Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

gaya-hidup

Bugar di Masa Tua: Mengintip Hidup Orang Panjang Umur di Tiga Daerah

Penduduk di Cianjur, Sleman, dan Sumenep berusia panjang dan sehat. Kuncinya ada di pola makan, keaktifan, dan hubungan sosial.

22 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUKUL 6 pagi, Jumat, 6 Oktober lalu, kabut masih menyelimuti Kampung Adat Miduana, Desa Balegede, Kecamatan Naringgul, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Sepagi itu, Tarman sudah berada di pangkalan aren, saung berukuran 2 x 1 meter yang terbuat dari anyaman bambu di tengah sawah yang dikelilingi pohon aren. Saung itu berjarak 500 meter dari rumahnya, terhubung dengan jalan setapak yang berkelok-kelok.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiba di saung, laki-laki 80 tahun yang akrab disapa Abah Tarman itu melepas sepatu bot karetnya. Tangannya meraih lima bilah bambu berbagai macam ukuran. Bambu paling besar panjangnya 1 meter dengan diameter sekitar 10 sentimeter. Dengan cekatan ia naik ke pohon aren setinggi 10 meter dengan memanjat sebilah bambu. "Setiap pukul 6, Abah menyadap aren," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah menyadap, Tarman pulang untuk mengolahnya menjadi gula merah. Agak siang, ia kembali ke pangkalan aren untuk mengolah sawah. Sudah dua malam ia tinggal di saung itu untuk mencegah babi turun merusak tanaman palawijanya. Musim kering membuat babi turun gunung mencari makan. Sasarannya sawah para petani Desa Balegede.

Jika tak menginap di saung, Tarman keluar rumah pukul 5 pagi setelah menyelesaikan salat subuh. Ia naik ke pohon aren begitu hari terang. Ketika lima bilah bambunya penuh, ia turun lalu membuka rantang berisi bekal masakan istrinya, Mak Ijah. Sarapan itu berupa nasi, ikan asin, dan sayur lalapan. Ikan dan sayur itu ia ambil dari balong dan kebun.

Bapak dua anak ini menghabiskan seumur hidupnya yang sepuluh windu itu di Kampung Adat Miduana. Rumahnya paling ujung di kampung yang dikelilingi hutan dan sawah tersebut. Ada 21 rumah di sana dengan model bangunan sama: berbentuk panggung dengan dinding terbuat dari anyaman bambu. Semua pintu utama rumah di kampung adat ini menghadap ke selatan.

Tarman mengatakan ia jarang sakit. Di usia yang tak muda itu, Tarman merasakan tubuhnya tetap bugar. Memanjat pohon aren bukan pekerjaan sulit. Ia juga merasa bahagia tinggal di kampung tersebut. Meski kemarau berkepanjangan, cuaca kampung ini sejuk. “Rasanya tak berubah sejak saya kecil,” ujarnya.

Mak Oceh yang berusia 103 tahun sedang bekerja di sawah di Dusun Miduana, Cianjur, Jawa Barat, 5 Oktober 2023/TEMPO/Febri Angga Palguna

Di Kampung Adat Miduana, hampir semua penduduk seperti Tarman: tua tapi tetap gesit menggarap sawah. Ada 41 orang lanjut usia berumur lebih dari 70 tahun. Bahkan tujuh di antaranya berusia 100 tahun, seperti Mak Oceh dan Mak Icih yang berusia 103. Dari catatan kartu keluarga, kedua perempuan itu lahir pada 1920.

Mak Oceh masih tampak bugar. Ia juga masih rutin beraktivitas. Jumat pagi, 6 Oktober lalu, ia sudah berada di sawah yang berjarak sekitar 200 meter dari rumahnya. Sewaktu Tempo menemuinya, ia sedang membabat rumput liar yang tumbuh di pinggir sawah. Meski tampak tua, tangannya kuat mengayun arit.

Setiap hari Mak Oceh bangun pukul 4 pagi. Dia memulai hari dengan menyalakan hawu, tungku kayu bakar untuk menanak nasi dan memasak. Dari sawah, Mak Oceh menutup harinya dengan tidur pukul 7 malam.

Aki Sahria juga berusia lebih dari 100 tahun. Seperti Mak Oceh, ia bangun pukul 4 pagi. Setelah menjerang air, ia juga ke sawah, melihat kebun, dan mengerjakan apa pun untuk memelihara kebun sepanjang hari. Ia berangkat tidur pukul 8 malam sambil mendengarkan siaran wayang golek di radio. Ketika ditanyai apa resep panjang umurnya, Sahria tersenyum. “Tidak banyak pikiran,” tuturnya.

Menurut dewan adat Kampung Miduana, Rustiman, hampir sebagian besar warga kampung memaknai hidup secara sederhana. “Hidup apa adanya, bukan ada apanya,” ucapnya pada Sabtu, 7 Oktober lalu. “Kami selalu mensyukuri hidup.”

Dengan mensyukuri hidup, kata Rustiman, hubungan sosial penduduk Kampung Miduana juga harmonis. Mereka acap bergotong-royong menuntaskan pekerjaan-pekerjaan desa. Mereka saling membantu jika ada tetangga yang memerlukan, seperti mendirikan rumah atau hajatan. Dengan hidup harmonis seperti itu, angka perceraian di kampung ini nyaris nol.

•••

SECARA provinsi, Jawa Barat bukan wilayah dengan angka usia harapan hidup paling tinggi di Indonesia. Juara rata-rata usia panjang adalah Daerah Istimewa Yogyakarta dengan angka harapan hidup di atas 60 tahun. Salah satu dusun dengan penduduk berusia panjang adalah Dusun Klaci III, Desa Margoluwih, Kecamatan Seyegan, Kabupaten Sleman. Dari 552 penduduk dusun ini, 112 orang lanjut usia. Bahkan beberapa di antaranya berusia di atas 75 tahun, seperti Saiman Sutrisno Raharjo dan istrinya, Rubinah.

Saiman berusia 82 tahun, sedangkan Rubinah 80 tahun. Mereka tinggal di rumah berdinding papan dan berlantai tanah. Bangunan belakang rumah itu mereka gunakan untuk dapur dan kamar mandi. Adapun bagian depan menjadi rumah inti terbuat dari tembok yang dipugar pada 1998. Halaman rumah mereka cukup luas ditumbuhi pohon rambutan, jambu air, dan jeruk nipis.

Pasangan suami-istri itu tinggal bersama dua anak, seorang menantu, dan seorang cucu. Ketika Tempo menemuinya pada Selasa, 10 Oktober lalu, Saiman tak tampak seperti orang tua berusia lebih dari 80 tahun. Rambutnya masih hitam. Tubuhnya yang setinggi 170 sentimeter terlihat tegap ketika berjalan. Hanya, langkahnya tak lagi gesit.

Ingatannya juga masih tajam. Saiman masih ingat peristiwa ketika kampungnya menjadi markas Tentara Pelajar. Waktu itu usianya baru 8 tahun. Para pelajar itu ikut berjuang melawan Belanda saat Agresi Militer Belanda II pada 1948-1949. “Rumah saya ini dipakai orang-orang untuk bersembunyi kalau tentara Belanda lewat,” tuturnya.

Rubinah juga tampak sehat. Rambutnya yang selalu ia gelung masih lebat, meski sebagian telah memutih. Gerak-geriknya masih gesit. Tangannya sigap ketika mengambil jeruk nipis memakai tangkai bambu. Mata Rubinah masih awas membedakan jeruk dan daunnya meski sama-sama berwarna hijau. Hingga kini, baik Rubinah maupun Saiman tak memakai kacamata plus. “Penglihatan masih jelas,” kata Rubinah.

Mereka mengaku bingung ketika ditanyai apa rahasia tetap sehat di usia tua. “Ora ngoyo (tidak memaksakan diri). Sing penting ati seneng (yang penting hati senang). Wong seneng iku larang regane (bahagia itu mahal harganya),” ucap Saiman. Rubinah menyetujuinya.

Seperti umumnya warga Dusun Klaci, yang sebagian besar petani dan pembuat bata merah atau genting, Saiman dan Rubinah sudah mulai beraktivitas selepas subuh sekitar pukul 5 pagi. Sementara penduduk yang lebih muda pergi ke sawah membuat bata merah dan genting atau menyapu pekarangan rumah, Saiman dan Rubinah memulai hari dengan berjalan keliling dusun selama 30 menit.

Sebelum dokter mendiagnosis adanya gangguan pada jantungnya sekitar Desember 2021, Saiman berkeliling kampung naik sepeda. Kini ia hanya mengayuh sepeda untuk jarak pendek. “Dulu ke mana-mana naik sepeda,” ujarnya.

Kembali ke rumah seusai jalan pagi, mereka sarapan aneka kudapan, seperti timus dari ubi jalar yang diparut dan onde-onde. Umbi-umbian adalah kudapan kesukaan Saiman, terutama ubi madu alias ubi Cilembu. Untuk minum, Rubinah menyukai air teh dengan rasa manis yang wajar. Saiman lebih suka minum air putih hangat. “Saya tak minum kopi dan merokok,” tuturnya.

Sahria yang berusia 100 tahun lebih di rumahnya di Dusun Miduana, Cianjur, Jawa Barat, Jumat, 6 Oktober 2023/TEMPO/Febri Angga Palguna 

Saat siang, Saiman dan Rubinah menyempatkan diri tidur. Lalu mereka makan siang dengan tahu, tempe, dan beragam sayuran. Rubinah tak suka makan ikan atau daging. Sebaliknya, lauk kesukaan Saiman adalah lele goreng. Malamnya mereka tidur sekitar pukul 8 setelah menonton televisi atau mendengarkan siaran wayang kulit atau ketoprak melalui radio.

Selain tidur teratur dan mengkonsumsi makanan pokok, mereka rutin minum jamu telo dari rebusan daun pepaya yang ditumbuk. Menurut Rubinah, jamu itu resep mendiang ibunya yang wafat di usia 100 tahun. Dengan jamu itu, dia menambahkan, saat mengecek kesehatan setiap bulan ke pusat kesehatan masyarakat atau pos pelayanan terpadu, tingkat gula darah, kolesterol, dan asam urat mereka selalu stabil normal.

Orang tertua di Dusun Klaci III adalah Pondriyo. Usianya 103 tahun. Saat ditemui pada Senin, 16 Oktober lalu, Pondriyo sedang rebah di dipan kayu di rumahnya. “Saya baru saja membersihkan ranting bambu,” katanya. “Ini untuk melatih badan setelah saya terkena asam urat.”

Suara Pondriyo masih lantang. Hanya, pendengarannya sudah berkurang. Matanya juga tak lagi awas karena katarak. Ia tinggal sendiri di rumahnya setelah istrinya meninggal pada usia 70, 20 tahun lalu. Tujuh anaknya sudah hidup dengan keluarga masing-masing. Kadang-kadang anak bungsunya yang tinggal satu dusun menengoknya sambil membawa makanan. “Seringnya memasak sendiri,” ucapnya.

Makanan Pondriyo sederhana saja. Baginya lauk makan cukup tahu atau tempe. Sayur ia petik sendiri dari kebun. Biasanya sayur daun ubi. Pondriyo tak makan daging karena alergi. Pernah dia sekali makan daging ayam, badannya gatal-gatal.

Sehari-hari Pondriyo biasa bangun pukul 3 pagi. Setelah mandi, ia mulai membersihkan pekarangan rumah atau ke kebun. Rutinitas itu tak ia kerjakan sehari penuh. Pondriyo melakukannya dengan jeda waktu yang tak pasti. Keterbatasan fisiknya membuat ia mengikuti saja irama tubuhnya. “Semampunya saja,” ujarnya.

Ia mengaku sering ditanyai tetangganya tentang resep panjang umur. Pondriyo selalu bingung menjawabnya. “Saya hanya mandi keringat saja dengan banyak kerja,” katanya. Kepala Dusun Klaci III, Sihono, mengatakan hidup sederhana Pondriyo, Saiman, dan Rubinah dilakoni para warga lansia di dusunnya. “Boleh dibilang mereka bisa sehat dan panjang umur karena makan seadanya dan pikiran senang,” tuturnya.

 

•••

SELAIN Cianjur dan Sleman, Pulau Gili Iyang di Sumenep, Madura, Jawa Timur, dihuni banyak penduduk berusia 70-100 tahun. Gili Iyang atau Giliyang secara administratif masuk Kecamatan Dungkek. Pulau seluas 9,15 kilometer persegi itu didiami 7.832 jiwa yang menghuni dua desa, Bancamara dan Banraas. Gili Iyang bisa dicapai dengan naik perahu dari Pelabuhan Dungkek selama sekitar satu jam.

Pulau yang kini dikembangkan sebagai destinasi wisata alam dan kesehatan itu dikenal sebagai “Pulau Oksigen”. Julukan itu bermula dari penelitian Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) pada 2006 mengenai kualitas udara di pulau tersebut. Lapan menyebutkan, dari 17 titik yang diuji, kadar oksigen Gili Iyang berkisar 20,9-21,5 persen. Kadar oksigen ini di atas rata-rata kadar oksigen di daerah lain di Indonesia, yakni 19 persen.

Temuan itu diperkuat penelitian Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit pada 2011 yang menyebutkan kadar oksigen di pulau tersebut 20,9 persen. Selain itu, nilai kandungan zat-zat pencemar udara, seperti karbon monoksida, nitrogen oksida, dan sulfur dioksida, sangat rendah.

Mbah Rubinah, 80 tahun (kiri), dan Mbah Adi Temu, 84 tahun, berbincang di Dusun Klaci III, Margoluwih, Sleman, 10 Oktober 2023/TEMPO/Pito Agustin Rudiana.

Dengan kondisi itu, kualitas udara di Gili Iyang sangat bersih. Peneliti Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lapan, Sumaryati, dalam “Kajian Potensi Wisata Kesehatan Oksigen di Gili Iyang” pada 2015 menyebutkan faktor geografis Gili Iyang membuat kualitas udaranya sangat bagus. Udara Gili Iyang, tulis Sumaryati, berasal dari laut yang mungkin banyak mengandung aerosol garam, terutama magnesium sulfat atau dikenal dengan nama garam epsom. Manfaat garam epsom, antara lain, menyegarkan kulit.

Begitu Tempo menginjakkan kaki di Gili Iyang pada Ahad, 8 Oktober lalu, udara langsung terasa sejuk meski suhu 37 derajat Celsius. Terik matahari yang garang siang itu pun tak terasa menyengat di kulit.

Kualitas udara bersih itu yang membuat usia harapan hidup warga pulau ini panjang. Di Gili Iyang, tak sulit menjumpai penduduk berusia lebih dari 80 tahun, bahkan 100 tahun, dengan tubuh yang masih bugar. Mereka masih menggarap ladang atau mencari ikan di laut.

Menurut anggota Badan Permusyawaratan Desa Bancamara, Ahyak Ulumuddin, semula tak ada yang peduli terhadap banyaknya warga di pulau itu yang berumur panjang. Hingga suatu hari pada 2007, sekelompok ahli dari Yordania mengunjungi Gili Iyang. “Mereka mengatakan salah satu ciri daerah dengan kandungan oksigen tinggi adalah banyak orang berumur panjang,” tutur Ahyak.

Informasi itu membuat petugas Pemerintah Kabupaten Sumenep dan perangkat desa Gili Iyang mencari penduduk tua dari rumah ke rumah. Di tahun pertama pendataan, Ahyak menjelaskan, tercatat 154 warga Gili Iyang yang diperkirakan berusia di atas 80 tahun. Salah satunya anggota keluarga Bunatiye. “Ibu saya masih hidup, tapi sudah tak bisa beraktivitas, hanya tiduran di kamar,” ujar Bunatiye, yang berusia 101 tahun.

Sehari-hari, perempuan yang masih tampak sehat itu bangun pukul 4 pagi. Ia tak tidur lagi selepas menunaikan salat subuh. Setelah menunaikan salat, ia memasak di dapur lalu menyapu halaman sambil menunggu nasi matang.

Makanan favorit Bunatiye adalah nasi jagung yang dihidangkan dengan sayur maronggi atau daun kelor. Lauknya ikan asin. Menu itu ia tambah dengan sambal buje chabbi, lombok yang diulek dengan garam tanpa penyedap rasa. “Makanan pokok di sini nasi jagung. Jagungnya menanam sendiri. Sayurnya tinggal petik. Pohonnya menjadi pagar rumah," ucap Absan, 53 tahun, anak bungsu Bunatiye.

Setelah menyantap sarapan, Bunatiye bertani. Dalam bahasa warga Gili Iyang, bertani bukanlah bercocok tanam seperti di daerah lain. Bertani adalah istilah untuk beternak sapi atau kambing.

Beternak sapi ala warga Gili Iyang juga berbeda dengan cara beternak sapi di Madura pada umumnya. Di Madura daratan, kandang diletakkan menyatu dalam pekarangan rumah, sementara di Gili Iyang kandang diletakkan jauh dari rumah. Umumnya di tengah kebun.

Bunatiye yang berusia 101 tahun bersantai di depan rumahnya di Pulau Gili Iyang, Sumenep, Madura, 7 Oktober 2023/Tempo/Mustofa Bisri 

Akibatnya, penduduk harus berjalan jauh untuk merawat ternak. Setelah memberi makan, mereka harus menimba air untuk memberi minum ternak. Dalam budaya Madura, beternak sapi adalah bagian dari cara menabung untuk masa depan. “Mungkin karena selalu bergerak, ibu saya tetap bugar,” ujar Absan.

Penduduk seangkatan Bunatiye adalah Dumi, yang berusia lebih dari 100 tahun. Tak seperti Bunatiye, selain memberi makan ternak, Dumi biasa menyadap air lahang atau nira dari pohon siwalan atau lontar yang banyak tumbuh di pulau itu. “Tapi sudah dua tahun saya berhenti menyadap lahang karena tak sanggup memanjat lagi," katanya. Dumi kini lebih banyak mengisi hari dengan menunaikan salat di langgar bambu di rumahnya.

Seperti masyarakat Gili Iyang pada umumnya, Dumi juga makan nasi jagung, ikan, dan sayur daun kelor sebagai hidangan sehari-hari. Rutin makan daun kelor membuat Dumi jarang sakit dan tetap bugar di usia senja.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Pito Agustin Rudiana dari Yogyakarta dan Musthofa Bisri dari Sumenep berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bugar di Usia Senja"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus