IA tidak setuju dengan berbagai larangan yang didasarkan
informasi yang keliru. "Soalnya pada saat gerhana matahari, tak
terjadi radiasi tambahan seperti banyak diduga orang," katanya
tegas. Melihat gerhana itu sama bahayanya dengan melihat
matahari pada keadaan biasa. "Itu memang berbahaya jika dilihat
langsung," ujarnya. "Karena intensitas cahayanya yang besar.'
Prof. Dr. Bambang Hidayat, direktur Observatorium Bosscha di
Lembang dan tokoh astronomi Indonesia, masih tampak sedikit
jengkel menghadapi berbagai anggapan keliru sekltar eristlwa
alam yang lazim itu. "Ini terjadi cukup sering," ujarnya pekan
lalu. "Sekitar 3 kali setiap tahun untuk gerhana matahari
sebagian dan 18 bulan sekali untuk gerhana matahari total."
Ia menunjuk pada berita tentang 3.000-an orang India menjadi
buta karena melihat gerhana matahari dua tahun lalu. "Saya minta
bukti, tapi ternyata sampai sekarang tak dapat diberikan." Ia
yakin masyarakat dapat diberi pengertian tentang bahaya melihat
GMT secara langsung dan bagaimana dapat dilihat dengan aman.
Juga ketika terjadi GMT beberapa kali sebelumnya di Indonesia.
"Dari semua kejadian itu tak ada catatan adanya peristiwa
kebutaan karena gerhana," ucap Bambang. Ia bukan tak menyadari
maksud baik dari larangan pemerintah itu, "tapi sebaiknya tidak
dilakukan dengan membohongi masyarakat."
Bambang Hidayat, selain menjabat sebagai wakil ketua Panitia
Nasional Gerhana Matahari 1983, juga ditunjuk oleh pertemuan IAU
International Astronomical Union) sebagai Koordinator Nasional
bagi penelitian ilmiah GM 1983 di Indonesia. Akhir bulan lalu
ia giat dalam penyelenggaraan Sekolah Internasional bagi
astronom muda, serta Kolokia Internasional dalam rangka
peringatan HUT ke-60 Observatorium Bosscha.
Rencananya mengahadapi GMT pekan ini ialah dengan berusaha
meneliti korona. Dengan mempelajari kepadatan korona itu serta
merekamnya, para astronom Indonesia akan mencari korelasi antara
kepadatan korona dan bintik matahari. "Untuk penelitian itu,
kami memiliki microdensity meter," ujar Bambang menjelaskan
peralatannya.
Tapi para astronom yang ada di Lembang, di Departemen Astronomi
ITB, juga ingin memotret korona, untuk mengetahui contour korona
itu. Ini bisa diukur untuk mengetahui pula jangkauan korona
matahari yang diketahui selalu berubah. Bambang mengutip Prof.
Jay Passachoff yang mengatakan bahwa walau tekniknya lama
(pemotretan atau pengamatan), tapi mataharinya tidak pernah
sama.
Penelitian terhadap matahari memang sudah berlangsung lama. Tapi
masih di awal abad ke-19 para astronom menganggap korona itu
bagian dari bulan atau atmosfir bulan yang menjadi terang karena
cahaya matahari di baliknya. Penelitian ilmiah sekitar tahun
1860-an baru bisa membuktikan bahwa korona itu sebetulnya
bagian dari matahari.
Baru sekitar Perang Dunia ke-2 para ilmuwan mulai menyadari
bahwa korona itu suhunya ribuan kali lebih panas dari permukaan
matahari sendiri. Sampai saat ini belum ada satu pun teori yang
tuntas menerangkan mekanisme gerak energi di matahari. Itu
sebabnya sekian banyak tim peneliti mencari jawab melalui
berbagai eksperimen pada GMT 1983 ini.
Kesempatan terjadinya GMT bulan ini di Indonesia, menurut
Bambang, memang suatu kesempatan baik sekali bagi mereka yang
ingin mengembangkan ilmu-ilmu interdisipliner. Misalnya
geofisika, angkasa bumi, biologi, dan lainnya. Hanya, sayangnya,
banyak penelitian seperti itu menunggu sampai saat terakhir.
"Padahal untuk mempelajari irama kehidupan, misalnya, diperlukan
kurun waktu yang lebih lama," ujar Bambang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini