AWAS. Indonesia mulai dijerat kejahatan melalui komputer. Sementara itu, sasarannya dipilih dunia perbankan. Kasusnya sekarang disidangkan di Pengadilan Negeri Takarta Pusat. Senin dan Selasa pekan ini, Jaksa Chairuman Harahap dan Togar Hutabarat menghadapkan dua warga negara Indonesia: Rudy Demsy dan Seno Adjie. Mereka didakwa sebagai pelaku kejahatan dengan teknologi canggih itu. Hanya dengan sebuah komputer, kata jaksa, kedua anak muda itu berhasil membobol (men"digger") rekening BNI 1946 di Citibank, New York, sebanyak US$ 18,7 juta. Atau, sekitar Rp 30 milyar. Kejahatan yang dilakukan mereka -- kalau tuduhan kedua jaksa itu benar -- tak terbayangkan selama ini oleh orang yang masih awam komputer. Keduanya beroperasi di sebuah kamar Best Western Hotel Long Island Express Way Queens, 31 Desember 1986. Dengan komputer merk Apple II C melalui modem, Rudy, 29 tahun, dan Seno, 31 tahun -- begitu kata jaksa -- berhasil mengambil uang negara di rekening bank yang jaraknya puluhan kilometer dari hotel itu. Dan pada saat itu juga, duit tersebut ditransfer ke berbagai bank di Panama, Hong Kong, dan Luksemburg. Sekitar 60 pengunjung yang menyaksikan persidangan Rudy Demsy berdecak-decak kagum ketika mendengar jaksa menguraikan teknik pemuda ini dan temannya memindahkan uang BNI 1946 tanpa diketahui si pemilik. Rudy, yang Senin kemarin tampil apik dengan baju bergaris biru serta celana biru tua, kontan memprotes Jaksa. "Tuduhan itu tidak benar," teriaknya. Ketua majelis hakim I Gde Sudharta cepat menenangkan tertuduh itu. Benar atau tidak tuduhan tersebut, yang jelas perampokan tanpa senjata itu menggegerkan kantor BNI 1946 Pusat dan BNI 1946 Cabang New York, di awal tahun ini. Pada Jumat pukul 09.00 pagi, 2 Januari lalu itu, suasana di BNI 1946 Pusat Jalan Lada, Kota, Jakarta masih bertahun baru. Sebab itu, belum semua karyawan masuk kantor. Martono dan Iskar Hadjar, dua operator komputer yang bertugas memonitor rekening BNI 1946 Pusat di banyak bank di berbagai negara, pagi itu sudah di depan komputernya. Tiba-tiba mereka melihat sesuatu yang aneh di layar monitor. Rekening BNI 1946 Kantor Pusat itu di Citibank, New York, memberi tanda peringatan yang artinya terjadi suatu penarikan dana melebihi saldo BNI 1946 Pusat di bank tersebut. Di layar juga jelas terbaca: pada 31 Desember, rekening BNI 1946 di bank swasta Amerika itu telah didebet US$ 9,1 juta -- dan ini melebihi saldo yang ada. Pendebetan itu masih terlayani Citibank, walau sudah overdraft, karena antara kedua bank memang ada perjanjian. Tapi bagi Martono dan Iskar, yang sehari-hari bertugas memonitor keadaan keuangan kantor pusat, kejadian itu tetap terasa aneh. Kemudian mereka buru-buru melapor pada atasannya. Dan cepat ada reaksi. Dewan direksi yang menempati lantai III dikantor pusat itu jadi riuh. Rapat darurat segera diadakan di pagi itu, dipimpin Dirut Somala Wiria bersama Managing Director Kukuh Basuki dan Direktur Pengawasan Daddy Sumadipradja. Mereka mencoba mendeteksi transaksi apa yang terjadi di akhir tahun, sehingga saldo BNI di Citibank itu bisa tekor. Tetapi, berdasarkan laporan staf kantor pusat, tidak satu pun transaksi dilakukan yang menyangkut rekening BNI di Citibank, New York. Kemungkinan lain, transaksi sebesar itu dilakukan kantor cabang BNI 1946 di New York. Melalui facsimile, pukul 10 pagi kantor cabang itu segera dikontak. Karena waktu itu masih pukul 10 malam -- 1 Januari di New York -- tentu pesan dimaksud tak terjawab. Pagi, 2 Januari di BNI 1946, New York -- atau malam waktu di Jakarta situasi kantor juga sama seperti di Jalan Lada. Masih dikerubungi kehangatan tahun baru. Seorang karyawati, Sita, kepala bagian transfer, kaget ketika membaca pesan teleks dari Jakarta: menanyakan tekornya rekening BNI 1946 Pusat di Citibank. Sita segera menghubungi Wakil Kepala Cabang, Noor Alwi, yang juga sudah masuk kantor. Noor Alwi memerintahkan Sita memeriksa registrasi transaksi 31 Desember. Tak ada. Lalu Sita mencoba mengecek ke transaksi yang menyangkut dana BNI Pusat itu di Citibank. Ada pula "aneh" yang lain. Ketika Sita mencoba menghubungi komputer Citibank dengan komputer di mejanya, melalui modem, eh, kenapa password yang berkode RUDEMS yang digunakannya tak diterima komputer Citibank ? Malah, hubungan komputer-komputer di layar terputus (disconnected). Sandi RUDEMS itu -- yang merupakan kependekan dari nama Rudy Demsy, karyawan BNI New York yang berhenti beberapa bulan sebelumnya, dan selalu digunakan BNI sampai saat itu -- sudah dihapus di memori komputer Citibank, entah oleh siapa. Karena gagal melalui komputer, sementara melalui telepon juga sulit -- maklum masih suasana tahun baru Sita berangkat sendiri ke kantor Citibank. Ternyata, uang BNI 1946 Pusat sudah ditransfer orang tak dikenal melalui Mantrust Bank dan beberapa bank transit di New York, ke Union Bank of Switzerland, Bancode Occidente, Swiss Bank Corp. Overseas dan Banco De Istmo -- semuanya di Panama. Runyam. Rupanya, bukan hanya uang BNI 1946 Pusat saja yang kebobolan -- juga uang BNI 1946 cabang New York sebanyak US$ 9,6 juta ditransfer ke Bank Kwoong On Hong Kong dan Bruxell Lambert SA di Luksemburg. Pasti sudah, BNI 1946 Pusat dan BNI 1946 New York kena "rampok". Dan perampoknya tak diketahui siapa. Sita segera kembali ke kantornya melaporkan kejadian itu Jakarta, yang di waktu itu sudah menjelang pagi, dihubungi. Dewan Direksi di Jakarta segera memerintahkan melakukan stop payment di semua bank alamat transfer gelap itu beserta bank-bank transitnya yang tersebar di New York, Panama, Luksemburg dan Hong Kong. Malah Kepala Kantor BNI 1946 Cabang London malam itu juga diteleks untuk menyetop pembayaran di Luksemburg. Sedangkan rekannya di Hong Kong melakukan tugas yang sama di negara koloni Inggris itu. Seorang manajer Cabang BNI 1946 New York, T.S. Parnel, (ia warga negara Amerika) beserta istrinya ditugasi terbang ke Panama. Karena di negara itu ada empat bank yang harus disetop pembayarannya, Parnel dan istrinya, sebagai sukarelawan, terpaksa berbagi tugas. Masing-masing menghubungi dua bank tersebut. Senin pagi, 5 Januari. Sebelum keempat bank tempat alamat transfer itu buka kantor di Panama, Parnel sudah menunggu di depan pintu kantor salah satu bank tersebut. Sementara itu, istrinya di bank lain. Setelah selesai mereka lari lagi ke kedua bank berikutnya. Berhasil. Dalam pada itu, rekan mereka di Hong Kong dan Luksemburg dengan mudah menyetop pembayaran itu. Ini karena di kedua bank itu tak ada rekening penerima uang. Fiktif. "Transfer fiktif yang dilakukan ke Hong Kong dan Luksemburg itu hanya cara mereka untuk mengalihkan perhatian. Ini untuk membuat pihak BNI 1946 sibuk di dua negara itu, sehingga transfer ke Panama bisa mereka miliki," kata seorang penyidik kasus itu. "Teknik mereka membobol bank kami memang canggih. Namun, mereka tak terlalu pintar. Mereka tidak memperhitungkan bahwa transfer gelap yang dilakukan itu bisa dimonitor dari Jakarta," kata Kukuh pekan lalu. Pihak BNI 1946 boleh bersyukur. Bank tersebut luput dari kebobolan sebesar 18,7 juta dolar AS. Tetapi gara-gara ulah "bandit siluman" itu BNI 1946 terpaksa membayar ganti rugi di beberapa bank itu, ditambah bunga, akibat overdraft di Citibank yang jumlahnya sekitar US$ 42 ribu atau sekitar Rp 68 juta. Memang, ini suatu pengalaman pahit dan BNI 1946 yang nyaris porak-poranda. Semua itu, tetap masih menurut jaksa, adalah karena ulah bekas karyawan BNI sendiri, Rudy Demsy, bersama temannya, Seno Adjie, yang pengusaha itu. Kejahatan semacam itu memang tak mungkin dilakukan oleh orang di luar yang tak mengenal sistem komputer BNI 1946 selama ini. Selain kode-kode transfer uang itu rumit, prosedur pengirimannya juga berbelit-belit, karena harus melalui bank-bank perantara yang tidak sedikit itu. Rekening BNI 1946 Pusat di Citibank sebesar US$ 9,1 juta, misalnya, ditransfer lebih dulu oleh mereka ke rekening BNI 1946 New York di Mantrust, New York. Dari situ, melalui komputer itu juga, uang itu mereka transfer ke Irving Trust Coy., Marine Midland Bank, Swiss Bank Corp., dan Chase Manhattan Bank -- semuanya di New York. Dari bank-bank transit pada waktu itu juga fulus dimaksud mereka perintahkan untuk dikirimkan ke empat bank Panama yang sudah disebutkan tadi. Sementara itu, rekening BNI 1946 New York mereka transfer dengan cara yang lebih sederhana. Dana BNI 1946 cabang itu sebesar US$ 9,6 juta, mereka transfer lebih dulu ke Chemical Bank dan Banker Trust Co. Kedua bank ini di New York. Dari kedua bank transit ini, masih melalui komputer tadi, Rudy memerintahkan pengiriman uang itu ke Hong Kong dan Luksemburg. Begitu gampang membobol bank: hanya dengan alat sebuah benda yang bernama komputer? Sebenarnya tidak. Untuk bisa masuk ke rekening BNI 1946 Pusat di Citibank dan Mantrust, seorang karyawan BNI 1946 harus memasukkan dulu passord BNI 1946, yang kebetulan berkode RUDEMS. Setelah diterima komputer Citibank atau di Mantrust itu, barulah si Rudy bisa memasukkan identitas dirinva. Kode perusahaan berupa initial BNI 1946 -- yang sandi ini juga diketahui semua karyawan bagian transfer (lihat Sekian Jurus Menohok Komputer). Kemudian menyusul: Rudy memerintahkan suatu transfer ke bank lain. Tapi dana transfer itu tidak akan cair jika belum ada tanda "oke" dari Kepala Bagian Akunting BNI 1946 New York, J. Samedi Satoto. Itu berupa pemberian kode rahasia -- yang seharusnya ia ketahui pribadi -- SRIRED (kependekan nama istrinya) beserta reference number, semacam nomor kode agar bank penerima mempercayai bahwa transfer itu benar-benar berasal dari BNI 1946. Untuk mentransfer uang BNI 1946 cabang New York di Mantrust prosedurnya lebih rumit lagi. Si pentransfer harus menambah lagi kode yang dinamakan test key. Ini berupa rumus dengan tanda angka-angka yang diambil dari jumlah uang yang ditransfer, tanggal, dan bulan transfer. Rumus-rumus itu sangat rahasia. Dan hanya boleh diketahui oleh Satoto serta kepala cabang. Pintu penghalang memang sudah berlapis-lapis dan rumit. Tapi celakanya bisa jebol juga. Kalau tuduhan jaksa benar, berarti Rudy dan Seno telah melakukan kejahatan dengan cara yang sangat canggih. Sedangkan dalam pemeriksaan pendahuluan, kedua terdakwa itu memang mengaku melakukan transfer gelap tersebut. Hanya begitu kata mereka, "Otak semua kejahatan ini tak lain adalah Wakil Kepala BNI 1946 Cabang New York sendiri." Dialah M. Noor Alwi. Menurut cerita Rudy Demsy, pertengahan September 1986, ketika makan siang di Kantor BNI 194 New York, ia dihubungi atasannya, Noor Alwi itu. Pada waktu itu, Noor menanyakan masa kerja Rudy di BNI 1946 itu. Ketika ia menjawab sekitar 6 tahun, Noor mengingatkan dia agar sebagai junior trader jangan terlalu berharap dari hasil pekerjaan itu. "Saya sudah 26 tahun bekerja di sini. Toh masih begini-begini saja," kata Noor, seperti ditirukan Rudy, di hadapan pemeriksanya. Untuk memperbaiki nasib itu, Noor ketika itu juga menawarkan sebuah proyek besar berupa transfer gelap itu. Tapi untuk itu Rudy diharapkan keluar dulu dari BNI 1946. Sebelum keluar, kata Noor, Rudy harus mendapatkan lebih dulu password Satoto beserta test key-nya. Selain itu, Rudy juga disuruh atasannya mencari orang-orang yang bisa membantu proyek besar tersebut. Dalam pertemuan itu, Noor Alwi juga tak alpa minta bagian dari hasil transfer gelap itu. Banyaknya 50%. Itu, katanya, untuk ia bagi-bagikan kepada atasannya -- kepala cabang BNI 1946 New York, Willem Tehubijulu, dan Kepala Divisi Luar Negeri BNI 1946, G.N. Antika, sementara 50% sisanya boleh dibagi-bagi Rudy dan Seno untuk orang yang membantunya. Setelah pembicaraan itu, kata Rudy Demsy, ia mulai mencari orang untuk diajak bekerja sama. Ketika makan bersama dengan seorang rekan sekerjanya, Putu Purwa Artha, di sebuah restoran Cina, Rudy menyampaikan ide mengenai transfer gelap itu. Putu menyambut dan mau bekerja sama mendapatkan test key milik Satoto. Pertengahan Oktober, tutur Rudy kepada pemeriksanya, ketika Satoto berhalangan masuk, Noor Alwi menangani langsung tugas-tugas bawahannya itu, dan mengambil test key yang tersimpan di brankas Satoto. Diperintahkan oleh Noor agar map yang berisi rumus dan kode angka-angka itu diserahkan Putu kepada Rudy. Bersama Putu, Rudy memfotokopi rumus rahasia tersebut. Sehabis itu diserahkan kembali pada Noor Alwi untuk disimpan lagi di brankas Satoto. Sementara itu, di luar bank, Rudy juga mendapatkan rekan berkomplot. Dialah Seno Adjie -- yang masih ada hubungan famili dengan Rudy dan sebagai sahabat dekatnya selama di New York. Setelah mendapat test key, masih dalam bulan Oktober, Rudy kemudian mengundurkan diri dari BNI 1946, dengan alasan keluarga. Sejak itu ia mulai memusatkan perhatiannya untuk melaksanakan proyek besar tersebut. Pada awal November, Rudy mempertemukan rekannya Seno Adjie dengan Noor Alwi di Thai Restaurant, Broadway Queen, New York. Dalam pertemuan itu, Noor Alwi menyarankan agar transfer itu dilakukan Rudy di akhir Desember -- karena pada waktu itu karyawan bank sibuk tutup buku. Transfer tak melebihi US$ 10 juta, kata Noor. Dan itu dialamatkan ke bank-bank di negara yang off shore banking atau negara-negara yang membebaskan masuknya dana dari luar. Kecuali itu, Noor juga menyarankan agar Rudy melakukan transfer fiktif ke negara-negara lain, guna mengacaukan perhatian pihak BNI -- seandainya nanti perbuatan curang itu keburu ketahuan. Dalam pertemuan itu, Noor memberikan password Satoto untuk Citibank dan Mantrust kepada Rudy. Untuk meyakinkan rekan-rekannya, Noor dalam pertemuan itu bahkan menceritakan bahwa ia siap berhenti dari BNI 1946. Katanya, dia sudah memiliki Green Card, kartu izin tinggal di AS. Rencana di New York lengkap sudah. Pada awal November Seno menghubungi kakak iparnya. Ia seorang pengusaha. Namanya Malik Darpi, dan tinggal di Jakarta. Seorang lainnya, yang belakangan namanya dipakai untuk membuka rekening-rekening penampungan transfer gelap tersebut: Teuku Makmun Eldy. Awal Desember Rudy dan Seno sudah di Jakarta. Lalu keduanya merundingkan operasi transfer gelap itu dengan Malik Darpi dan kemudian bertindak sebagai penyandang dana. Seno berhasil pula mengajak Eldy untuk ikut dalam komplotan mereka, tanpa Eldy tahu persis bagaimana caranya dan dana siapa yang akan dipindahkan ke rekeningnya. Bertempat di rumah Malik Darpi di bilangan Ciputat dan Hotel Kemang, Jakarta, kemudian di Orchard Hotel, Singapura, rencana itu dimatangkan. Setelah menyerahkan uang US$ 10.000, pada 12 Desember, Malik Darpi melepas keberangkatan Rudy, Seno, dan Eldy ke Frankfurt, Jerman Barat. Dari Frankfurt, Seno Adjie dan Eldy meneruskan perjalanannya ke Panama untuk membuka rekening atas nama Eldy, di empat bank, di negara itu. Dan Rudy langsung ke AS. Selesai membuka rekening di Panama, Seno -- menjelang Natal -- terbang ke Amerika untuk bergabung dengan Rudy Demsy. Eldy kembali ke Jakarta. Pada 30 Desember, begitu cerita Rudy, ia bersama Seno mencarter kamar di lantai II Best Western Hotel, New York. Keesokan harinya Seno membawa sebuah komputer merk Apple dari rumah seorang sahabatnya, Udin Nasution. Sebelumnya, komputer itu ia titipkan di sana. Lalu Rudy Demsy menghubungi Noor Alwi melalui telepon umum, minta "kunci terakhir" untuk masuk ke komputer BNI di Citibank dan Mantrust. Itulah reference number. Sekitar tengah hari waktu setempat, ketika penduduk New York bersiap menyambut tahun baru, kerja besar itu mereka selesaikan. Sore itu juga Rudy mengaku terbang ke Frankfurt, untuk terus ke Jakarta. Beberapa hari kemudian Seno menyusul. "Itu pengakuan mereka. Sebenarnya, tak jelas ke mana mereka setelah itu. Sebab, berapa lembar paspor mereka dirobek, dan juga tidak jelas apakah uang di Panama itu akan diambil langsung atau masih akan ditransfer ke tempat lain," kata seorang penyidik, kepada TEMPO. Kejahatan besar dengan teknik yang canggih itu ternyata dalam waktu singkat sudah ketahuan. Menurut Rudy, ketika ia sampai di Frankfurt, 2 Januari, Noor Alwi melalui telepon memberi tahu usahanya gagal. Bahkan sesampainya di Jakarta, Noor menginstruksikan Rudy dan Seno tidak mengutak-atik lagi rekening gelap mereka di Panama, karena sudah diblokir BNI 1946. Usaha mereka kemudian adalah menghilangkan jejak. Rudy dan Seno, misalnya, merobek beberapa halaman paspornya, sementara Eldy disuruh Seno membuang paspornya. Namun, ketahuan juga. Akhir Januari lalu, Eldy diusut polisi. Ia memalsukan data pribadinya ketika meminta paspor. Dalam waktu bersamaan masuk pula laporan rahasia Kedubes RI dari London ke Jakarta: tentang seorang warganegara Indonesia, Eldy, yang mencoba menarik uang hasil transfer gelap di Panama. Berdasarkan itu, komplotan Eldy terbongkar. Pada awal Maret, pihak BNI 1946 memasukkan laporan resmi tentang kejahatan komputer itu ke polisi. "Ketika peristiwa itu terjadi, kami telah melaporkan kejadian di New York itu ke FBI," kata Daddy. Benarkah otak kejahatan itu Noor Alwi dan orang-orang BNI 1946 sendiri terlibat? Kukuh Basuki sangat kukuh, "Tidak ada karyawan yang terlibat, termasuk Noor Alwi." "Kalau pejabat BNI 1946 yang melakukannya, pasti tidak sampai rekening BNI itu overdraft, sehingga cepat diketahui," kata Kukuh. Ia mengaku kelemahan sistem pengaman komputer di bank tersebut, sehingga semua kode -- termasuk milik Satoto -- bisa diketahui Rudy. Noor Alwi, 51 tahun, juga membantah. Ia bahkan mengaku tak kenal dengan Seno, apalagi makan bersama di Thai Restaurant, New York. "Itu isapan jempol mereka," kata ayah empat anak yang sudah bekerja di BNI sejak 1958 itu. Noor mengakui kelalaiannya, karena tak mencabut password RUDEMS. Dan ia mengaku pernah memberikan test key Satoto kepada Rudy, ketika bawahannya itu sudah tak masuk kerja lagi. "Ketika itu saya memegang tiga jabatan. Dapat dibayangkan kesibukan saya. Karena Satoto tak masuk, sementara ada transaksi antarbank yang harus segera dilakukan, saya memutuskan Rudy Demsy yang mengerjakan test key itu," kata Noor Alwi. Bukan cuma Noor Alwi yang menyangkal. Rudy dan Seno -- seperti direkam dalam pemeriksaan polisi dan diperdengarkan kepada wartawan TEMPO -- dengan lancar menguraikan kejadian demi kejadian. Bahkan mereka berdebat keras dengan Noor ketika dikonfrontasikan. Uniknya, kini mereka berbalik membantah. "Semua cerita itu skenario polisi. Kami berbulan-bulan disel, tak bisa apa-apa lagi. Ketika disodori BAP itu, ya ditandatangani saja," kata Rudy, didampingi Seno Adjie (lihat Dengan Kambing Hitam...). Pihak Polri tentu menolak tudingan Seno dan Rudy. Direktur Reserse Polri, Kolonel Pol. Koesparmono Irsan, bahkan kaget diberi tahu: kedua terdakwa akan mencabut berita acara pemeriksaannya. "Kalau semua orang bisa mengaku dipaksa polisi dan minta dicabut BAP-nya, bisa-bisa tak seorang pun yang bisa dihadapkan ke pengadilan," ujar Koesparmono. Karni Ilyas, Sidartha Pratidina, dan A. Ulfi (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini