Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI tengah ingar-bingar kampanye pemilihan umum, pekan lalu Mahkamah Agung mengeluarkan sebuah pengumuman penting. Dimuat di sejumlah media massa, lembaga itu membuka pendaftaran menjadi hakim ad hoc untuk menangani perkara korupsi. Para hakim ad hoc tersebut akan menangani kasus korupsi di pengadilan tingkat pertama, banding, dan kasasi. Pendaftaran ini akan ditutup pada 12 April mendatang. Bila Anda berminat, silakan mencobanya.
Terobosan itu dilakukan karena pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan hakim dari jalur karier. Ini juga untuk mengantisipasi perkara-perkara korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang telah terbentuk awal tahun ini. Hakim ad hoc diperlukan juga karena ketidakpercayaan terhadap hakim karier, baik karena integritasnya maupun independensinya saat harus mengadili rekan sejawat atau atasan. Pengalaman adanya resistensi hakim yang mengadili majelis hakim dalam kasus Manulife, Marnis Kahar dan kawan-kawan, merupakan contoh nyata yang tak boleh terulang.
Menurut anggota panitia seleksi hakim ad hoc untuk menangani kasus korupsi, Rifqi Sjarief Assegaf, agar didapatkan hakim dari jalur non-karier yang baik, selain membuka pendaftaran, caranya adalah mencari bibit-bibit yang potensial dan tetap sesuai dengan syarat formal serta mengikuti tahap-tahap pen- jaringan, dari tes tertulis, wawancara, sampai uji publik.
Diharapkan dengan cara itu akan didapatkan hakim yang punya integritas dan kemampuan yang memadai. Integritas merupakan hal yang utama agar moralitas hakim tersebut terjaga. Namun kemampuan juga tak bisa diabaikan. "Sebab, mereka (hakim ad hoc) nantinya akan mengadili kasus yang dibawa KPK, yang tentunya bukan kasus yang sederhana," kata Rifqi.
Kemampuan lebih yang dimaksud Rifqi adalah tidak hanya tahu teknis hukum, tapi juga tahu persoalan lain, misalnya perbankan. Jika sulit mendapat hakim ad hoc yang "super", menurut Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan itu, dicari yang cukup memadai.
Seperti Rifqi, Ketua MA Bagir Manan mengkhawatirkan sulitnya mendapatkan hakim ad hoc seperti yang diminta Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebab, salah satu syarat hakim ad hoc adalah tak boleh merangkap jabatan. "Saya sangsi seorang pengacara rela membuang penghasilannya yang tinggi dan menjadi hakim ad hoc, atau seorang dosen mau melepaskan pekerjaan di universitas," katanya.
Bagir Manan menunjuk pengalaman susahnya saat mencari hakim ad hoc untuk pengadilan hak asasi manusia. Padahal, untuk hakim ad hoc ini, tak ada syarat meninggalkan pekerjaan. Kini mencari hakim yang tahan sogok akan lebih sulit. Namun panitia seleksi tak boleh menyerah. Kata Menteri Kehakiman Belanda, Odrette Buitendam, hakim memang tak lahir dengan sendirinya, tapi harus diciptakan.
AT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo