Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Kecerdasan Buatan Pemindai Wajah dan Face ID: Berbahayakah?

Sistem kecerdasan buatan pengenalan wajah alias teknologi Face ID belakangan ini dipakai untuk mengoperasikan gawai dan bertransaksi di ATM.

17 Oktober 2017 | 15.40 WIB

Teknologi Face ID berbasis kercerdasan buatan. (cnet.com)
Perbesar
Teknologi Face ID berbasis kercerdasan buatan. (cnet.com)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, North Carolina - Sistem kecerdasan buatan pengenalan wajah alias teknologi Face ID belakangan ini dipakai untuk mengoperasikan gawai dan bertransaksi di anjungan tunai mandiri (ATM). Dikembangkan untuk melacak orang yang menyembunyikan wajahnya di balik topeng atau masker.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Wajah adalah kunci. Manusia bisa mengenali satu sama lain dengan membedakan ciri-ciri khusus yang ada pada wajah. Namun kini kemampuan itu bukan punya manusia semata. Mesin dengan artificial intelligence (AI) jauh lebih pintar, termasuk mengenali ciri wajah yang tersembunyi—hal yang sangat sulit dilakukan oleh manusia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Apple mengusung teknologi pengenalan wajah, FaceID, dalam produk terbarunya: iPhone X. Dalam sistem ini, wajah menjadi "kata kunci" untuk mengoperasikan smartphone tersebut. FaceID bahkan dirancang agar bisa digunakan untuk mengunduh aplikasi hingga melakukan pembayaran dengan Apple Pay.

FaceID adalah sistem yang membuat penggunaan iPhone X lebih sederhana tapi tetap aman. Bos Apple, Phil Schiller, mengatakan iPhone terkunci sampai sistem mengenali wajah penggunanya. "Ini adalah masa depan tentang bagaimana kita membuka smartphone dan melindungi informasi sensitif,” katanya seperti ditulis Wired.

iPhone X menggunakan tkenologi pemindai wajah alias Face ID untuk membuka kunci ponsel tersebut. AP/Marcio Jose Sanchez

Di Cina, sistem pengenalan wajah sudah digunakan di mesin-mesin anjungan tunai mandiri (ATM) sejak 2015. Pelanggan tak lagi perlu membawa kartu bank untuk melakukan transaksi.

Sekitar 1.000 ATM milik merchant bank di 106 kota di Cina bisa mengeluarkan uang hanya dengan memindai wajah pelanggannya. Januari lalu, Agricultural Bank memasang sistem serupa pada 470 ATM di sejumlah kota.

Sistem pengenalan wajah dianggap bisa memangkas risiko penipuan dengan kartu palsu atau insiden kartu tertelan. Pelanggan hanya perlu melihat ke kamera lalu mesin akan mencocokkannya dengan foto dalam data. Menurut Agricultural Bank, seperti ditulis South China Morning Post, layanan ini membuka jalan bisnis baru, antara lain pembukaan akun online.

ATM milik China Merchants Bank yang sudah memakai teknologi pengenalan wajah. (dailymail.co.uk)

Kecerdasan buatan bisa melangkah lebih jauh lagi. Para peneliti dari Universitas Cambridge, Institut Teknologi Nasional India, dan Institut Sains India mengembangkan algoritma untuk mengenali seseorang yang berusaha menutupi wajahnya dengan kain, masker, topi, atau kacamata. Laporan riset ini akan disampaikan dalam International Conference on Computer Vision Workshops di Venice, Italia.

Menurut Amarjot Singh, peneliti dari Universitas Cambridge yang terlibat dalam riset tersebut, teknologinya bisa dimanfaatkan para penegak hukum untuk menangkap penjahat. "Penggunaan aplikasi ini sangat luas," kata Singh seperti ditulis Inverse.

Singh mengatakan teknologi tersebut dikembangkan dari penggunaan sistem pengenalan wajah untuk melacak para pelaku bom Boston. Namun proyek mereka masih dalam taraf uji coba. Sistem ini menggunakan kecerdasan buatan yang bisa mengenali pola berdasarkan data dalam jumlah besar yang berisi gambar wajah. Sistem tersebut mengenali titik tertentu di wajah seseorang kemudian menganalisis jarak antartitik itu.

Para peneliti melatih sistem AI itu menggunakan data berisi 2.000 citra dari 25 orang berbeda yang menggunakan berbagai penutup wajah. Sistem melacak 14 titik penting di wajah, posisi dan tinggi ujung hidung, serta sudut mulut. Tingkat keberhasilan AI mengenali orang yang menyembunyikan wajahnya di balik topi dan topeng mencapai 69 persen.

Meski hasilnya masih belum sempurna, studi ini memantik kegerahan di dunia maya. Kecerdasan buatan bisa menjadi ancaman bagi anonimitas dan keamanan orang-orang yang mengikuti demonstrasi dan tidak mau dikenali oleh polisi atau penguasa. "Teknologi ini perlu diatur agar tidak jatuh ke tangan orang-orang yang mungkin menyalahgunakannya," kata Singh.

Ilustrasi teknologi Face ID berbasis kercerdasan buatan. (cnet.com)

Zeynep Tufekci, pengamat teknologi dari University of North Carolina, menyebutkan banyak orang lebih khawatir dengan apa yang bisa dilakukan sistem kecerdasan buatan. Padahal masalah terbesarnya ada pada siapa penggunanya. "Masih sedikit yang mencemaskan apa yang dilakukan penguasa dengan AI," ujar Tufekci seperti dilaporkan Quartz.

Mesin dengan kecerdasan buatan semakin mengejar kemampuan manusia dalam mengenali wajah dan emosi yang tersimpan di baliknya. FindFace, aplikasi dari Rusia, bisa mengenali seseorang dengan membandingkan foto-foto di jaringan sosial. Tingkat akurasinya mencapai 70 persen.

Para peneliti di Universitas Stanford menunjukkan bahwa sistem algoritma bisa mengenali orientasi seksual seseorang. Ketika ditunjukkan gambar seorang gay dan bukan gay, tingkat keberhasilan mesin mengenali orientasi seksual mereka mencapai 81 persen. Padahal, seperti ditulis The Economist, tingkat keberhasilan manusia dalam melakukan hal serupa hanya 61 persen.

Teknologi, jika disalahgunakan, menjadi senjata berbahaya yang mengancam manusia. Di negara-negara di mana homoseksual dianggap sebagai kejahatan, aplikasi yang mampu mengenali orientasi seksual berdasarkan data foto bisa saja dijadikan perangkat untuk menindas. "Jika digunakan secara benar dan etis, teknologi bisa membantu manusia," kata Michal Kosinski, peneliti dari Universitas Stanford, seperti ditulis The Guardian.

Simak artikel menarik lainnya tentang kecerdasan buatan dan teknologi Face ID hanya di kanal Tekno Tempo.co.

WIRED | SOUTH CHINA MORNING POST | INVERSE | QUARTZ | THE ECONOMIST | THE GUARDIAN

Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus