretis ilmu astronomi itu.
Meski tak memanfaatkan fungsi-fungsi Bessel, K.H. Zainal Abidin,
dekan Fakultas Syari'ah Unisba (Universitas Islam Bandung),
mengakui perhitungan ramalam gerhana cukup sulit. Dasar
perhitungan yang dipakai Kiai berusia 75 tahun itu, agaknya
bersumber pada daur saros. "Setiap 18 tahun 11 hari, terjadi
gerhana yang sama, tapi tempatnya belum tentu sama," ucapnya.
Dalam waktu 6584,223 hari itu, menurut Pak Kiai itu, terjadi 70
kali gerhana. Yaitu 29 kali gerhana bulan dan 41 kali gerhana
matahari.
Menurut ulama yang panggilan akrabnya Pak Iping. itu, gerhana
matahari hanya mungkin terjadi pada akhir bulan komariyah, atau
saat bulan dalam konjungsi. Tapi tidak berarti setiap akhir
bulan komariyah terjadi gerhana matahari. Itu hanya terjadi bila
deklinasi bulan berada pada burudj hamal (rasi bintang Aries)
atau burudj mizan (Libra) dari tanggal 1 sampai dengan 6. Juga
pada burudj huzt (Pisces) atau burudj sumbulah (Virgo), dari
tanggal 24 sampai 30 akhir.
Bagaimana cara menggunakannya untuk menghitung bulan baru atau
gerhana? "Hanya dengan perkalian, penjumlahan dan pengurangan
biasa," ucap H. Achmadi Muhammad, pimpinan Pesantren
Al-Mansyuriyah di Jembatan Lima, Jakarta yang tersohor sebagai
ahli ilmu hisab. Ia pewaris ilmu falak yang termaktub dalam
Kitab Sulaman Naraya. Kitab ini diwariskan turun-temurun dari H.
Mansyur Muhammad, yang menyesuaikan isi buku itu dengan garis
lintang Jakarta. Kitab aslinya pernah dibawa ayahnya, Imam Abdul
Hamid, dari Mekah di abad ke-l9.
Kitab itu agaknya menjelaskan tiga risalah. Risalah ijtimad atau
konjungsi, risalah tentang gerhana bulan dan risalah tentang
gerhana matahari. Kitab ini juga dipergunakan Departemen Agama
untuk menentukan awal bulan komariyah. "Sistem itu senantiasa
dipergunakan sebagai salah satu cara untuk menentukan awal bulan
Ramadhan," ucap Drs. Wahyu Widiana dari Subdit Pertimbangan
Hukum, Hisab, Agama, dan Rukyat, Departemen Agama.
Juga K.H. Zubair, pensiunan rektor IAIN Walisongo di Semarang,
dua tahun lalu pernah menghitung gerhana matahari 11 Juni ini.
Perhitungan orang tua usia 75 tahun ini yang kini memimpin
Pondok Joko Tingkir di Tengaran, Semarang, meramalkan secara
tepat tanggal dan jamnya. Hanya Zubair tak mendetil tentang
lokasi terjadinya. Ia hanya menyebutkan daerah Semarang,
Yogyakarta, dan Bali, yang tentunya tak terlalu jauh meleset.
Sementara gerhana matahari total yang pernah terjadi dalam abad
ini di Indonesia, tercatat 3 kali dalam daftar yang
diperlihatkan Dra. Karlina. Pertama di tahun 1901, 18 Mei (lihat
Selingan): melintasi Sumatera (Padang), Kalimantan, dan Irian,
kemudian 8 Mei 1929, juga melintasi Sumatera, Semenanjung
Malaya, dan Kalimantan. Yang terakhir terjadi 5 Februari 1962,
melintasi Kalimantan, Sulawesi, Irian, dan Polinesia.
Setelah gerhana matahari 11 Juni ini, Indonesia masih ketamuan
bayangan bulan akibat gerhana total pada 18 Maret 1988, yang
akan melintasi sebagian Pulau Sumatera, Kalimantan, dan kemudian
Filipina. Tapi di Pulau Jawa? Sayang tak terbaca daftar Oppolzer
-- tapi mungkin ia catat peristiwa itu di akhir abad ke-24.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini