DEMAM gerhana matahari kian memuncak menjelang Sabtu pekan ini.
Puluhan lokasi pengamatan dipersiapkan. Sementara mereka yang
terutama berkepentingan dengan peristiwa alam yang langka itu,
berangsur-angsur tiba. Mereka-itu para ilmuwan, terutama para
astronom, berasal dari negeri-negeri teknologi dan ilmu maju.
Salah satu pusat utama pengamatan gerhana matahari ini ialah
Desa Tanjung Kodok, wilayah pantai di Kabupaten Lamongan, 71 km
dari Surabaya. Sekitar 7 buah batu, menyerupai bentuk kodok,
seperti menghadapkan moncongnya ke laut. Di bawahnya, air iaut
tampak bening dikelilingi pohon kelapa dan pohon siwalan yang
tumbuh di pantainya. "Betapa indah tempat ini," gumam salah
seorang anggota tim dari Amerika Serikat, yang beberapa waktu
berselang mendarat di tempat terpencil ini.
Betapapun terpencil, dan lebih cepat dicapai melalui Tuban
ketimbang ibu kota Kabupaten Lamongan, agaknya Tanjung Kodok mi
punya keistimewaan bagi para pengamat gerhana. "Dari tiga
lokasi, akhirnya kami pilih tempat ini," ujar Dr. Morris
Aizeman, koordinator tim AS dari NSF (National Science
Foundation).
Sudah tentu pilihan jatuh bukan karena cantiknya alam. Tanjung
Kodok langsung berada di bawah garis tengah lintasan bayangan
gerhana nanti. Tapi juga, di saat terjadi gerhana sekitar pukul
11.00 WIB, matahari berada di posisi tertinggi -- sesuatu yang
menguntungkan pengamatan, karena menembus lapisan atmosfir bumi
yang tertipis. Kemungkinan langit tertutup awan juga lebih kecil
di pantai utara Jawa itu.
Yang terakhir sangat penting tentunya bagi para pengamat.
"Satu-satunya yang paling ditakuti ialah langit berawan di saat
gerhana berlangsung," ujar Aizeman. Menurut perkiraan
meteorologi, dibanding daerah lebih ke selatan, curah hujan di
pantai utara relatif rendah. Di samping itu angin darat yang
mungkin membawa awan, akan terhembus ke atas oleh angin yang
bertiup dari arah laut.
Kini tim dari AS, 30 orang ilmuwan, sudah berkumpul di Tanjung
Kodok. Peralatan dan instrumen yang mereka bawa, mencapai berat
6 ton, berangsur-angsur mulai dipasang di lokasi. Tim ini
terdiri dari ilmuwan berbagai disiplin ilmu, yang disponsori
NSF. Di AS sendiri persiapan membentuk tim ini sudah berlangsung
sejak tahun 1981.
Beberapa eksperimen penting akan dilakukan. Salah satu ialah
mengukur garis tengah matahari -- sesuatu yang terutama bisa
dilakukan selama berlangsung gerhana matahari.
Eksperimen lain meliputi penelitian terhadap debu matahari yang
berkisar di bidang eklipsika dan hanya terrihat di saat gerhana
berlangsung. "Ini untuk mengetahui sifat dan edarannya," ujar
Aizeman. Tentu saja eksperimen terpenting ialah pengamatan
terhadap korona sendiri. Bagaimana caranya energi dari permukaan
matahari berpindah ke korona yang ternyata ribuan kali lebih
panas.
Di samping itu, beberapa eksperimen mengamati sifat gelombang
tekanan halus, yang timbul bila tiba-tiba bayangan bulan
menggelapkan atmosfir bumi. Ini dilakukan tim AS itu dengan
menaikkan sejumlah balon, dilengkapi berbagai instrumen
pengukuran yang amat peka. Juga akan diukur dampak terhadap
permukaan bumi, yang tiba-tiba tidak mendapat masukan energi
dari matahari. "Seluruhnya akan dilakukan sekitar delapan
eksperimen," ujar Aizeman.
Di Tanjung Kodok juga hadir tim dari India. Terdiri dari tujuh
orang ilmuwan dan teknisi, mereka dilengkapi peralatan yang jauh
lebih sederhana daripada tim AS. Mereka menempati lokasi seluas
21 m2 berdekatan areal tim AS yang 400 m2 luasnya. Pagar
sekelilingnya mengamankan berbagai peralatan yang tampak sudah
terpasang.
Sementara tim kecil, empat orang amatir dari Jerman Barat,
menempati sebuah kemah yang mereka dirikan. Di dalamnya terdapat
sebuah teropong mini. "Kami amatir," ujar Margot Soh, gadis
remaja pimpinan tim kecil yang menamakan diri Volkstern Warte am
Hamburg. "Kami tidak dibiayai pemerintah seperti itu," tambah
Margot, seraya menunjuk ke arah lokasi tim AS yang raksasa itu.
Di AS, NSF memang merupakan lembaga pemerintah utama yang
mendukung penelitian ilmiah murni di bidang biologi, fisika,
astronomi, matematika, kimia, dan menyediakan dana untuk
melakukan penelitian ini. "Membiayai ekspedisi ini, misalnya,
memerlukan dana sekitar US$ 200 ribu (Rp 200 juta)." ujar
Aizeman menjelaskan. Belum direken nilai berbagai peralatan dan
instrumen yang piawai.
Tapi tak semua ilmuwan dari AS dibiayai pemerintahnya. Banyak
yang datang dengan biaya sendiri atau disponsori universitas
mereka. Misalnya, Dr. George Dale, biolog yang berspesialisasi
pada kehidupan jenis ikan karang. Ilmuwan dari Universitas
Fordham di New York itu ingin meneliti perilaku ikan yang hidup
di karang selama terjadinya gerhana matahari. "Sudah sepuluh
tahun saya menunggu kesempatan ini untuk bisa menyelidiki
perilaku ikan dalam perubahan sinar yang begitu cepat," cerita
George Dale. Penelitiannya itu dilakukannya di Pulau Panjang,
sebelah utara Jepara, dan sudah dimulainya lima hari sebelum
terjadi GMT. Ini untuk mendapat bandingan dengan perilaku selama
gerhana itu berlangsung.
Sementara di Desa Cepogo, Kabupaten Boyolali, Ja-Teng, tim dari
Inggris memilih lokasi yang disarankan oleh LIPI. Tim terdiri
dari empat orang disponsori Royal Society di Inggris. "Semacam
LIPI," ujar Prof. Poirier. Mereka ingin meneliti komposisi
kimiawi dari debu matahari yang beredar di bidang eluator
matahari, yaitu untuk membuktikan suatu teori yang disusun Linda
Grimshaw, salah satu anggota tim itu.
Tim ilmuwan lain, yang sebagian besar dibiayai dana pemerintah,
datang dari Prancis. Tujuh astronom, dibawah pimpinan Dr. S.
Koutchmy dan Dr. G. Stellmacher dari Institut Astrofisika dari
Pusat Penelitian Ilmiah Nasional (CNRS), tiba di Indonesia untuk
memanfaatkan GMT 11 Juni itu. Bersama mereka, ada sekitar 20
astronom amatir yang tergabung dalam Himpunan Astronom Prancis
(SAF), yang membantu para astronom itu melakukan berbagai
eksperimen mereka.
Mereka akan menempati dua lokasi. Satu di sekitar Yogyakarta dan
satu lagi di Cepu. Dipilihnya dua tempat ini, untuk menjamin
salah satu berhasil, jika satu tempat ternyata tertutup awan.
"Semua eksperimen direncanakan secermat mungkin, seperti
menyiapkannya untuk penerbangan ke luar angkasa," ujar Dr.
Koutchmy kepada TEMPO pekan lalu. "Tak boleh gagal," tambahnya.
Pada pokoknya tim Prancis ini melanjutkan berbagai eksperimen
terdahulu. "Kami mengubah beberapa parameter, memperbesar ukuran
dan memperhalus beberapa instrumen," cerita Koutchmy. Ia bersama
timnya pada 1973, ketika terjadi gerhana matahari di atas
Afrika, memanfaatkan pesawat jet Concorde untuk pengamatan.
Selama 72 menit pesawat itu bisa mengikuti bayangan gerhana yang
bergerak dengan kecepatan 1.600 km per jam.
Eksperimen utama yang dilakukan tim Prancis ini ialah pemotretan
korona matahari, menggunakan filter khusus berdiameter 15 cm.
Filter ini dilapisi demikian rupa hingga bisa mengkompensasikan
perbedaan tingkat kecemerlangan korona itu. Di tengahnya filter
itu berlubang, memungkinkan sekaligus memotret permukaan bulan
yang gelap, tapi masih memantulkan sedikit cahaya mata dari
yang dipantulkan bumi. "Ini penting untuk penelitian
klimatologi," ujar Koutchmy menjelaskan.
Jepang juga mengirim tim ilmuwannya sebanyak 21 orang. Tim ini
dipimpin Prof. Dr. Enjiro Hiei dari Observatorium Astronomi di
Tokyo. Sebetulnya, rombongan ilmuwan Jepang ini terbagi 6 tim,
yang masing-masing menempati lokasi yang berbeda. Uniknya, lima
dari enam tim itu menggalang kerja sama dalam berbagai
penelitlan dengan para ahli dari Lapan (Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional), khususnya dengan tenaga dari Pusat Riset
Dirgantara Lapan di Bandung.
Tim Dr. Hici bcrlohasi di Cepu. Dan eksperimen utamanya ialah
pemotretan korona, untuk mengetahui struktur halusnya. Seperti
tim AS dan tim Prancis, mereka juga mempelajari mekanisme
pemanasan energi korona. Khusus untuk tujuan pemotretan itu, Dr.
Hiei membawa kamera raksasa bikinan Nikon, yang mampu membuat
foto berukuran 30 x 40 cm. Citra matahari yang bergerhana itu
akan tertulis dengan garis tengah 11 cm.
Eksperimen ini tentunya sangat berharga bagi Ir. Wilson
Sinambela, kepala Stasiun Pengamatan Matahari di Tanjungsari,
Sumedang. Ia bersama Drs. Manurung mewakili Lapan dan kerja sama
dengan Jepang itu. Pengamatan sudah dimulai dua minggu sebelum
GMT. "Ini untuk mengetahui daerah keaktifan matahari," ujar
Sinambela.
Mendampingi peralatan milik Jepang di Bukit Mentul, kompleks
Akamigas, Cepu, terpasang 2 teleskop celestron milik Lapan. Di
tempat yang sama sebuah tim Jepang lain mempersiapkan eksperimen
pengukuran geomagnetis pada saat terjadi GMT. Eksperimen ini
unik. Karena serentak dikoordinasikan dengan stasiun perekaman
di 4 stasiun pengamatan lain. Masing-masing di Onagawa (Jepang),
Chun-Li (Taiwan), Townsville (Australia Utara) dan Beveridge
(Australia Selatan). Ke-5 tempat ini hampir terletak pada satu
garis sepanjang 8.000 km dan akan merupakan rekaman grafis
geomagnetis yang berharga.
Di lokasi lain, yaitu Watukosek di Mojokerto, tim Jepang bekerja
sama dengan tenaga Lapan akan meluncurkan balon stratosfer
raksasa dari Stasiun Peluncuran Balon Stratosfir milik Lapan.
Balon ini akan membawa teleskop dengan kamera yang akan merekam
GMT secara otomatis. Penelitian ini erat hubungannya dengan
masalah klimatologi dan meteorologi. Peralatan akan diterjunkan
dengan payung. Sedang balon sebesar 15.000 m3 dan panjang 100 m
itu dimusnahkan. Di Mojokerto, tim Jepang dari ILOM
(International Latitude Observatory Mizusawa), di pimpin Dr.
Sato. Ilmuwan itu yang masih saja merasa dongkol, karena
kehilangan delapan buah peralatannya yang penting di Pelabuhan
Tanjungperak. Di antaranya satu set kamera kontrol dan sebuah
cermin untuk teleskop 20 cm. "Saya sudah urus ke Bea Cukai dan
Ekspedisi Samudera Indonesia," ujar Sato kesal. "Semuanya
buntu."
Tapi itu semua baru cerita tentang kegiatan bangsa asing.
Sementara pihak Indonesia selain Lapan, banyak yang sudah
mempersiapkan diri, atau sudah mulai melakukan berbagai
penelitian. Seperti dikemukakan Drs. Soedito, sekretaris Panitia
Nasional GM 1983, yang sudah terprogram ialah BMG (Badan
Meteorologi dan Geofisika) IKIP Surabaya, Lapan, IKIP
Yogyakarta, Biotrop, berbagai kelompok dari UGM, Fisika UI, dan
Planetarium Jakarta.
"LIPI sendiri tak melakukan penelitian," ujar Soedito, kepala
Biro Humas LIPI. "Tenaga-LIPI hanya membantu penelitian yang
dilakukan ahli Indonesia." Soedito menyebutkan contoh LEN
(Lembaga Elektronika Nasional) yang membantu penyelidikan
pengaruh gerhana terhadap telekomunikasi yang dilakukan di
Tuban.
Di antara sekian banyak lembaga dan institut pengajaran, sudah
lumrah jika UGM di Yogyakarta mengambil bagian besar. Total
usulan penelitian yang hendak dilakukan berjumlah 47 buah dengan
biaya sekitar Rp 11 juta. Ada di antaranya yang ingin mengukur
tinggi manusia tatkala gerhana matahari itu berlangsung atau
pengaruh GMT terhadap kekuatan peras tangan.
Tak ketinggalan Pusat Penelitian Penerapan Tenaga Matahari UGM
pimpinan Dr. Seno astroamidjojo. Kelompok terakhir ini sudah
tentu pula memanfaatkan berbagai peralatan yang dibuat sendiri
dari barang bekas. "Modal kami hanya dengkul," komentar Dr. Seno
dengan khasnya.
Alat itu berupa pemotret spektrum. Bentuknya mirip gerobak
pedati dilengkapi dengan teleskop, yang menurut Seno, dari
"zaman baheula". Alat ini digunakan untuk memotret spektrum dari
bagian kromosfir dan fotosfir -- keduanya lapisan terluar
matahari. Melalui percobaan itu ingin diketahui reaksi dari
atom, ion, dan elektron yang ada di lapisan itu. "Kalau tidak
gerhana, tidak bisa dilihat," ujar Seno.
Sebetulnya Seno merencanakan banyak lagi eksperimen. Karena
peristiwa GMT ini dianggapnya sangat penting bagi penelitian
ilmiah. Tapi proposal yang diajukannya setahun lalu, nyatanya
ditolak UGM, termasuk anggaran yang ia usulkan sebesar Rp 10
juta. "Baru kemarin secara lisan diberitahukan disetujui Rp
800.000," katanya. "Itu pun uangnya belum saya terima."
Satu keinginan Seno ialah mengulang eksperimen yang membuktikan
teori relativitas Einstein -- yang antara lain mendalihkan bahwa
berkas cahaya akan membelot oleh daya gravitasi massa besar
seperti bintang. Eksperimen ini pertama kali dilakukan oleh
Eddinton, ahli fisika Inggris, ketika mengamati gerhana matahari
di Pulau Principle di Samudra Atlantik pada 1919. Einstein
terbukti benar dan eksperimen itu merupakan suatu puncak
penelitian yang unik.
Namun kini tak ada ilmuwan yang melakukannya lagi. "Soalnya kini
ada cara yang lebih teliti dengan menggunakan gelombang radio,"
ujar Morris Aizeman dari NSF menjelaskan. "Kalau toh ada orang
yang ingin mengulang eksperimen itu, tentu boleh saja,"
tambahnya, "tapi tak ada lagi nilai ilmiahnya."
Seksi Geofisika dari MIPA-UGM menyiapkan penelitian tentang
geomagnetisme dan pengukuran intensitas sinar infra-merah
matahari. Sementara Panitia Penelitian UGM, yang diketuai Sugeng
Martopo, kepala PPSL-UGM, meneliti tentang persepsi dan perilaku
masyarakat di pedesaan, soal meteorologi dan pengamatan terhadap
pasang surut air laut.
Masih ada lagi. Fakultas Biologi UGM merencanakan penelitian
pengaruh GMT terhadap tingkah laku binatang. Juga terhadap gerak
tumbuhan dan bio lingkungan. Dan rencana penelitian kelompok
Biologi dari ITB maupun UI tak berbeda. Obyek penelitian ialah
tubuh manusia dan berbagai perilaku satwa dan tetumbuhan.
Apa manfaat dari kegiatan penelitian semua ini sebenarnya? Bagi
para ilmuwan jelas. Tapi Prof. Jay Pasachoff juga melihat orang
awam pun bisa terlibat. "Gerhana matahari itu merupakan
peristiwa yang paling indah dan mengagumkan yang mungkin terjadi
di bumi ini," ujarnya penuh semangat. Dan mereka akan menyadari
kehebatan peristiwa alam itu, tentu ingin memahaminya.
Ilmu pengetahuan dimulai dari keinginan mengerti itu -- yang
terutama kuat di kalangan remaja. "Maka sangat penting jika
banyak remaja menyaksikan peristiwa itu," kata Pasachoff. Jika
sebaliknya, kepada kaum muda itu diajarkan bahwa gerhana itu
berbahaya, atau berpengaruh buruk, atau memancarkan sesuatu yang
jelek -- generasai muda bisa hilang perhatian pada ilmu, karena
takut. "Banyak calon tenaga cerdas menjadi tidak tersedia
karenanya," ujar Pasachoff.
Takut jadi buta, dengan kata lain, perlu diatasi dengan cara
ilmiah, bukan dengan sembunyi di kolong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini