Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Guru Besar Unair Apresiasi Kalung Eucalyptus, Perlu Uji Lanjutan

Sebagai upaya menjawab ketiadaan jalan keluar untuk pandemi Covid-19, Nidom mengapresiasi temuan kalung eucalyptus itu.

8 Juli 2020 | 10.17 WIB

Kalung kesehatan andari tanaman eucalyptus. (Dok. Kementan)
Perbesar
Kalung kesehatan andari tanaman eucalyptus. (Dok. Kementan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Biologi Molekuler dari Universitas Airlangga (Unair) Chairul Anwar Nidom menanggapi ramainya pemberitaan mengenai kalung eucalyptus yang dibuat Kementerian Pertanian (Kementan).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Sebagai upaya menjawab ketiadaan jalan keluar untuk pandemi virus corona Covid-19 saat ini, pria yang disapa Nidom itu mengapresiasi temuan itu.

"Mungkin ada kekurangan atau ketidaksempurnaan, ya kita perbaiki. Apalagi ini suatu jawaban berbasis herbal Indonesia," ujar Nidom melalui pesan WhatsApp, Selasa malam, 7 Juli 2020.

Sebelumnya, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbang) Kementan menyatakan, produk inovasi lembaganya yang berbahan dasar ekstrak eucalyptus telah mengantongi izin edar dengan status produk obat tradisional atau jamu dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

Adapun dari lima produk gagasan Kementan yang terdiri dari kalung aromatherapy, minyak roll on, balsem, oil diffuser, dan inhaler. Namun, baru tiga produk yang memperoleh nomor paten BPOM, yaitu kalung aroma terapi, minyak roll on, serta inhaler.

"Kata-kata antivirus bisa saja dibenarkan bahwa ada bahan-bahan di eucalyptus ini yang bisa membunuh virus corona, meskipun dalam uji in vitro," kata Nidom yang juga Ketua Tim Riset Corona dan Formulasi Vaksin di Professor Nidom Foundation (PNF).

Nidom menegaskan bahwa apa yang dilakukan Kementan perlu diapresiasi, tapi pada akhirnya kembali masyarakat yang mengambil keputusan. Dia mengambil contoh minyak kayu putih yang berbahan eucalyptus, dan sudah lazim digunakan oleh masyarakat Indonesia.

Menurutnya, selama ini belum pernah terdengar bahwa minyak kayu putih bisa digunakan sebagai antiviral karena mungkin belum pernah diteliti. "Saran saya kepada tim ini teruskan ujinya minimal sampai dengan uji preklinis," tutur dosen tetap di Unair itu.

Menurut Nidom, ada tiga pengujian yang biasa dilakukan. Pertama uji untuk bahan dasarnya, dalam hal ini 1,8 cineol (eucalyptus misal) terhadap target yang dituju. Ini biasanya dilakukan secara in vitro yang tidak banyak variabel pengaruh lingkungannya.

Kedua, uji terhadap formulasi, setelah bahan dasar ditambah bahan lain dan ditentukan bentuk delivery-nya (misalnya kalung atau inhaler), seharusnya diuji melalui uji pre-klinis. Uji ini menggunakan hewan coba.

"Biasanya tujuan uji di sini, untuk menguji toksisitas pada pengguna, dalam hal ini diextrapolasikan oleh hewan sebagai wakil manusia. Atau uji tantang, hewannya ditantang dengan virus yang dituju dengan menggunakan formulasi tadi," ujar Nidom.

Dan yang ketiga adalah uji klinis. Pengujian ini bisa dilakukan, bisa juga tidak. "Jika obat itu akan digunakan untuk pengobatan di dalam rumah sakit atau klinik, wajib hukumnya dilakukan uji ini," kata Nidom.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Erwin Prima

Erwin Prima

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus