Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Percuma sudah Heru memburu waktu menuju Bandara Soekarno-Hatta, Kamis pekan lalu. Sesampainya di bandara, yang ia temui justru suasana mirip terminal bus saat musim mudik Lebaran. Di berbagai sudut, calon penumpang duduk bergeletakan dengan wajah kesal. Suasana pengap dan berisik, bocah-bocah menjerit rewel, pendingin ruangan pun gagal meredam kejengkelan ratusan orang yang penerbangannya tertunda.
Hari itu suasana di bandara terbesar Indonesia ini memang amburadul. Seluruh 99 jadwal penerbangan tertunda akibat komputer pengatur radar otomatis hang. Di landasan, puluhan pesawat nongkrong menunggu giliran lepas landas yang molor beberapa jam. Dan di angkasa, burung-burung besi itu harus mondar-mandir berputar-putar setengah jam menunggu giliran mendarat. "Huh! Selama bepergian, baru kali ini menunggu," kata Heru, yang hendak ke Hong Kong.
Tak kalah sengsaranya adalah Ari Setiawan. Hari itu ia hendak memboyong jenazah ayahnya, yang meninggal di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, dan harus transit di Jakarta sebelum tiba di Semarang. "Apa boleh buat, pemakaman ayah ikut terlambat," kata Ari, yang kelihatan lelah dan kesal.
Semua kekacauan itu terjadi ketika jaringan komputer pengatur lalu-lintas udara (air traffic controller, ATC) ngadat pada pukul 12.55. Sialnya, sistem cadangan tak bisa otomatis mengambil alih tugas sistem utama. Inilah yang membuat penerbangan macet total selama dua jam.
Sore hari, komputer cadangan memang bisa hidup, tapi tidak mulus. Di layar komputer, tidak muncul data-data penting pesawat seperti ketinggian, kecepatan, arah, dan nomor penerbangan. Alhasil, petugas bandara pun seperti buta dan tuli. Karena komputer tak kunjung beres, petugas terpaksa menggunakan metode primitif, memandu pesawat-pesawat itu secara manual.
Jumat dini hari, menurut Direktur Utama PT Angkasa Pura II, Edie Haryoto, pengelola bandara mencoba mematikan komputer selama 20 menit untuk diformat ulang. "Kami terpaksa mereformat komputer," ujarnya kepada Koran Tempo. Cara itu dilakukan pada pagi hari, saat jadwal penerbangan belum mulai sibuk.
Toh, cara pamungkas ini pun tidak manjur. Jadwal perbaikan molor, dan, kata Kepala Komunikasi PT Garuda Indonesia, Pujobroto, mulai pukul 07.46 WIB hingga 09.33 WIB seluruh penerbangan di bandara lagi-lagi terhenti total. Tak pelak, sekitar 187 jadwal penerbangan pada Jumat itu kembali berantakan.
Apa boleh buat, cara primitif pun kembali dipakai. "Kami harus memandu pendaratan secara manual," kata Manajer Operasional dan Teknik PT Angkasa Pura II, Effendi. Dengan cara manual ini, pesawat yang hendak mendarat harus antre di ketinggian 4.000-25.000 kaki (1,2-7,6 kilometer). Untuk pesawat yang datang dari arah timur, mereka wajib berputar-putar di atas wilayah Esela, Karawang, Jawa Barat. Sedangkan pesawat dari arah barat harus menunggu di Zona Noktah di atas Kepulauan Seribu.
Di mana sebetulnya asal-muasal kekacauan ini? Sayangnya, sampai Jumat malam lalu biang kerusakan belum dapat ditemukan. Menurut Effendi, komputer ATC yang terletak di ruang menara pengawas memang sudah terlalu jenuh karena banyak menyimpan data. Komputer itu juga sudah uzur, telah dipakai selama 10 tahun. Namun pernyataan ini buru-buru diralat bos Angkasa Pura II. Semua alat-alat itu, menurut Edie, masih gres, baru dibeli pada 2000.
Apa pun biang kerusakannya, peristiwa ini di mata Prof. Oetarjo Diran, pakar keselamatan penerbangan asal ITB, harus dikaji serius. "Saya pikir ini insiden serius yang harus jadi pelajaran," kata Oetarjo kepada TEMPO. Ia melihat penanganan ngadatnya komputer hingga satu setengah sampai dua jam kelewat lama. Di luar negeri, kata dia, penanganan seperti ini hanya dalam hitungan menit. Soalnya, "Dalam satu menit, banyak hal fatal yang bisa terjadi. Dalam satu menit, pesawat terbang yang kecepatannya 900 kilometer per jam bisa bergerak sejauh 15 kilometer," ia menambahkan. Insiden itu, kata dia, membuktikan bahwa Indonesia tak cukup siap menghadapi krisis.
Krisis? "Sebenarnya itu bukan hal yang sangat luar biasa, normal-normal saja," ujar Edie Haryoto, enteng. Jika kekacauan begitu normal-normal saja, memang tak terbayangkan seperti apa bila kejadiannya luar biasa.
Burhan Sholihin, Dwi Wiyana, Joniansyah, S.S Kurniawan (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo