Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Mencari ilmu ke matahari

Persiapan-persiapan para ahli menjelang gerhana matahari total. desa tanjung kodok merupakan pusat pengamatan berbagai larangan menyaksikan gerhana dan penyuluhan yang diberikan pada masyarakat. (ilt)

11 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEMAM gerhana matahari kian memuncak menjelang Sabtu pekan ini. Puluhan lokasi pengamatan dipersiapkan. Sementara mereka yang terutama berkepentingan dengan peristiwa alam yang langka itu, berangsur-angsur tiba. Mereka-itu para ilmuwan, terutama para astronom, berasal dari negeri-negeri teknologi dan ilmu maju. Salah satu pusat utama pengamatan gerhana matahari ini ialah Desa Tanjung Kodok, wilayah pantai di Kabupaten Lamongan, 71 km dari Surabaya. Sekitar 7 buah batu, menyerupai bentuk kodok, seperti menghadapkan moncongnya ke laut. Di bawahnya, air iaut tampak bening dikelilingi pohon kelapa dan pohon siwalan yang tumbuh di pantainya. "Betapa indah tempat ini," gumam salah seorang anggota tim dari Amerika Serikat, yang beberapa waktu berselang mendarat di tempat terpencil ini. Betapapun terpencil, dan lebih cepat dicapai melalui Tuban ketimbang ibu kota Kabupaten Lamongan, agaknya Tanjung Kodok mi punya keistimewaan bagi para pengamat gerhana. "Dari tiga lokasi, akhirnya kami pilih tempat ini," ujar Dr. Morris Aizeman, koordinator tim AS dari NSF (National Science Foundation). Sudah tentu pilihan jatuh bukan karena cantiknya alam. Tanjung Kodok langsung berada di bawah garis tengah lintasan bayangan gerhana nanti. Tapi juga, di saat terjadi gerhana sekitar pukul 11.00 WIB, matahari berada di posisi tertinggi -- sesuatu yang menguntungkan pengamatan, karena menembus lapisan atmosfir bumi yang tertipis. Kemungkinan langit tertutup awan juga lebih kecil di pantai utara Jawa itu. Yang terakhir sangat penting tentunya bagi para pengamat. "Satu-satunya yang paling ditakuti ialah langit berawan di saat gerhana berlangsung," ujar Aizeman. Menurut perkiraan meteorologi, dibanding daerah lebih ke selatan, curah hujan di pantai utara relatif rendah. Di samping itu angin darat yang mungkin membawa awan, akan terhembus ke atas oleh angin yang bertiup dari arah laut. Kini tim dari AS, 30 orang ilmuwan, sudah berkumpul di Tanjung Kodok. Peralatan dan instrumen yang mereka bawa, mencapai berat 6 ton, berangsur-angsur mulai dipasang di lokasi. Tim ini terdiri dari ilmuwan berbagai disiplin ilmu, yang disponsori NSF. Di AS sendiri persiapan membentuk tim ini sudah berlangsung sejak tahun 1981. Beberapa eksperimen penting akan dilakukan. Salah satu ialah mengukur garis tengah matahari -- sesuatu yang terutama bisa dilakukan selama berlangsung gerhana matahari. Eksperimen lain meliputi penelitian terhadap debu matahari yang berkisar di bidang eklipsika dan hanya terrihat di saat gerhana berlangsung. "Ini untuk mengetahui sifat dan edarannya," ujar Aizeman. Tentu saja eksperimen terpenting ialah pengamatan terhadap korona sendiri. Bagaimana caranya energi dari permukaan matahari berpindah ke korona yang ternyata ribuan kali lebih panas. Di samping itu, beberapa eksperimen mengamati sifat gelombang tekanan halus, yang timbul bila tiba-tiba bayangan bulan menggelapkan atmosfir bumi. Ini dilakukan tim AS itu dengan menaikkan sejumlah balon, dilengkapi berbagai instrumen pengukuran yang amat peka. Juga akan diukur dampak terhadap permukaan bumi, yang tiba-tiba tidak mendapat masukan energi dari matahari. "Seluruhnya akan dilakukan sekitar delapan eksperimen," ujar Aizeman. Di Tanjung Kodok juga hadir tim dari India. Terdiri dari tujuh orang ilmuwan dan teknisi, mereka dilengkapi peralatan yang jauh lebih sederhana daripada tim AS. Mereka menempati lokasi seluas 21 m2 berdekatan areal tim AS yang 400 m2 luasnya. Pagar sekelilingnya mengamankan berbagai peralatan yang tampak sudah terpasang. Sementara tim kecil, empat orang amatir dari Jerman Barat, menempati sebuah kemah yang mereka dirikan. Di dalamnya terdapat sebuah teropong mini. "Kami amatir," ujar Margot Soh, gadis remaja pimpinan tim kecil yang menamakan diri Volkstern Warte am Hamburg. "Kami tidak dibiayai pemerintah seperti itu," tambah Margot, seraya menunjuk ke arah lokasi tim AS yang raksasa itu. Di AS, NSF memang merupakan lembaga pemerintah utama yang mendukung penelitian ilmiah murni di bidang biologi, fisika, astronomi, matematika, kimia, dan menyediakan dana untuk melakukan penelitian ini. "Membiayai ekspedisi ini, misalnya, memerlukan dana sekitar US$ 200 ribu (Rp 200 juta)." ujar Aizeman menjelaskan. Belum direken nilai berbagai peralatan dan instrumen yang piawai. Tapi tak semua ilmuwan dari AS dibiayai pemerintahnya. Banyak yang datang dengan biaya sendiri atau disponsori universitas mereka. Misalnya, Dr. George Dale, biolog yang berspesialisasi pada kehidupan jenis ikan karang. Ilmuwan dari Universitas Fordham di New York itu ingin meneliti perilaku ikan yang hidup di karang selama terjadinya gerhana matahari. "Sudah sepuluh tahun saya menunggu kesempatan ini untuk bisa menyelidiki perilaku ikan dalam perubahan sinar yang begitu cepat," cerita George Dale. Penelitiannya itu dilakukannya di Pulau Panjang, sebelah utara Jepara, dan sudah dimulainya lima hari sebelum terjadi GMT. Ini untuk mendapat bandingan dengan perilaku selama gerhana itu berlangsung. Sementara di Desa Cepogo, Kabupaten Boyolali, Ja-Teng, tim dari Inggris memilih lokasi yang disarankan oleh LIPI. Tim terdiri dari empat orang disponsori Royal Society di Inggris. "Semacam LIPI," ujar Prof. Poirier. Mereka ingin meneliti komposisi kimiawi dari debu matahari yang beredar di bidang eluator matahari, yaitu untuk membuktikan suatu teori yang disusun Linda Grimshaw, salah satu anggota tim itu. Tim ilmuwan lain, yang sebagian besar dibiayai dana pemerintah, datang dari Prancis. Tujuh astronom, dibawah pimpinan Dr. S. Koutchmy dan Dr. G. Stellmacher dari Institut Astrofisika dari Pusat Penelitian Ilmiah Nasional (CNRS), tiba di Indonesia untuk memanfaatkan GMT 11 Juni itu. Bersama mereka, ada sekitar 20 astronom amatir yang tergabung dalam Himpunan Astronom Prancis (SAF), yang membantu para astronom itu melakukan berbagai eksperimen mereka. Mereka akan menempati dua lokasi. Satu di sekitar Yogyakarta dan satu lagi di Cepu. Dipilihnya dua tempat ini, untuk menjamin salah satu berhasil, jika satu tempat ternyata tertutup awan. "Semua eksperimen direncanakan secermat mungkin, seperti menyiapkannya untuk penerbangan ke luar angkasa," ujar Dr. Koutchmy kepada TEMPO pekan lalu. "Tak boleh gagal," tambahnya. Pada pokoknya tim Prancis ini melanjutkan berbagai eksperimen terdahulu. "Kami mengubah beberapa parameter, memperbesar ukuran dan memperhalus beberapa instrumen," cerita Koutchmy. Ia bersama timnya pada 1973, ketika terjadi gerhana matahari di atas Afrika, memanfaatkan pesawat jet Concorde untuk pengamatan. Selama 72 menit pesawat itu bisa mengikuti bayangan gerhana yang bergerak dengan kecepatan 1.600 km per jam. Eksperimen utama yang dilakukan tim Prancis ini ialah pemotretan korona matahari, menggunakan filter khusus berdiameter 15 cm. Filter ini dilapisi demikian rupa hingga bisa mengkompensasikan perbedaan tingkat kecemerlangan korona itu. Di tengahnya filter itu berlubang, memungkinkan sekaligus memotret permukaan bulan yang gelap, tapi masih memantulkan sedikit cahaya mata dari yang dipantulkan bumi. "Ini penting untuk penelitian klimatologi," ujar Koutchmy menjelaskan. Jepang juga mengirim tim ilmuwannya sebanyak 21 orang. Tim ini dipimpin Prof. Dr. Enjiro Hiei dari Observatorium Astronomi di Tokyo. Sebetulnya, rombongan ilmuwan Jepang ini terbagi 6 tim, yang masing-masing menempati lokasi yang berbeda. Uniknya, lima dari enam tim itu menggalang kerja sama dalam berbagai penelitlan dengan para ahli dari Lapan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional), khususnya dengan tenaga dari Pusat Riset Dirgantara Lapan di Bandung. Tim Dr. Hici bcrlohasi di Cepu. Dan eksperimen utamanya ialah pemotretan korona, untuk mengetahui struktur halusnya. Seperti tim AS dan tim Prancis, mereka juga mempelajari mekanisme pemanasan energi korona. Khusus untuk tujuan pemotretan itu, Dr. Hiei membawa kamera raksasa bikinan Nikon, yang mampu membuat foto berukuran 30 x 40 cm. Citra matahari yang bergerhana itu akan tertulis dengan garis tengah 11 cm. Eksperimen ini tentunya sangat berharga bagi Ir. Wilson Sinambela, kepala Stasiun Pengamatan Matahari di Tanjungsari, Sumedang. Ia bersama Drs. Manurung mewakili Lapan dan kerja sama dengan Jepang itu. Pengamatan sudah dimulai dua minggu sebelum GMT. "Ini untuk mengetahui daerah keaktifan matahari," ujar Sinambela. Mendampingi peralatan milik Jepang di Bukit Mentul, kompleks Akamigas, Cepu, terpasang 2 teleskop celestron milik Lapan. Di tempat yang sama sebuah tim Jepang lain mempersiapkan eksperimen pengukuran geomagnetis pada saat terjadi GMT. Eksperimen ini unik. Karena serentak dikoordinasikan dengan stasiun perekaman di 4 stasiun pengamatan lain. Masing-masing di Onagawa (Jepang), Chun-Li (Taiwan), Townsville (Australia Utara) dan Beveridge (Australia Selatan). Ke-5 tempat ini hampir terletak pada satu garis sepanjang 8.000 km dan akan merupakan rekaman grafis geomagnetis yang berharga. Di lokasi lain, yaitu Watukosek di Mojokerto, tim Jepang bekerja sama dengan tenaga Lapan akan meluncurkan balon stratosfer raksasa dari Stasiun Peluncuran Balon Stratosfir milik Lapan. Balon ini akan membawa teleskop dengan kamera yang akan merekam GMT secara otomatis. Penelitian ini erat hubungannya dengan masalah klimatologi dan meteorologi. Peralatan akan diterjunkan dengan payung. Sedang balon sebesar 15.000 m3 dan panjang 100 m itu dimusnahkan. Di Mojokerto, tim Jepang dari ILOM (International Latitude Observatory Mizusawa), di pimpin Dr. Sato. Ilmuwan itu yang masih saja merasa dongkol, karena kehilangan delapan buah peralatannya yang penting di Pelabuhan Tanjungperak. Di antaranya satu set kamera kontrol dan sebuah cermin untuk teleskop 20 cm. "Saya sudah urus ke Bea Cukai dan Ekspedisi Samudera Indonesia," ujar Sato kesal. "Semuanya buntu." Tapi itu semua baru cerita tentang kegiatan bangsa asing. Sementara pihak Indonesia selain Lapan, banyak yang sudah mempersiapkan diri, atau sudah mulai melakukan berbagai penelitian. Seperti dikemukakan Drs. Soedito, sekretaris Panitia Nasional GM 1983, yang sudah terprogram ialah BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika) IKIP Surabaya, Lapan, IKIP Yogyakarta, Biotrop, berbagai kelompok dari UGM, Fisika UI, dan Planetarium Jakarta. "LIPI sendiri tak melakukan penelitian," ujar Soedito, kepala Biro Humas LIPI. "Tenaga-LIPI hanya membantu penelitian yang dilakukan ahli Indonesia." Soedito menyebutkan contoh LEN (Lembaga Elektronika Nasional) yang membantu penyelidikan pengaruh gerhana terhadap telekomunikasi yang dilakukan di Tuban. Di antara sekian banyak lembaga dan institut pengajaran, sudah lumrah jika UGM di Yogyakarta mengambil bagian besar. Total usulan penelitian yang hendak dilakukan berjumlah 47 buah dengan biaya sekitar Rp 11 juta. Ada di antaranya yang ingin mengukur tinggi manusia tatkala gerhana matahari itu berlangsung atau pengaruh GMT terhadap kekuatan peras tangan. Tak ketinggalan Pusat Penelitian Penerapan Tenaga Matahari UGM pimpinan Dr. Seno astroamidjojo. Kelompok terakhir ini sudah tentu pula memanfaatkan berbagai peralatan yang dibuat sendiri dari barang bekas. "Modal kami hanya dengkul," komentar Dr. Seno dengan khasnya. Alat itu berupa pemotret spektrum. Bentuknya mirip gerobak pedati dilengkapi dengan teleskop, yang menurut Seno, dari "zaman baheula". Alat ini digunakan untuk memotret spektrum dari bagian kromosfir dan fotosfir -- keduanya lapisan terluar matahari. Melalui percobaan itu ingin diketahui reaksi dari atom, ion, dan elektron yang ada di lapisan itu. "Kalau tidak gerhana, tidak bisa dilihat," ujar Seno. Sebetulnya Seno merencanakan banyak lagi eksperimen. Karena peristiwa GMT ini dianggapnya sangat penting bagi penelitian ilmiah. Tapi proposal yang diajukannya setahun lalu, nyatanya ditolak UGM, termasuk anggaran yang ia usulkan sebesar Rp 10 juta. "Baru kemarin secara lisan diberitahukan disetujui Rp 800.000," katanya. "Itu pun uangnya belum saya terima." Satu keinginan Seno ialah mengulang eksperimen yang membuktikan teori relativitas Einstein -- yang antara lain mendalihkan bahwa berkas cahaya akan membelot oleh daya gravitasi massa besar seperti bintang. Eksperimen ini pertama kali dilakukan oleh Eddinton, ahli fisika Inggris, ketika mengamati gerhana matahari di Pulau Principle di Samudra Atlantik pada 1919. Einstein terbukti benar dan eksperimen itu merupakan suatu puncak penelitian yang unik. Namun kini tak ada ilmuwan yang melakukannya lagi. "Soalnya kini ada cara yang lebih teliti dengan menggunakan gelombang radio," ujar Morris Aizeman dari NSF menjelaskan. "Kalau toh ada orang yang ingin mengulang eksperimen itu, tentu boleh saja," tambahnya, "tapi tak ada lagi nilai ilmiahnya." Seksi Geofisika dari MIPA-UGM menyiapkan penelitian tentang geomagnetisme dan pengukuran intensitas sinar infra-merah matahari. Sementara Panitia Penelitian UGM, yang diketuai Sugeng Martopo, kepala PPSL-UGM, meneliti tentang persepsi dan perilaku masyarakat di pedesaan, soal meteorologi dan pengamatan terhadap pasang surut air laut. Masih ada lagi. Fakultas Biologi UGM merencanakan penelitian pengaruh GMT terhadap tingkah laku binatang. Juga terhadap gerak tumbuhan dan bio lingkungan. Dan rencana penelitian kelompok Biologi dari ITB maupun UI tak berbeda. Obyek penelitian ialah tubuh manusia dan berbagai perilaku satwa dan tetumbuhan. Apa manfaat dari kegiatan penelitian semua ini sebenarnya? Bagi para ilmuwan jelas. Tapi Prof. Jay Pasachoff juga melihat orang awam pun bisa terlibat. "Gerhana matahari itu merupakan peristiwa yang paling indah dan mengagumkan yang mungkin terjadi di bumi ini," ujarnya penuh semangat. Dan mereka akan menyadari kehebatan peristiwa alam itu, tentu ingin memahaminya. Ilmu pengetahuan dimulai dari keinginan mengerti itu -- yang terutama kuat di kalangan remaja. "Maka sangat penting jika banyak remaja menyaksikan peristiwa itu," kata Pasachoff. Jika sebaliknya, kepada kaum muda itu diajarkan bahwa gerhana itu berbahaya, atau berpengaruh buruk, atau memancarkan sesuatu yang jelek -- generasai muda bisa hilang perhatian pada ilmu, karena takut. "Banyak calon tenaga cerdas menjadi tidak tersedia karenanya," ujar Pasachoff. Takut jadi buta, dengan kata lain, perlu diatasi dengan cara ilmiah, bukan dengan sembunyi di kolong.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus