PEGAWAI negeri sebenarnya penganggur-penganggur tersembunyi?
Pertanyaan irii bisa muncul jika melihat hasil penelitian Dr.
Chris Manning dan kawan-kawan dari Pusat Penelitian dan Studi
Kependudukan Universitas Gadjah Mada yang dibacakan pekan lalu
di depan staf dan undangan terbatas.
Menurut penelitian itu, lebih 50% pegawai negeri yang dijadikan
responden bekerja kurang dari 35 jam seminggu, malah 17% kurang
dari 25 jam. Mereka terutama terdiri dari pekerja administrasi
(26% bekerja kurang dari 25 jam sedang 64% kurang dari 35 jam)
dan guru. Hingga menurut ukuran itu, banyak pegawai negeri
sebenarnya termasuk setengah penganggur atau "penganggur
tersembunyi", karena bekerja kurang dari 35 jam seminggu.
Menurut ketentuan pemerintah, seorang pegawai negeri minimal
harus bekerja 37 « jam selama enam hari kerja.
Namun Manning, 37 tahun, doktor dalam ilmu ekonomi perburuhan
dari Australian National University yang kini menjadi staf PPS
Kependudukan UGM, tampaknya sangat berhati-hati mengambil
kesimpulan. "Hasil penelitian ini tak bisa memberi gambaran itu
keadaan pegawai negeri di seluruh Indonesia," ujarnya. "Juga
tidak semua pegawai negeri di Yogyakarta ini punyajam kerja
produktif seperti itu. Ini satu kasus yang ditemukan dari suatu
penelitian di sebuah kampung," tambahnya.
Dibantu dua dosen Fakultas Geografi UGM, Drs. Tadjuddin dan Drs.
Tukiran, Chris antara September 1981 sampaiJanuari 1982 meneliti
sebuah kampung di tengah kota Yogyakarta. Judul hasil penelitian
itu "Struktur Pekerjaan, Sektor Informal dan Kemiskinan di kota:
Sebuah Studi Kasus di Diraprajan, Yogyakarta". Tujuan penelitian
ini hendak mempelajari sampai berapa jauh konsep sektor informal
berguna bagi analisa perilaku ekonomi dan struktur sosialekonomi
di kota.
Diraprajan sendiri merupakan nama samaran. Dari kampung ini
diambil 534 responden (60% dari keluarga yang lakilakinya
bekerja). Mereka antara lain terdiri dari 97 pegawai negeri (27
di antaranya guru), sopir, pelayan toko, buruh, calo, tukang
becak dan penjual keliling.
Dari berbagai profesi ini, ternyata yang paling panjang jam
kerjanya adalah sopir, buruh pabrik dan penjual keliling. Diluar
dugaan peneliti, jam kerja tukang becak ternyata pendek.
"Mungkin karena mereka lebih banyak menunggu dibanding sopir
colt yang bergerak mencari penumpang," kata Chris.
Definisi jam kerja dalam penelitian ini adalah jam kerja
produktif. Waktu makan dan membaca koran misalnya, tidak
dihitung. Buat guru, jam persiapan di rumah sebelum mengajar
juga tidak dihitung. Mungkin itu yang menyebabkan jam kerja
mereka tergolong pendek.
WALAU jam kerja mereka pendek penghasilan pegawai negeri
termasuk guru ternyata palmg tinggi 84% di atas Rp 10.000 per
minggu. Bahkan 22% di antaranya berpenghasilan di atas Rp 25.000
per minggu. Dari 27 guru, 89% berpenghasilan di atas Rp 15.000
per minggu, 7% antara Rp 10.000 -- Rp 15.000. Cuma 4%
berpenghasilan kurang dari Rp 5.000 per minggu. Penghasilan
pegawai swasta ternyata lebih rendah dibanding pegawai negeri.
"Tidak heran kalau angkatan muda pekerja bertumpu pada cita-cita
menjadi pegawai negeri," kata Chris.
Pengangguran tersembunyi pada pegawai negeri terutama yang
terdapat pada staf administrasi, menurut Chris, karena memang
pekerjaan mereka kurang. Pada hari-hari tertentu bahkan sangat
kurang hingga "sering mondar-mandir, ngobrol dan pulang sebelum
waktunya," katanya. "Saya kira kampung-kampung di pusat kota di
Indonesia keadaannya tak jauh berbeda dari ini."
Penelitian yang belum tuntas diolah tersebut memang tak meneliti
khusus mengenai produktivitas pegawai negeri. Namun hasil itu
menggugah keinginan tahu: benarkah produktivitas kerja pegawai
negeri Indonesia rendah, seperti dugaan selama ini?
Penelitian khusus mengenai masalah ini memang belum pernah
dilakukan. "Perhatian pemerintah selama ini memang masih
bersifat makro, lebih ditujukan pada petani yang 60% dari 51
juta angkatan kerja Indonesia. Sedang jumlah pegawai negeri
hanya antara 3 sampai 3 « juta," ujar Soetjipto Wirosardjono,
Wakil Kepala Biro Pusat Statistik.
Menurut Soetjipto karena hanya pada satu kampung saja, jika
digeneralisasikan validitas hasil penelitian Chris dan
kawan-kawan memang agak lemah, walau kredibilitasnya kuat.
"Namun hasil penelitian itu bisa menjadi indikasi untuk
melakukan pengamatan lebih lanjut tentang kegiatan pegawai dan
jumlah jam kerja efektif yang diperlukan untuk keperluan
kedinasan di kantor," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini