Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Kincir Angin Kecepatan Rendah

BRIN membuat kincir angin untuk kecepatan angin rendah dan berbagai arah. Lebih murah dibanding turbin poros horizontal.

22 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Perangkat pembangkit listrik tenaga angin poros tegak bertingkat di Bandung, Jawa Barat, 17 Maret 2023/TEMPO/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Peneliti pada Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi Badan Riset dan Inovasi Nasional mengembangkan turbin angin bersumbu tegak yang cocok untuk kondisi angin Indonesia.

  • Prototipe PLTB bersumbu tegak bertingkat itu dapat menghasilkan listrik 3 kilowatt-peak.

  • Harga turbin angin bersumbu tegak lebih murah dari turbin angin horizontal karena tidak membutuhkan sistem pengendali arah kincir.

SATU unit kincir angin yang diletakkan di bengkel perakitan di Jalan Pasir Impun, Cikadut, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, itu terlihat unik. Menaranya berupa rangka tegak berbentuk segitiga dari pipa besi. Tiga bilah baling-baling seperti sekop tersambung pada poros. Baling-baling berbahan komposit dengan posisi vertikal itu dibentuk aerodinamik seperti sayap pesawat terbang. Kincir angin itu terdiri atas dua tingkat, ukuran bilah di bagian bawah sedikit lebih kecil daripada yang di atas. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tepat di bagian tengah, di antara baling-baling bagian atas dan bawah, terdapat generator listrik berbentuk silinder yang terhubung dengan dua rotor. Jika tertiup angin kencang, baling-baling bagian atas akan berputar melawan arah jarum jam. Adapun baling-baling bagian bawah berputar ke arah sebaliknya. Karena itu, mekanisme putarnya disebut contra-rotating atau berlawanan arah. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan pengaturan seperti itu, harapannya ada dua. Pertama, baling-baling bisa terdorong oleh angin dari arah mana pun lalu memutar turbin. Kedua, energi yang diolah generator menjadi listrik bisa lebih banyak. “Karena kecepatan putar di generator itu menjadi dua kali, dari baling-baling atas dan bawah, sehingga menghasilkan energi yang cukup besar,” kata Yoyon Ahmudiarto, Perekayasa Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN yang merancang-bangun kincir angin itu, di Bandung, Kamis, 12 Oktober lalu.

Peneliti di Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi itu mengembangkan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) berjenis vertical axis wind turbine (VAWT) atau turbin sumbu tegak bertingkat tersebut sejak 2012. Gagasannya muncul ketika ia ditugasi menyurvei pembangkit listrik tenaga angin dengan baling-baling horizontal atau horizontal axis wind turbine (HAWT) pada 2010. Dia mendatangi lokasi PLTB milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Nusa Penida, Bali.

Perekayasa Ahli Utama BRIN, Yoyon Ahmudiarto, dengan perangkat pembangkit listrik tenaga angin poros tegak bertingkat di workshop Parametrik Solusi Integrasi R&D, Bandung, Jawa Barat, 17 Maret 2023/TEMPO/Prima Mulia

Pada 2007-2010, Kementerian membangun sembilan unit kincir angin (PLTB) setinggi 30 meter di Puncak Mundi, Nusa Penida, itu. Yoyon mencatat beberapa masalah, antara lain tiupan bayu yang tidak terlalu kuat dan angin-anginan atau intermittent. Kemudian baterai yang digunakan tidak disiapkan dengan kapasitas besar. Akibatnya, listrik yang dihasilkan tidak diterima oleh Perusahaan Listrik Negara. “Sehingga saya pikir bagaimana jika ada alternatif lain,” ujarnya.

Risetnya kini masih bergulir bersama tim yang anggotanya berjumlah tujuh orang. Selain mengajak kolega di BRIN yang bergelut di bidang dinamika fluida, Yoyon menggaet ahli mesin dari Institut Teknologi Bandung, akademikus dari kampus lain, dan pihak swasta. Purwarupa pembangkit yang telah dibuat bergaris tengah 1,7 meter dengan tinggi 2,5 meter. Adapun bobotnya sekitar 70 kilogram. “Masih prototipe. Kalau diproduksi harus ada demand,” tuturnya. 

Tim sempat memasang alat itu untuk uji coba di lokasi wisata paralayang Batu Dua Gunung Lingga di Desa Cimarga, Kecamatan Cisitu, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, yang berketinggian 930 meter dari permukaan laut. Karena kondisi embusan anginnya tergolong kurang kencang untuk pembangkit listrik, Yoyon dan tim memasang lima bilah baling-baling. Keputusan itu diambil berdasarkan riset nilai optimum.

Kapasitas listrik yang disiapkan sebesar 3 kilowatt-peak (kWp). Setrumnya digunakan untuk penerangan kantor pengelola. Dengan kapasitas 3 kWP, listrik yang dihasilkan bisa dimanfaatkan untuk penerangan 15 rumah yang berdaya 200 watt atau 2-3 rumah yang pemakaian listriknya 900-1.300 watt. Kapasitasnya, menurut Yoyon, bisa ditingkatkan menjadi 20-100 kWp. Namun, setelah dipasang beberapa bulan, alat itu mengalami masalah. “Ada struktur penopang yang melengkung agak patah sehingga diikat tali,” kata Yoyon tentang alat yang masih terpasang tapi tidak berfungsi itu. 

Menurut Yoyon, teknologi kincir angin sumbu tegak itu diharapkan bisa melampaui kinerja turbin angin poros horizontal. Selain menghasilkan listrik dengan angin dari segala arah, menara pendukungnya diklaim lebih sederhana karena generator, gearbox, dan komponen lain diletakkan pada posisi yang lebih rendah. Biaya produksinya juga ditaksir lebih rendah karena tidak memerlukan alat pengarah agar turbin berposisi ke arah datangnya angin.

Pergerakan baling-baling turbin sumbu tegak, Yoyon menyebutkan, relatif rendah sehingga mengurangi risiko bagi burung atau satwa terbang lain. Suara putaran turbin juga tidak sebising HAWT yang berputar cepat sehingga tak mengganggu pendengaran manusia. Namun, buat pemakaian skala rumah tangga, alat itu masih sulit diterapkan karena kondisi angin yang kurang kencang untuk menghasilkan energi listrik.

Kondisi angin menjadi faktor yang krusial khususnya di Indonesia bagi PLTB. Menurut Yoyon, tantangan itu muncul karena kondisi geografis Indonesia yang berupa negara kepulauan. Selain itu, perbedaan suhu di daratan dengan pesisir, misalnya, tidak terlalu jauh. Padahal angin adalah udara yang bergerak dari daerah bersuhu dingin ke daerah bersuhu panas atau dari tekanan tinggi ke tekanan rendah.

Kecepatan angin yang dibutuhkan untuk PLTB, Yoyon menuturkan, idealnya lebih dari 7 meter per detik. Lebih bagus jika sampai 10-12 meter per detik. “Tapi di Indonesia sangat sedikit yang sampai 8 meter per detik, jadi anginnya tidak terlalu besar,” ucapnya. Selain itu, angin bisa datang kapan pun dari berbagai arah. Berbeda dengan di negara benua, misalnya, yang punya kecepatan angin kencang dan arahnya relatif sama. 

Menurut pendiri dan Ketua Masyarakat Energi Angin Indonesia, Soeripno Martosaputro, tiap jenis PLTB punya keunggulan dan kelemahan. Menurut dia, keuntungan turbin jenis poros tegak adalah tidak memerlukan angin yang laminar atau mengalir lancar. Dengan angin turbulens yang kecepatan udaranya bisa berubah drastis, turbin poros tegak bisa bekerja dengan baik. “Angin dari segala arah bisa diterima dengan baik,” ujar Soeripno ketika dihubungi, Kamis, 19 Oktober lalu.

Untuk kondisi umum di Indonesia, kata Soeripno, turbin jenis sumbu tegak bisa cocok di daerah yang aliran anginnya mengalami hambatan atau ada turbulensi. Dari segi pemanfaatan cocok tapi dari sisi capacity factor, dia melanjutkan, lebih rendah dari jenis poros horizontal. Capacity factor adalah perbandingan antara produksi energi listrik suatu pembangkit dan maksimum produksi energi listrik pembangkit itu dalam satu tahun.

Soeripno mengatakan saat ini turbin angin jenis sumbu tegak yang menghasilkan listrik hingga megawatt masih dalam kajian. Rencananya turbin akan dipasang di lepas pantai. “Menurut hasil penelitian, densitas turbin yang bisa dipasang di suatu area jauh lebih besar,” tutur Soeripno. Misalnya turbin sumbu horizontal bisa dipasang 4 unit di lahan 1 hektare. Sedangkan turbin sumbu tegak bisa dipasang 10-15 unit. Dayanya juga lebih besar. Sementara PLTB sumbu horizontal menghasilkan 20 megawatt, PLTB sumbu tegak bisa memproduksi 30-40 megawatt. 

Potensi lain turbin poros tegak, menurut Soeripno, adalah cocok dipasang di antara dua bangunan karena ada angin yang terkompresi dengan kecepatan yang lebih kencang. Turbin jenis itu bisa juga dipasang di atap rumah atau gedung perkantoran. Namun kapasitasnya terbatas sekitar 1 kilowatt dan tergantung kondisi angin. “Kalau capacity factor tidak tinggi dikonversi dengan jualan per kilowatt-hour kan hasilnya kecil,” ujarnya.

Kecepatan angin yang ekonomis, Soeripno melanjutkan, adalah 6 meter per detik secara rata-rata tahunan. Masih sedikit kecepatan angin yang ideal untuk PLTB. Kondisi yang sedikit lebih baik ada di Indonesia bagian timur, seperti Sulawesi, serta selatan Jawa dan selatan Kalimantan. “Dari beberapa hasil studi, untuk mendapatkan kecepatan angin dengan annual speed lebih dari 6 meter per detik, tingginya (menara) harus lebih dari 100 meter,” ucapnya.

Menurut pengetahuan Soeripno, untuk turbin poros tegak, sejauh ini kapasitasnya belum ada yang besar. Polandia, kata dia, pernah merancang kapasitas 1,5 megawatt dengan tinggi 50 meter dan diameter 66 meter. Sedangkan tinggi prototipe turbin poros horizontal seperti yang dikembangkan Cina dan Amerika Serikat mencapai 160-170 meter dengan diameter 260 meter untuk menghasilkan listrik 18 megawatt.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kincir Angin Sepoi Juga Turbulens"

Anwar Siswadi (Kontributor)

Anwar Siswadi (Kontributor)

Kontributor Tempo di Bandung

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus