LELAKI itu duduk dengan sabar. Matanya memandang kolam. Empat
joran pancing dibariskan rapi di dekat kakinya. Di kolam, empat
pelampung kecil berayun-ayun dipermainkan air. Silir angin
membuat kantuk. Sepi. Hiruk pikuk Jakarta terasa jauh.
Salah satu joran bergetar. Dengan tegang pria itu mengangkatnya,
menggulung senar dan menyentakkan pancing. "Hah, kena!"
serunya. Seekor ikan mas menggeletar di ujung pancing. Sembari
melepaskan ikan tersebut, pria itu -- Yok Koeswoyo --
menjelaskan, "sedari kecil saya gemar memancing. Terutama di
laut".
Kini hampir tiap hari anggota kelompok musik Koes Plus ini bisa
dijumpai memancing di Taman Ria Remaja, Senayan, Jakarta. Tiap
pagi istrinya mengantarkannya ke kolam dan baru menjemput sore
harinya. "Istri saya penuh pengertian. Setiap kali melihat saya
tampak ruwet, saya selalu disuruhnya memancing," cerita ayah dua
anak ini. Istri dan kedua anaknya juga gemar menyantap ikan mas
goreng hasil pancingannya.
Kolam pancing Taman Ria Remaja Senayan luasnya delapan hektar.
Ada satu bagian yang secara khusus dibuat, dengan karcis Rp
25.000 untuk sehari atau Rp 15.000 mulai pukul 12 siang. Namun
banyak pemancing termasuk Yok Koeswoyo, memilih tempat yang
lebih luas dengan karcis Rp 2.500 sehari atau Rp 1.500 setengah
hari.
Puluhan pemancing datang setiap hari: remaja, orang tua, ibu
dengan anak-anaknya. Ada yang membawa payung. Banyak pula yang
membawa tikar lengkap dengan makanan. Di Jakarta memang makin
banyak saja kolam pemancingan. Antara lain Pamulang, Ciganjur,
Situ Baru (Cibubur), Sunter, dan Waduk Pluit. Pengelola Situ
Baru malahan menyediakan fasilitas penginapan: tenda dengan
tarif Rp 3.000 semalam, atau kamar dengan dengan velbed yang
tarifnya Rp 15.000.
Yok memakai umpan irisan bungkil besar, dengan mata kail yang
khusus untuk ikan besar. "Saya hanya berniat menangkap ikan
lama. Mereka makan bungkil, dan ada di dasar kolam," katanya.
Jika yang terpancing ikan yang beratnya belum sampai tiga ons,
Yok melepaskannya. Ia mengecam mereka yang mengangkut ikan
kecil. "Itu merusak lingkungan. Seharusnya di sini ada peraturan
yang mengharuskan melepas ikan kecil yang terpancing, seperti di
Eropa dan Amerika Serikat," ujar Yok.
Namun tak jauh dari tempat Yok memancing, seorang lelaki tua
nangkring di batu. Sebentar-sebentar melemparkan pancing,
menarik dan memasukkan ikan ke dalam plastik. Umpan yang
dipakainya roti. Pancmgnya banyak mengena. Sekitar 300 ekor
terkumpul dalam waktu kurang dari tiga jam. "Kalau ditimbang
mungkin ada dua kilogram," ujarnya gembira. "Cuma kalau melihat
hasil pancingan saya, banyak yang melengos atau mengejek." Ikan
mujair yang ditangkapnya rata-rata memang cuma sebesar
kelingking.
Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menganggap memancing
sebagai olah raga. Salah satu buktinya adalah makin seringnya
perlombaan memancing, serta bermunculannya berbagai perkumpulan
memancing di berbagai kota. Hampir semuanya memakai nama yang
keren: fishing club. Di Jakarta, misalnya ada Mina Kencana
Fishing Club, Jakarta Fishing Club, Tirta Kencana Fishing Club,
dan Muara Karang Fishing Club. Dari Bogor muncul Kujang Kencana
Fishing Club, sedang di Bandung ada Parahiangan Fishing Club.
Hanya Medan yang namanya sederhana: Ikatan Keluarga Hobi
Jala/Pancing dan Simpatisan (IKHIAS). Hadiah lomba umumnya
radio, tape recorder atau pesawat televisi.
Perkumpulan Mina Kencana agaknya yang termuda: didirikan Agustus
tahun lalu. "Kegiatan yang kami adakan untuk sementara ini baru
memancing saja," kata sang sekretaris Dadan Iman Syafardan.
Jumlah anggota perkumpulan ini 33 orang, rata-rata berusia di
atas 27 tahun. Anggota klub memperoleh prioritas mengikuti
perlombaan. Tiap Sabtu, Minggu atau hari libur lain, para
anggota pada memancing bersama. "Setiap dua minggu sekali
diadakan acara memancing malam hari, mulai pukul tujuh sampai
empat pagi dengan biaya Rp 10.000," tutur Dadan.
"Enak ikut klub mancing. Prioritas tempat diutamakan. Kami juga
bisa saling mengenal dan tukar pengalaman," kata Don Supriatna,
anggota Mina Kencana. Don, 46 tahun, seminggu rata-rata
mengeluarkan Rp 10.000 -- hampir semuanya untuk membayar sewa
lapak, tempat memancing. Umumnya kolam pemancingan
mengenakanbiaya Rp 7 500 sampai Rp 15.000 untuk berjongkok di
situ seharian.
Don lebih suka memancing di kolam daripada di laut. Alasannya:
di kolam tidak tergantung musim, peralatan lebih sederhana,
biaya ringan. Karyawan DLLAJR DKI Jaya ini gemar memancing bukan
karena ikut-ikutan. "Memancing adalah olah raga ringan. Bisa
melatih kesabaran dan menurunkan darah tinggi," ujarnya.
Syukruddin, 44 tahun, menyetuJui pendapat ini. "Semula saya
menderita penyakit tekanan darah tinggi. Dokter menasihati agar
saya punya kegiatan dalam bidang prakarya seperti montir radio
atau kerajinan tangan. Tapi karena tak punya keahlian, saya
memilih memancing saja," kata karyawan sipil Kodak VIII
Langlangbuana Jawa Barat itu. Dalam waktu tujuh bulan tekanan
darahnya turun dari 180 menjadi 130. Itu terjadi di beberapa
tahun lalu. "Sejak itu saya tidak pernah punya penyakit tekanan
darah tinggi lagi." Ia melemparkan kailnya ke tengah kolam.
Hari itu, seperti biasa, Syukruddin ditemani istrinya, Ny.
Haryati. Dari tengah hari sampai sore di kolam 'Sinar Pakuan' di
Jalan Soekarno-Hatta, Bandung, suami-istri itu mendapat 4 kg.
"Memancing antrekan dapat empat kilo sudah lumayan. Soalnya ikan
sisa," Syukruddin menjelaskan. Antrekan artinya memancing bukan
di hari Minggu. Sewa lapak yang ukurannya 2 x 2 meter cuma Rp 5
000, dan boleh patungan bersama 2 orang lain.
Buat Syukruddin, memancing malah tidak hanya melatih kesabaran
dan konsentrasi. "Begitu pancing dilempar, segala keruwetan
hidup sirna. Pikiran terpusat pada pelampung. Apalagi kalau
umpan sudah mulai dimakan. Yang ada cuma kegembiraan," katanya.
Bukan cuma itu. "Bila banyak mendapat ikan, bukan main
bahagianya," tambah Ny. Haryati. Diakuinya, setelah suami-istri
itu sama-sama suka memancing, rumah tangganya lebih rukun,
padahal dulu sering bertengkar.
Pengalaman Odi Supriadi sedikit lain. Memancing, menurut dia,
bisa menghindarkan diri dari perbuatan yang tidak baik.
"Misalnya bila kita senang main cewek. Kalau sedang memancing,
ingatan ke arah itu hilang dengan sendirinya," kata sopir truk
dari Bandung berusia 34 tahun itu. Tidak dituturkannya,
bagaimana kalau acara memancing sudah selesai. Namun ada juga
segi negatifnya: "Saya terkadang hampir lupa pekerjaan dan anak
istri."
Ada lagi manfaat memancing. "Saya dapat bersabar, dan hati-hati
dalam meneliti persoalan dagang saya," cerita Liem Bun Thong, 51
tahun, pemilik toko 'Asia Sport' di Jalan Bandung, Medan.
Hobinya juga membuat Liem Bun Thong, biasa dipanggil Atong, pada
1951 membuka tokonya yang khusus menjual peralatan memancing dan
berburu.
Buat Atong, pengalaman yang paling mengesankan dalam hidupnya
terjadi empat tahun lalu. Ia ingat betul tanggalnya: 20 Mei
1979. Hari itu pancingnya mengenai ikan jurung seberat 5,8 kg.
Selama satu jam Atong mengikuti tarikan ikan mahal (kini
harganya Rp 5.000 per kg) itu, dan mengulur tali pancingnya
sampai 150 meter. "Waktu itu, seumpamanya ada yang memberi
sejuta rupiah buat menggantikan saya memegang joran, tak akan
saya berikan."
Namun perolehan Atong kalah dengan Akeng. Pada akhir Juni 1980,
tatkala memancing di Sungai Stabat, Langkat, 40 km dari Medan,
Akeng memperoleh ikan jurung seberat 19,8 kg. "Sepanjang yang
saya ketahui belum pernah ada orang Medan yang bisa mengail ikan
seberat itu?" kata Akeng, yang bersama Atong pernah menjelajah
sungai-sungai di Sumatera Utara sampai ke Aceh.
Toh dengan ikan 5,8 kg-nya Akong mendapat medali perak dari
pabrik peralatan pancing ABU di Swiss. Pabrik ini tiap tahun
mengadakan lomba. Hasil pancingan terberat mendapat medali. Pada
1979 ikan Atong mendapat hadiah kedua. Waktu itu Atong mengirim
foto ikan hasil tangkapannya disertai selembar sisik ikan.
"Sayang Akeng waktu itu tak mengirimkan berita tangkapannya. Dia
bisa mendapat medali emas betulan," kata Akong.
Peralatan pancing yang lengkap bisa mencapai harga jutaan
rupiah. Reel atau kelosnya saja ada yang harganya sekitar Rp
800.000. Misalnya yang terbuat dari logam kuning mengkilat,"
dengan kapasitas senar sampai 1.200 yard. Joran biasanya terbuat
dari fibreglass, sedang mata kail yang terkenal buatan Norwegia.
Di Jakarta, yang populer adalah joran teleskopik fibre-glass,
yang lengkap dengan reel-nya berharga Rp 12.000. "Ini disukai
karena praktis, bisa diperpendek, jadi ringkas," kata Benny, 30
tahun, yang punya toko peralatan memancing tanpa nama seluas 15
m2 di Poncol, Jakarta Pusat. Pemancingan dari Jawa Barat umumnya
lebih senang memakai joran yang terbuat dari bambu atau weregu.
Benny sendiri lebih senang memancing di laut. Biayanya memang
lebih besar dibanding memancing di empang. "Tapi di laut
pemandangannya lebih bagus. Selain itu juga lebih berseni:
Kita tak tahu ikannya ada di mana. Beda dengan di kolam. Ikannya
jelas dimasukkan di depan mata kita," katanya menasehatinya.
Kesadaran mencintai lingkungan rupanya juga bisa diterapkan
melalui kegiatan memancing. Ini pendapat Yok Koeswoyo lagi.
Menuba atau mengebom sungai guna menangkap ikan, jelas sangat
merusak lingkungan. Yok, yang pernah memancing di banyak tempat,
dari berbagai kolam di sekitar Jawa, Pulau Seribu, Bali, Pantai
Selatan Jawa, sampai Prancis dan Italia, menganggap "dengan
memancing kita bisa merasa lebih dekat dengan alam dan Tuhan."
Pengalaman memancing Anda yang menarik, Yok? "Antara lain di
Nice, Prancis, tahun lalu. Saya terdaftar sebagai anggota klub
memancing di sana," ceritanya. Suatu hari, mereka memancing ikan
karper. Yok teringat waktu kecil suka memancing karper dengan
singkong rebus sebagai umpan. Di supermarket setempat ternyata
singkong tak ada.
Tak ada singkong, kentang pun berguna. Maka Yok pun memakai
umpan singkong kukus. Orang-orang pada menertawakannya. Namun
tatkala Yok memperoleh karper 3 dan 4 kg orang-orang Prancis
pada heran. "Mungkin karena itu di klub tersebut, dalam musim
pancing itu saya dinyatakan pemenang . . .," kata Yok sembari
tertawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini