DIPERKENALKAN: sebuah lencana baru. Bentuknya bulat, bergambar
Presiden Soeharto dalam posisi resmi dan berlatar belakang
merah-putih. Di pinggiran lencana bertuliskan: "Suharto, Bapak
Pembangunan Indonesia, untuk Presiden Rl 1983-1988".
Gagasan membuat lencana semacam itu konon semula datang dari
Menpen Ali Moertopo, yang kemudian diteruskan Menmud Abdul Gafur
kepada KNPI. Hal itu disetujui dalam suatu rapat DPP. Menurut
Aulia Rachman, Ketua Umum DPP KNPI kepada TEMPO, orarg pertama
yang dipilih Aulia untuk disemati lencana itu adalah Ali
Moertopo, dalam kesempatan peresmian Caucus '82, 1 Oktober lalu.
Lencana itu kabarnya dirancang di kantor KNPI. Setelah mendapat
dana dari berbagai sponsor, organisasi pemuda itu memesannya--
konon--ke Negeri Belanda. Lencana itu dibuat dalam tiga ukuran:
besar, tanggung, dan yang paling kecil sebesar uang logam Rp
50. KNPI sudah menyebarkan sekitar 14.000 buah. "Semua dibagi
cuma-cuma," kata Aulia.
Karena itu pula KNPI tidak keberatan kalau ada orang lain yang
menjiplaknya. "Boleh saja bila ada perusahaan yang mau
membuatnya, asal bentuknya sama seperti yang sudah beredar,"
katanya. "Sebab hak paten datang dari KNPI." Penyebarannya,
menurut Aulia yang awal minggu ini sibuk di tengah Musda KNPI di
Surabaya, dilakukan lewat jalur organisasi.
Namun ada lembaga pemerintah yang juga ikut membantu. "Mereka
membagikannya bukan dalam rangkaian organisasi departemen," kata
seorang pejabat Departemen Penerangan. "Kebetulan ide 'Bapak
Pembangunan' datang dari Pak Ali Moertopo," tambahnya. "Maka
wajar orang Deppen ikut menyebarkan ide itu."
Gagasan memberikan gelar 'Bapak Pembangunan' kepada Presiden
Soeharto, pertama kali memang dilontarkan Menpen Ali Moertopo 22
Mei 1981 ketika membuka Pameran Pembangunan di Ciputat,
Kebayoran Lama, Jakarta. Sejak itu lebih 2.500 pernyataan
disampaikan pada MPR dari lembaga dan organisasi mendukung
terpilihnya kembali Presiden Soeharto--dan juga pemberian gelar
Bapak Pembangunan Nasional tersebut. Sikap Pak Harto sendiri
belum pernah terungkap ke khalayak ramai, menerima atau menolak
gelar tersebut.
Lima fraksi yang duduk di Badan Pekerja Lembaga Tertinggi Negara
sudah tak banyak beda pendapat soal pemberian gelar sebagai
tanda "terima kasih". "Gelar itu tidak dimaksudkan untuk
mengkultus-individukan," kata R.M. Sugandhi dari FKP. Sedang
Aisyah Amini dari FPP menambahkan: "Gelar itu diberikan dengan
harapan agar pembangunan, penyebaran pemerataan, kesempatan
kerja dapat ditingkatkan." Tiga fraksi lainnya juga punya
pandangan senada.
Yang masih belum cocok tinggal soal bentuk Ketetapan (Tap) MPR
yang bakal menampung usulan gelar itu. Menpen Ali Moertopo
memberi isyarat: "tidak dalam Tap tersendiri." "Dalam Tap
mengenai Pertanggungjawaban Mandataris, akan ada satu alinea
yang mempunyai kaitan dengan usulan gelar itu," katanya di depan
Musyawarah Pimpinan Pemuda Pancasila minggu lalu.
FKP sudah memastikan pendapatnya, yaitu mirip ucapan Ali
Moertopo. "Pengukuhan gelar dimasukkan dalam bagian Tap mengenai
Pertanggungjawaban Mandataris," kata seorang anggota BP dari
FKP. Yang berpendapat agak lain adalah F-PDI, yang beranggapan
gelar 'Bapak Pembangunan' itu harus dimasukkan dalam Tap
sendiri, "agar lebih berbobot."
Namun ada yang menganggap pemberian gelar lewat Tap tersendiri
justru bisa menimbulkan kultus-individu seperti terjadi pada
zaman Bung Karno. "Ini semua belum final. Tapi soal pemberian
gelar itu, boleh dibilang, tidak ada masalah lagi,' ucap Ketua
DPR/MPR Amirmachmud seusai menemui Presiden Soeharto minggu
lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini